4.Duri Kehidupan.

Sedikit curhat tak apalah, agar dia mau membantuku, sekasar apapun pekerjaan asalkan dapat imbalan tidak masalah, lelah pun akan terbayarkan, tapi kalau kasarnya perkataan akan sangat sulit untuk menyembuhkan lukanya, bahkan jika sudah lama tertimbun dihati bisa menimbulkan penyakit.

"Kamu belum menikah?" Tanya pria itu kembali.

"Punya suami pun sepertinya tak ada gunanya lagi Pak, menjaga makan minumnya dan merawatnya saja ternyata tidak cukup, aku diharuskan untuk mencari uang juga."

Bukannya aku tidak mau bersyukur mendapatkan dia dalam hidupku, namun saat aku mencoba bertahan, berulang kali pula dia menanamkan rasa sakit yang akhirnya menjadi dendam dihatiku.

"Astaga Neng yang sabar ya, kalau begitu ikut aku, biar aku tanyakan dulu dengan mandor kami ya?"

Pria itu semakin tidak tega mendengarnya, apalagi saat melihat penampilanku yang seolah berasal dari lingkungan kumuh.

"Terima kasih banyak Pak."

Kerja apapun akan aku lakukan, apalagi jika modalnya hanya tenaga, karena memang aku hanya punya itu saja saat ini.

"Sini Neng, bantu angkat pasir kedalam Angkong dan dioper ke tukang aduk ya, nanti setelah itu kamu bawakan hasil adukan pasir dan semen itu ke tukang pasang batu merah disana." Ucap Mandor itu yang ternyata berhati baik, begitu bapak tadi berbisik dengannya dia langsung menggangukkan kepalanya, bahkan menyuruh seseorang untuk mencarikan masker dan topi caping agar sengatan panasnya matahari tidak terlalu menusukku.

"Baik Pak."

"Kalau nanti capek banget boleh duduk dulu dan minum disana sebentar, nanti bisa kerja lagi."

Ternyata masih ada orang baik yang tersisa didunia ini, mandor bangunan itu masih bisa memanusiakan manusia dan memahami kalau aku ini hanyalah tulang rusuk saja, bukan tulang punggung keluarga.

"Terima kasih banyak Pak."

Pekerjaan ini memang sangat melelahkan, apalagi dibawah teriknya sinar matari yang menyengat, kepalaku sebenarnya sudah terasa pusing, apalagi debu berterbangan dimana-mana, namun aku harus kuat, pokoknya aku harus membawa pulang uang hari ini.

***

Matahari sudah mulai turun, waktu menunjukkan pukul empat sore, dan kuli bangunan yang lainnya sudah terlihat menghentikan pekerjaannya.

Dengan helaan nafas yang cukup berat, aku mengibas-ngibaskan caping pinjaman dari rekan tukang bangunan tadi ke wajahku yang sudah banjir dengan peluh, ditambah bercampur dengan debu pasir yang menghitam.

"Ini Neng, upah kerja hari ini untukmu." Mandor itu kembali mendekatiku dengan senyumnya yang terlihat dipaksakan, aku yakin bukan karena benci, tapi karena miris melihat nasipku.

Tujuh puluh ribu rupiah?

Aku termangu saat melihat uang pemberian dari mandor bangunan itu.

"Sebenarnya upah setengah hari itu hanya lima puluh ribu Neng, tapi aku beri lebih, buat belanja masak makan malam kamu dan keluarga."

Mandor itu mungkin teringat dengan istri atau ibunya dirumah yang mungkin lebih beruntung daripada aku, sedangkan disini aku berjuang banting tulang perempuan sendiri.

"Terima kasih banyak Pak, terima kasih sekali."

Senyumku begitu merekah melihat dua lembar uang hasil kerja kerasku siang ini, walau badanku seolah terasa remuk, tanganku begitu terasa pegal, tulang kakiku linu, namun uang tujuh puluh ribu ini benar-benar sangat berharga untukku. Setidaknya nanti aku bisa membeli sesuatu untuk modal pembalasanku terhadap kegilaan suamiku itu.

***

Sebelum pulang kerumah aku sengaja mampir ke Apotik untuk membeli beberapa obat dan saat melewati sebuah toko, aku melihat ada yang menjual baju-baju bekas, jadi aku sengaja membeli beberapa potong baju yang masih layak pakai, ini uangku sendiri jadi aku tidak perlu minta izin dulu untuk mempergunakannya.

