Terkadang aku merasa takjub dengan diriku sendiri, dua tahun itu bukan waktu yang singkat, namun ternyata aku bisa melewati ini semua, walau bahagiaku setelah masuk didalam dunia pernikahan mungkin bisa dihitung jumlahnya.
"Masih dirumah aja kamu Han, katanya mau cari uang, nggak mampu kamu? Kemarin siapa yang terlihat pamer semangat."
Setelah emaknya rewel minta diambilkan ini itu, sekarang gantian suara putranya yang kembali menyesakkan dada, mana ada aku pamer semangat, apa dia tidak bisa membedakan yang mana semangat dan yang mana rasa benci. Aku rasa bukan hanya hantinya yang buta, kedua matanya itu juga sepertinya sudah mulai rabun.
"Ini masih terlalu siang untuk jual diri Bang." Ucapku sambil mengepalkan kedua jemariku sendiri untuk tetap terlihat baik-baik saja, begini amat kisah hidupku?
"Hei, asal kamu tahu aja, nafsu seorang pria itu bukan hanya saat malam tiba saja, jam segini juga sudah bisa prot-prot!"
Entah iblis dari mana yang sedang merasuki tubuh suamiku ini, kenapa dia seolah seperti manusia yang sudah tidak punya adab.
"Maksud Abang apa?"
Mulutnya itu semakin lama semakin pandai membuat kosa kata, memang pandai kalau tinggal nerocos doang, padahal walau sekarang umurnya masih muda, kalau burung miliknya itu tidak dielus-elus juga kayak lemak sapi, lembek tidak bisa berdiri lama.
"Yang penting kan dapat uang, bulan ini gajiku mungkin hanya separuh, jadi sebisa mungkin kamu harus bisa cari uang, kalau tidak mau mati kelaparan, paham kamu."
Apa sebegitu besarnya pengaruh uang untuk merubah jati diri seorang manusia didunia ini? Tapi suamiku benar-benar keterlaluan, aku masih belum siap untuk menanggung dosa yang begitu berat itu, tapi memang kenyataannya zaman sekarang mau apa-apa butuh uang, bahkan untuk dihargai dan dihormati seseorang didepan khalayak umum pun, kita perlu yang namanya uang.
"Apa Abang benar-benar sudah dibutakan oleh uang? Apa hanya itu saja yang paling penting dalam hidup Abang?"
Aku sungguh ingin tahu, seberapa dalam rasa sayang yang dulu permah dia agung-agungkan saat ingin menikahiku, kenapa baru dalam kurun waktu tiga tahun saja seolah sudah hilang tak bersisa.
Apa dia sungguh rela, jika misal kata melihat aku mendesah dengan pria lain dihadapannya hanya dengan imbalan uang saja, sebegitu dangkalkah perasaan cintanya itu?
"Tentu saja, tanpa uang kita tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan saat kamu matipun masih perlu uang, untuk buat acara doa bersama."
Andai dunia bisa diputar kembali, lebih baik aku merantau jadi TKI saja, mencari uang sebanyak-banyaknya agar tidak selalu direndahkan oleh siapapun.
Dasar pria gila! Apa dia juga mengharapkan aku mati sekarang?
"Tapi Bang--"
Belum sempat aku meneruskan kata-kataku, dia sudah mendorong bahuku agar aku segera lekas pergi dari pandangannya, seolah aku ini wanita yang sangat menjijikkan dimatanya.
"Sudahlah, keluar saja dulu sana, cari kerja serabutan juga tidak masalah, yang penting menghasilkan uang."
Dunia memang terkadang sering terlihat jahat, kalau kita miskin, sebaik apapun kita, orang jarang menoleh kearah kita bahkan tidak mau berdekatan, takut jika kita akan berhutang dengan mereka, sedangkan kalau kita kaya raya dan banyak uang, kita kentutpun mereka akan tertawa. Tapi bukanlah Allah itu tidak tidur?
"Kalau begitu aku minta ongkosnya Bang."
Aku benar-benar tidak pegang uang, hanya tersisa uang koin lima ratusan dua biji sebagai penghuni abadi didalam Dompet usang yang aku dapatkan dari souvenir pernikahan tetanggaku tahun lalu.
"Ongkos dari mana, kerja aja belum dapat sudah minta uang kamu ini." Dia mulai menaikkan intonasi suaranya, padahal ketika aku menjerit sedikit saja seolah suaraku ini sudah menggegerkan dunianya.
"Trus aku perginya naik apa Bang?" Kami tidak punya transportasi yang memadai, cuma punya motor butut yang selalu dipakai kerja oleh suamiku saja, itupun harus digenjot dulu agar hidup, karena staternya sudah mati dan tidak punya biaya untuk servis motor.
"Kamu masih punya dua kaki kan, gunakanlah untuk semestinya!" Dia benar-benar tak punya rasa belas kasihan denganku, apa mungkin dia punya wanita idaman lain? Tapi apa zaman sekarang masih ada yang mau dengan pria yang tampangnya juga pas-pasan, apalagi dompetnya yang setipis triplek itu, tapi ya sudahlah bahkan dititik terjenuhku, aku berharap agar diriku tidak lagi perduli dengan semua tentangnya.
"Tapi Bang--" Aku yakin dia masih pegang uang walau tak seberapa, padahal aku tidak minta banyak, apalagi minta uang buat jajan, aku hanya minta buat ongkos pulang pergi saja, itupun tidak dia bagi.
"Nggak ada tapi-tapian, sekarang berangkat sana!"
