It’S Kirana

It’S Kirana

Kirana

Lamborghini Urus berwarna kuning itu tampak kehilangan kendali, dengan kecepatan diatas rata-rata membuat sebagian penonton menjauh dari area balap. Detik kemudian terlihat mobil mewah itu membanting setir menabrak pembatas lintasan.

Hanya butuh satu kedipan mata mobil itu sudah meledak, kumpulan asap hitam dan api yang kian membesar membuat malam ini semakin mencengkam.

Tidak ada yang tahu bagaimana nasip sang pengemudi, kejadian itu terjadi begitu cepat.

Puluhan bahkan ratusan penonton melihat tidak percaya. Mobil itu adalah milik sang Ratu Jalanan.

Semuanya panik,

Tidak lama kemudian datang mobil polisi dan mobil pemadam kebakaran. Suasana tambah ricuh. Malam ini, jam ini dan detik ini adalah peristiwa yang tidak akan bisa mereka lupakan.

Tanpa di sadari banyak orang ada seorang wanita tampak tersenyum tipis dikumpulan para penonton. Memasang tudung jaketnya, wanita itu berbalik meninggalakan area balap. Merasa misinya sudah selesai.

“Selamat tidur, Ratu Jalanan.”

...----------------...

Gadis dengan seragam putih abu-abu itu tampak berjalan santai di koridor yang sudah sepi. Bel masuk sudah berbunyi lima belas menit yang lalu. Namun, gadis itu terlihat berjalan santai dengan permen karet di mulutnya. Kirana Anatasya, gadis remaja yang kini telah menduduki kelas XI SMA.

“Hei! Mau kemana kamu?” suara indah nan merdu itu menghentikan langkah Kirana. Bu Dian sang guru tercinta Kirana sudah berkacak pinggang dibelakang Kirana.

Kirana menepuk dahinya pelan, “Mampus! Ketahuan gue,” perlahan Kirana memutar tubuhnya ke belakang, “Eh, Ibu apa kabar?”

“Kamu lagi, kamu lagi.” Tangan Bu Dian sudah berpindah ke telinga Kirana, “Astaga hobi banget telat!”

Kirana mengadu kesakitan, “Jangan di jewer atuh Ibu, nanti kuping Kirana melar.” Rontanya berusaha melepas tangan Bu Dian, “Ibu mau Kirana jewer juga?”

Bukannya melepas Bu Dian semakin semangat menjewer Kirana, “Berani ya kamu, bosen ibu liat kamu mulu.”

“Berkah kali Bu liat muka manin nan menggemaskan Kirana.” Ucapkan sambil mengelus telinganya, Bu Dian sudah melepas tangannya dari telinga Kirana, “Ibu seharusnya bersyukur bias liat Kirana pagi-pagi, temen sekelas Kirana aja gak pernah loh bu.”

“Iyalah gak pernah, kamu aja telat terus masuk kelas setelah istirahat selesai.” Omel Bu Dian, “Emangnya di rumah kamu gak ada jam, gak masang alarm, kamu ini tidur apa pingsan sih?!”

“Jangankan alarm bu, ada konser di kamar aja Kirana gak akan denger. Dan lagi Kirana sama kasur saling mencintai.”

Bu Dian menggelengkan kepala, “Ibu bingung mau kasih kamu hukuman apalagi.”

“Saran Kirana sih gak perlu dikasih hukuman bu.”

Bu Dian tersenyum manis, “Kalo gitu keliling lapangan sepuluh kali.”

Kirana melotot, “Sepuluh kali? Kurangin lah bu,”

“Oke duapuluh kali.”

“Oke sepuluh kali Kirana berangkat sekarang.” Dengan berat hari Kirana menuju lapangan dengan lemas, sepuluh kali keliling akan sangat menguras tenaga ditambah lapangan SMA Purnam tidak sekecil itu, butuh lima menit untuk bisa melewati satu putaran.

...----------------...

Setelah melaksanakan hukuman Kirana tidak langsung kembali ke kelas melainkan ke kantin. Tidak perlu waktu lama bagi Kirana sampai ditempat tujuan. Alunan musik Alan Walker menemani Kirana sendirian.

