Pengasuh Majikan Impoten
Jauh-jauh merantau ke kota demi membantu calon suami mengumpulkan modal nikah, Diani Ayu Larasati terjebak dalam sebuah perjanjian kerja yang sama sekali tidak dia ingini.
Hanya karena tergiur gaji di atas UMR, gadis manis yang biasa dipanggil Ayas itu iya-iya saja kala seorang kenalannya menawarkan pekerjaan untuk menjadi pengasuh di ibu kota.
Siapa sangka, yang akan dia asuh bukanlah balita, melainkan seorang pria impoten yang merupakan produser sekaligus CEO dari Wijaya Corp, Givendra Kama Wijaya. Tidak hanya itu yang membuat Ayas tercengang, tapi tugas utamanya sebagai pengasuh sangat sulit diterima akal.
"Tugasmu sederhana, cukup bangunkan aku dan bangunkan dia," ucap Kama seraya menunjuk bagian bawahnya yang membuat mata Ayas membulat sempurna.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Kok sepi ya? Tapi kata mbak Hani bener ini alamatnya."
Sekali lagi dia memastikan, dalam keadaan bingung gadis cantik yang biasa dipanggil Ayas itu celingukan seraya memastikan kembali kertas kecil yang berisikan catatan alamat majikannya. Tidak lupa, dia memastikan penampilan, walau hanya sebagai pengasuh, Ayas tetap ingin terlihat rapi dan menciptakan kesan baik di pertemuan pertama bersama majikannya.
Bagi sebagian orang mungkin pekerjaan itu dianggap sebelah mata, tapi bagi seorang Diani Ayu Larasati, hal itu sudah merupakan keberuntungan. Bagaimana tidak? Gadis belia yang beberapa bulan lalu lulus SMA itu masuk kategori kalangan menengah ke bawah, bahkan termasuk susah hingga mimpinya tidak muluk-muluk.
Mengingat saat ini lapangan pekerjaan amatlah sulit, dia sudah mencoba mencari, tapi memang tidak ada perusahaan ataupun toko-toko yang bersedia menerimanya. Ditambah lagi, tahun depan dia akan menikah dan sebagai calon istri yang tidak ingin memberatkan, Ayas nekat mencari pekerjaan demi menambah modal nikah. Oleh sebab itulah, begitu mendapat tawaran kerja dari tetangganya, Ayas tanpa pikir panjang menerima tawaran tersebut.
Sebuah tawaran yang cukup menjanjikan dengan gaji perbulan di atas UMR ibu kota dan dia sempat tercengang mendengarnya. Awal pertama Hani menawarkan pekerjaan ini, dia sempat berpikir jika pekerjaannya tidaklah halal atau akan diajak turun ke dunia malam.
Namun, Hani sebisa mungkin menjelaskan dan anehnya sang ibu juga turut mendukung keputusannya sampai akhirnya Ayas yakin betul untuk terbang ke Jakarta. Ya, dan saat ini di sinilah dia berdiri, kediaman keluarga Wijaya yang teras depannya saja bahkan lebih luas dari rumahnya di kampung.
Setelah cukup lama menunggu di depan gerbang utama, Ayas disambut baik dengan seorang pelayan yang mungkin seumuran kakaknya. Wanita itu terlihat amat baik, bahkan dengan senang hati mengantarkan Ayas ke kamar yang akan mereka tempati.
"Nyonya sama tuan besar di Semarang, cucunya ulang tahun kemarin ... nah kalau tuan muda masih di kantor, biasanya makan siang pulang, Yas."
Ayas mengangguk mengerti, dari jawaban Ida Ayas menyimpulkan jika yang akan dia asuh masih berada di Semarang. Sayang, Ayas tidak dapat segera berkenalan, pikirnya. "Ehm cucunya sudah berapa tahun, Mbak Ida?"
"Dua tahun, lagi lucu-lucunya pasti kamu suka ... anaknya non Kalila kembar, ganteng dan cantik."
Senyum Ayas mengembang, hatinya semakin berbinar begitu mendengar penjelasan Ida. Anak kecil berusia dua tahun sedang lucu-lucunya, ditambah kembar dan kalau mengingat foto pernikahan yang dipajang di ruang tamu, sudah pasti akan sangat mengemaskan.
Semakin tak sabar, Ayas berdegub tak karu-karuan dan dia sebahagia itu membayangkan akan mengasuh dua anak sekaligus. Sebenarnya sudah sangat biasa, selama bertahun-tahun Ayas juga sudah mengasuh keponakannya, tapi untuk yang kembar jelas belum pernah dan ini adalah sebuah tantangan baginya.