Dengan langkah lunglai akhirnya aku meraih jacket tipisku karena aku hanya menggunakan daster saja, tidak perlu ganti baju, karena semua bajuku juga sama buluknya dengan yang aku pakai, lebih baik aku segera menginjakkan kakiku untuk keluar dari rumah sederhana yang sudah seperti neraka itu saja.
Baju lusuh dan sendal jepit usang kini menjadi modal untuk aku mencari uang pertama kalinya setelah menikah, tapi yang jadi masalahnya saat ini, dimana aku harus mencari pekerjaan itu?
Keringatku bahkan sudah jatuh bercucuran setelah hampir satu jam aku jalan kaki, tapi tak menemukan seseorang yang menawarkan aku sebuah pekerjaan, padahal aku sudah mencoba tanya-tanya ke beberapa warga, jika membutuhkan jasa gosok baju atau cuci baju keliling aku sangat bersedia, tapi pekerjaan seperti itu rata-rata ditempatku memang sudah dikerjakan sendiri-sendiri.
Dan di Ladang jika bukan juragan besar, petani didaerah sini rata-rata memanen tanamannya sendiri, karena penghasilannya juga tidak seberapa, jika harus menggunakan jasa buruh juga untungnya nggak akan dapat banyak, karena harga benih tanaman dan pupuk pun sekarang ikut naik dan melambung tinggi, seolah mencekik para kaum petani.
"Aku harus pergi kemana ini, kakiku sudah lelah sekali, Ya Tuhan tolong bantu aku."
Aku duduk sambil jongkok dibahu jalan, andai kisahku seperti dalam sinetron ikan terbang, setelah didzolimi dan disia-siakan oleh suami, jadi tukang gosok baju keliling saja dengan mudahnya bisa menjadi sukses dan kaya raya, tapi itu sepertinya mustahil bagiku.
"Neng, mau minum?"
Tiba-tiba saat pandanganku mengambang, terlihat sepasang sepatu boots karet yang sudah berdebu itu berdiri dihadapanku.
"Tidak Pak, terima kasih." Jelas saja aku menolaknya, pria itu mengulurkan satu botol air mineral kemasan, yang aku taksir harga ecernya pasti dari harga lima ribuan.
Tapi jangankan lima ribu rupiah, didompetku pun hanya tinggal uang seribu perak doang, bagaimana cukup jika nanti aku disuruh membayar air itu pikirku.
"Kamu sepertinya haus Neng, ambilah minuman ini." Namun dia tetap memaksakan diri agar aku mau mengambil pemberiannya.
"Maaf, tapi nanti saya tidak punya uang untuk membayarnya Pak." Lebih baik aku jujur saja daripada segan untuk terus menolaknya.
"Ini gratis neng, aku bukan pedagang minuman kok." Ucap Pria separuh baya yang berotot itu, dia bahkan terlihat tersenyum atau lebih tepatnya menertawakan aku.
"Owh, terima kasih banyak Pak." Karena memang haus dan sudah aku pastikan itu adalah minuman gratis, jadi aku langsung menerimanya dan meminumnya saja.
"Eneng mau kemana, kenapa hanya jalan kaki saja." Dia ikut duduk dibebatuan yang teronggok disampingku sambil menghidupkan rokoknya, sepertinya pria itu baru selesai istirahat makan siang.
"Mau nyari kerjaan Pak." Jawabku dengan nada lemah.
Sebisa mungkin aku harus mendapatkan uang sekarang, karena untuk melakukan pembalasan atas perlakuan suamiku juga butuh modal, jadi untuk sementara aku akan cari kerja sambil cari info dulu, lagipula aku juga tidak tahan jika terus menerus dihina saat suamiku ada dirumah.
"Kerja apa Neng?" Tanya pria itu kembali sambil menyemburkan asap rokoknya dengan santai, seolah rasa lelahnya terbayar sudah walau hanya dengan sepuntung rokok saja.
"Kerja apa saja saya mau Pak, apa bapak bisa membantu saya?" Kebetulan ada yang nanya jadi aku memberanikan diri untuk meminta bantuan darinya, siapa tahu ada yang bisa menghasilkan uang.
"Saya juga cuma pekerja buruh lepas Neng, sebenarnya ada tapi itupun untuk kaum pria." Kalau dilihat dari penampilannya memang pekerjaannya berat dan pastinya diluar ruangan.
"Memangnya kerja apaan Pak, saya kuat kok." Apapun pekerjaannya akan aku coba pikirku, aku tidak mau pulang dengan tangan kosong, karena sudah pasti akan ada hinaan lagi dari suamiku.
"Hanya kuli bangunan Neng, pekerjaannya berat, kasihan jika kamu harus kerja kasar seperti saya."
Orang lain yang tak kenal dengan aku saja merasa kasihan, tapi suamiku sendiri bahkan tega memaksaku bekerja apapun itu asal dapat cuan.
"Saya mau pak, kerja apapun saya mau, saya lagi butuh uang sekali Pak, untuk biaya makan saja saya harus hutang sana sini."
Aku langsung sedikit bersemangat dan tak lupa memanjatkan puji dan syukur, karena Tuhan mendengar secuil doaku tadi.
To Be Continue...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
diya
bikin geregetan itu suami laknat
2023-12-13
1
Eli Aryanti
Kalau Baca cerita ini Aku semakin bersyukur karena dikaruniai Suami yg menyayangi dan menghargai Istrinya 🥰🥰🥰
2023-10-28
0
Yuniki E𝆯⃟🚀
Pengen ketawa 🤭🤭🤭🤭🤭
2023-10-11
1