“Mang Tuk, seperti biasa ya.” Pesan Kirana yang sudah akrab dengan penjual bakso itu. Menurut Kirana bakso buatan Mang Tuk tidak ada duanya. Apalagi kalau gratis.

“Hari ini dihukum apa, neng ?” Tanya Mang Tuk sambil meletakkan semangkok bakso dan jus jeruk dihadapan Kirana.

Kirana terkekeh, Mang Tuk sampai hafal dengan rutinitas tiap paginya. “Biasa keliling lapangan lagi,”

“Sekali-kali atuh neng jangan telat,”

“Aduhh susah Mang, udah bawaan dari lahir ini.”

Mang Tuk hanya tertawa dan pamit kembali ke kedai baksonya.

Kirana kembali menikmati suasa kantin yang damai, angin pagi memang sangat sejuk, Kirana baru menyadarinya sekarang. Tidak butuh waktu lama Reva dan Elsa datang dengan tidak tenangnya.

“Woi lo tau gak sih?!” heboh Reva ketika sudah sampai di depan Kirana, gadis dengan rambut pendek itu dengan cepat mengambil jus jeruk Kirana dan meminumnya hampir setengah.

“Heh?! Anoa! Jus gue jangan dihabisin!” protes Kirana lalu merampas gelas jus jeruk itu dari Reva.

Reva hanya menyengir lebar, “Sori, lari butuh banyak tenaga ternyata.”

“Lagian siapa suruh lari-lari.” Cibir Kirana menjauhkan jus jeruknya dari Reva. “Mana Elsa? Kalian gak bareng?”

Mendadak wajah Reva ditekuk, “Bocah sialan emang dia.” Geramnya, “Udah tau gue takut kucing malah dikejar sambil bawa anak kucing.”

Tawa Kirana pecah, bukan hal umum lagi jika Reva sangat takut dengan kucing. Gadis itu punya trauma terhadap hewan berbulu lucu itu. Waktu usia Reva 5 tahun ia pernah di kejar kucing sampai masuk got, hanya karena itu Reva mempunyai trauma pada kucing. Tapi ada kejadian yang membuat Reva sangat takut dengan kucing, dulu setelah insiden dirinya masuk got. Sepupunya yang seumuran dengan dirinya pernah digigit kucing dan 3 bulan kemudian meninggal dunia. Setelah diselidiki ternyata kucing yang menggigit sepupunya itu terkena rabies.

“Kucing gemoy kek gitu bisa-bisanya lo takut.” Ejek Kirana.

“Bodoamat! Pokoknya gue takut sama makhluk itu.” Keukeuh Reva. “Apa lo hah?” sewotnya ketika Elsa datang dengan cengiran lebar.

“Kucingnya udah gue buang kok tenang.” Elsa duduk disamping Reva.

“Jauh-jauh dari gue!” Reva mendorong Elsa agar menjauh. “Lo banyak kuman.”

“Astaga Reva tadi itu kucingnya Salma anak IPS 2.” Ujar Elsa, “Tadi ada praktek cara memandikan hewan yang benar.”

“IPS praktek memandikan hewan?” Tanya Kirana.

Elsa mengangguk, “Heran kan, noh sekelas anak ips heran semua. Tapi mau heran ini tugas bu Selen. Lo tau sendiri tuh guru gimana.”

“Maniak banget sama hewan.” Reva bergidik ngeri.

“Mau makan apa lo gue pesenin.” Ujar Elsa pada Reva.

“Wih tumben.”

“Kelamaan mikir hangus.”

“Bakso sama es teh.” Jawab Reva cepat, “Udah cuci tangan belum lo!”

“UDAH ASTAGA!” setelah mengatakan itu Elsa berjalan menuju kedai bakso Mang Tuk meninggalkan Reva yang tertawa puas.

“Segitu takutnya lo sama kucing?” Tanya Kirana sambil menggigit baksonya.