Alhasil uang yang aku kantongi tinggal tiga puluh ribu rupiah, tapi tak apa, lagian uang tiga puluh ribu juga biasanya uang belanjaku selama tiga hari, jadi setidaknya aku bisa bayar utangku kemarin dan belanja untuk dua hari kedepan.

"Hanum, cepat masuk! kenapa jam segini baru pulang? Kamu sudah kayak ayam yang seminggu nggak keluar kandang aja, kemana aja kamu!"

Baru saja kakiku ingin melangkah masuk kedalam pekarangan rumah, namun dia sudah berteriak dari depan pintu.

"Bukannya Abang menyuruhku mencari uang?"

"Ish, bau apa ini, kamu habis darimana, kenapa baumu seperti bau bangkai!" Dia langsung memencet hidungnya saat aku melewati tubuhnya.

"Aku rela panas-panasan dan kotor-kotoran seperti ini demi uang Bang, tapi masih saja kamu hina!" Dan saat itu emosiku seolah naik, apalagi saat tubuhku terasa lelah.

"Sudahlah, cepat mandi sana, ada orang yang akan datang mencarimu sebentar lagi."

"Siapa?"

"Cepatlah mandi, jangan banyak tanya kamu!"

Aku sedikit heran, selama aku pindah ke rumah suamiku jarang ada orang yang mencariku, selain tukang kredit barang pecah belah yang selalu keliling setiap Rabu Pahing.

"Hanum, sudah selesai belum?"

"iya, sudah Bang."

"Sini cepat, kamu sudah ditunggu."

"Siapa dia Bang?"

Aku benar-benar terkejut saat melihat seorang wanita yang berpakaian minim sekali, dia duduk menyilangkan kaki dan tersenyum melihatku.

"Dia bos baru kamu mulai malam ini!"

"Maksud Abang?"

"Bukannya kamu sudah setuju untuk jual diri kemarin? Aku sudah mencarikan jalan untukmu, dia akan mencarikan kamu pelanggan, kamu tinggal setor beberapa persen saja dari penghasilanmu setiap malam."

Degh!

Mulutku langsung bergetar, aku benar-benar tidak menyangka suamiku akan segila ini dan benar-benar menjual aku dengan seorang Germo.

"Abang, apa ini balasan dari pengabdianku terhadapmu dan terhadap keluargamu selama ini?" Kesabaranku kali ini sudah diujung tanduk, sampai matipun aku tidak akan pernah memaafkan pria yang sudah menghalalkan aku dengan uang senilai lima ratus ribu ini.

"Sudahlah jangan banyak bacot kamu, saat ini keuangan kita benar-benar krisis, untuk makan aku sama Ibu saja kurang, apalagi nambah kamu, jadi ikutlah dia sekarang juga, kamu tidak akan mati saat bersamanya."

"Jadi Abang menggangap aku ini hanyalah sebuah beban, dimana hatimu Bang?"

Rasa-rasanya aku ingin menangis darah saat ini, namun masih aku tahan, karena Germo wanita itu terus saja menatap tubuhku dari ujung kepala sampai keujung kaki.

"Diam kamu!"

"Okey baiklah, tapi jangan pernah menyesal nanti."

Aku sudah tidak tahu lagi mau berkata apa, yang pasti aku benar-benar kecewa dan marah terhadapnya.

"Kalau kamu tidak mau pergi, baru aku menyesal karena sudah menikahmu." Cibirnya yang membuat tekatku untuk balas dendam semakin kuat terhadapnya.

"Ingat Bang, jangan menaruh duri dijalanku, siapa tahu suatu hari nanti, kamu akan datang mencariku tanpa alas kaki!"

"Peh, tidak akan!"

Dia langsung melengos, seolah ucapanku ini hanyalah sebuah gertakan saja, tapi tunggu saja pembalasan terbaik dariku.

Di balik senyumku adalah patah hati, di balik tawa aku hancur berantakan. Di belakang mataku ada air mata di malam hari, di belakang tubuhku ada jiwa yang berusaha bertarung.

Namun aku percaya Tuhan maha adil, jadi untuk saat ini yang bisa aku lakukan hanyalah memilih jalur Langit.

Terpopuler

Comments

Tati Suwarsih

Tati Suwarsih

y Allah sungguh g punya akhlak

2023-12-20

0

diya

diya

yakin hanum akan bahagia

2023-12-13

1

Yuniki E𝆯⃟🚀

Yuniki E𝆯⃟🚀

Semangat Num

2023-10-11

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!