Reva mengangguk, “Bukan Cuma kucing sih sebenernya gue takut sama semua hewan.”

“Karna sepupu lo kena rabies?”

“Iya. Dari situ gue jadi takut megang-megang hewan.” Jelas Reva.

“Pantes lo waktu praktek mutilasi kodok pingsan.”

Reva menyengir lebar, memang benar waktu praktek memahami bagian kodok Reva pingsan. Padahal gadis itu hanya memegang tangan kodok.

“Ini pesananya Tuan Putri Reva.” Elsa datang dengan dua mangkok bakso dan dua es teh. “Btw, lo di hokum apa, Na?”

“Keliling dunia.” Asal jawab Kirana tapi kedua temanya langsung mengerti.

Elsa meminum es tehnya, “Sekarang lo langganan keliling dunia ya.”

Kirana cemberut memakan baksonya kasar, “Tau tuh beruang kutub sekarang ngasih hukuman keliling dunia mulu padahal dulu bersiin toilet.”

Reva terkekeh, “Beruang kutub udah tau otak jahat lo. Paling lo bakal minta tolong pak somat buat bersin toilet trus lo ngadem dikantin. Iyakan.”

Tebakan Reva tepat sasaran karena dulu Kirana melakukan hal itu. Pak Somat adalah tukang kebun di sekolah dan sangat akrab dengan Kirana. Tapi hal itu ketahuan bu Dian dan membuat Kirana selalu mendapat hukuman keliling lapangan.

“Btw, gue tadi gak sendiri pas dihukum. Ada cowok ganteng tapi mukanya datar kayak papan gilesan.” Kirana mencerikan waktu dirinya di hukum tadi.

“Seganteng apa?” Elsa penasaran.

“Kek Manu Rios.”

“Demi apa?!” beo Reva, “Kalo ada cowok seganteng itu disekolah pasti gue udah tau ya monyet!’

“Berarti lo kurang update.” Celetuk Elsa.

“Murid baru paling, udahlah makan aja dulu. Gibahnya nanti lagi.” Ujar Reva menyuap bakso dengan ukuran besar.

“Gak bakal gue minta itu bakso!”

...----------------...

Bel masuk sudah berbunyi 15 menit yang lalu. Kegiatan belajar mengajar kembai berlangsung. Kirana duduk dibangkunya sambil mencoret-coret buku menggunakan pulpen pink kesukaannya.

Entah karena apa Kirana merasa bosan dikelas. Mungkin karena guru didepan tengah menjelaskan materi bab minggu lalu. Pasalnya Kirana sudah memahami bab itu diluar kepala.

Jangan remehkan otak Kirana meskipun dia rada gila tapi otaknya lumayan encer. Apalagi dibidang Kimia Kirana sangat jago dan patut diacungi jempol karena sudah beberapa kali menyumbangkan piala untuk SMA Purnama. Oleh karena itu Kirana masih bertahan disekolah ini.

Jika bukan karena otak cerdasnya Kirana pasti sudah angkat kaki dari SMA Purnama. Sekolah mana yang mau menampung siswa bermasalah yang sulit untuk dijinakkan. Untungnya ada yang bisa dibanggakan dari Kirana. Otak cerdasnya.

"Bosen gue yang dibahas itu itu mulu, guekan udah bisa." Keluh Kirana pada teman sebangkunya, Reva.

"Lo emang udah bisa tapi yang lain belum, bego!" Cetus Reva.

"Bodo amat. Gue laper pengen baksonya mang ucup."

"Makanan mulu otak lo."

"Manusia bisa mati kalo gak makan. Gue mau ketoilet kebelet." Gadis itu berdiri dan meminta ijin untuk ketoilet.

"Dasar bocah, tadi bilangnya laper sekarang kebelet mana yang bener. Ada dua kemungkinan, satu dia beneran ketoilet dan kedua dia nyasar ke kantin."

Kirana berjalan dengan santai dikoridor sekolah. Tujuan saat ini adalah kantin perutnya sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Padahal tadi ia sudah makan, mungkin ini karena tamu bulanannya datang membuat nafsu makan Kirana menanjak drastis.

Ketika hendak berbelok kekantin Kirana mengehentikan langkahnya dan merapatkan tubuhnya di dinding. Dilihatnya Bu Dian tengah berpatroli di sekeliling kantin dengan penggaris kayu yang setia ditangan kanannya.

Senjata kebanggan Bu Dian.

"Yaelah, tuh singa ngapain sih berkeliaran disini? Nggak tau apa kalo gue laper? Karena gue lagi nggak mood buat bikin masalah sama si singa. Mending gue ke toilet cuci muka. Suntuk gue dikelas."

Seharusnya Kirana tidak perlu jauh-jauh ke lantai dasar hanya untuk ke toilet. Karena dilantai dua juga ada toilet. Jangan heran dengan Kirana, ia sengaja menuju toilet lantai dasar hanya untuk jalan-jalan.

Bukankah tadi Kirana bilang ia suntuk dikelas.

Dengan langkah riang Kirana terus menyusuri setiap koridor sekolah sambil bersenandung. Satu belokan lagi ia akan sampai ditoilet.

Sepertinya Tuhan berkata lain.

Saat Kirana berbelok ada seseorang yang menabraknya. Sehingga bokong indah Kirana mencium lantai koridor yang mulus.

"****! Pantat gue." Umpat Kirana. "Patah tulang nih pasti." Lanjutnya sambil mengusap-ngusap bokongnya.

"Jalan juga butuh mata. Jangan ngandelin kaki doang." Suara seseorang yang menabrak Kirana tadi.

"Buset!! Gue dimarahin. Guekan korban disini." Batin Kirana.

Kirana bangun dari posisinya yang terduduk dilantai. Kemudian mendongakkan kepalanya agar bisa melihat orang yang menabraknya tadi.

Mulut Kirana jatuh kebawa seketika. Umpatan yang sudah siap keluar ia telan lagi. Kulit putih, hidung mancung, alis tebal, bibir berwarna merah seperti memakai lisptik, rahangnya yang keras dan jambulnya yang cetar membahana dikepalanya serta postur tubuh yang tinggi dan sixpack.

Kirana mengelengkan kepalanya sedangkan cowok yang ada dihadapannya mengerutkan dahi bingung.

"Eh, lo yang nabrak gue. Malah lo yang marah-marah. Bukannya minta maaf malah ngomel. Kalo seandainya pantat gue luka gimana? Trus gue lumpuh gimana? Gimana?" Ucapa Kirana penuh emosi dengan nafas memburu, wajahnya pun sudah memerah karena menahan kesal.

"Cuma seandainya kan? Lo juga nggak lumpuhkan." Ucap cowok itu dingin.

Wajah Kirana semakin memerah ingin rasanya ia mencakar wajah cowok itu, menarik jambulnya dan membakarnya.

Cowok yang tidak dikenal itu hanya mengangkat bahunya tidak peduli dan berlalu begitu saja tampa mengucapkan sepata katapun.

"WOI, EMANG YA MANUSIA ITU NGGAK BISA NGUCAPIN DUA KATA. MAAF DAN TERIMAKASIH. DAN GUE MAKASIH SAMA LO KARNA LO UDAH NGEBUKTIIN ITU SEMUA." Teriak Kirana menggelegar diseluruh koridor.

"Awas aja, ketemu lagi gue jotos tuh muka, gue botakin tuh rambut biar tau rasa."

Mood Kirana benar-benar hancur kali ini. Ia tidak jadi ke toilet. Jadi ia putuskan untuk kembali ke kelas.

Kirana berjalan dengan menghentak-hentakkan kakinya, nafasnya memburu seperti akan memakan orang. Tapi ada sesuatu yang menganjal dipikiran Kirana.

"Kok gue kayak pernah liat ya tuh muka? Dimana? Kayaknya nggak asing di mata gue." Ujar Kirana sambil mengingat-ngingat sosok lelaki tadi. Kirana menjentikan jarinya. "Ah, gue inget. Dia kan cowok yang dihukum bareng gue tadi pagi."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!