Sementara majikannya pulang, Ayas diajak Ida untuk mengelilingi rumah mewah itu. Dia juga turut membantu di dapur demi menyiapkan makan siang untuk seseorang yang Ida sebut tuan muda itu.
"Den Kama beda jauh sama tuan, semoga kamu betah ya di sini ... setelah bi Rosma meninggal, dalam waktu dua tahun sudah dua puluh orang yang dia pecat karena kesalahan kecil," bisik Ida yang cukup membuat Ayas terpaku, agaknya dia terlalu senang di awal hingga begitu mendengar fakta lain di keluarga ini Ayas menjadi panik.
"Semua?"
"Iya, tukang kebun, tukang masak, tukang cuci, sampai pengasuh tuan dan non kecil juga dia pecat karena keponakannya digigit nyamuk," papar Ida panjang lebar hingga Ayas menganga lebar-lebar.
"Luar biasa, apa tuan muda mengalami gangguan emosi atau semacamnya?"
"Ehm, entahlah ... sampai saat ini tidak ada yang tahu apa penyebabnya, tapi mungkin bawaan lah_"
"Ehem!!"
Jika sejak tadi Ayas yang menganga mendengar penuturan Ida, kali ini keduanya dan suasana ruangan mendadak suram begitu seseorang pria bermata tajam dengan wajah tegas itu menghampiri mereka.
"Siapa yang mengizinkan kalian menggunjingkanku?"
Ida mengatupkan bibir dan menundukkan kepala segera, sementara Ayas yang bingung hanya ikut-ikutan demi cari aman. Jujur saja begitu mendengar dia berdehem Ayas sudah berdegub tak karu-karuan, dan kini pria itu justru berdiri tepat di depan matanya.
Habis sudah, mungkin memang takdir Ayas jadi pengangguran abadi karena di hari pertama bekerja sudah merasakan kegilaan semacam ini. Dia memang tidak menatap wajah Kama, tapi dari ujung sepatunya Ayas bisa menarik kesimpulan pria itu marah besar.
"Diani Ayu Larasati." Ayas sedang gugup-gugupnya, dan Kama kini meloloskan namanya yang membuat wanita itu berdebar hebat.
"I-iya, Mas, Bang, Eh Tuan." Lidahnya mendadak tidak bisa diajak kerja sama hingga Ayas ingin sekali mengutuk dirinya sendiri.
"Ikut aku, kita perlu bicara," pungkas Kama berlalu pergi yang kemudian mau tidak mau harus Ayas ikuti dengan wajah cemasnya.
.
.
Ketika menghadapinya berdua, detak jantung Ayas seolah menggila. Kini, dia justru diminta bicara empat mata di ruangan kerja pria arogan yang sejak tadi diam tanpa kata. Sementara dirinya, diminta berdiri di hadapan Kama dan pria itu memandanginya sangat lama seraya bertopang dagu entah apa tujuannya.
"Umurmu berapa?"
"Hah?" Tidak fokus adalah alasannya, Ayas gelagapan hanya karena ditanya umur hingga menciptakan senyum tipis di wajah Kama.
"Umurmu berapa?" Kama mengulangi pertanyaannya, sedikit lebih pelan dan senyuman itu benar-benar membuat Ayas terguncang.
"19 tahun," jawabnya tetap gugup walau Kama sudah berusaha bersikap hangat padanya.
Tanpa menjawab lagi, Kama hanya mengangguk pelan sebelum kemudian bertanya lagi. "Sudah tahu tugasmu apa?" tanya Kama dan kali ini Ayas menjawab sebagaimana yang dia ketahui, yakni mengasuh keponakan Kama.
Mendengar jawaban polos Ayas, Kama terkekeh pelan. Entah kenapa gadis itu lucu saja di matanya. "Pengasuh keponakanku sudah ada dan mereka baik-baik saja, sepertinya kau belum membaca surat perjanjian yang kau tandatangani waktu itu, Ayas?"
Ayas makin bingung, surat perjanjian apa? Dan juga, tiba-tiba Kama memanggilnya dengan panggilan dekatnya. Kendati demikian, yang lebih penting saat ini adalah surat perjanjian yang Kama maksud. Benar memang ada tandatangannya di sana, tapi kala Hani meminta persetujuan Ayas, isinya tidak semenakutkan ini.
"Hah? Jadi Pengasuhmu?"
"Hm, apa tulisannya kurang jelas di situ?"
Jelas, sangat jelas bahkan berhasil membuat Ayas tersedak, sungguh. Dia sedikit tidak terima dan merasa dijebak dengan surat perjanjian konyol semacam ini. "Apa orang dewasa perlu pengasuh juga?"
"Tentu, kau pikir anak kecil saja?"
Ayas menghela napas panjang, mungkin ini adalah sisi lain kehidupan orang kaya yang tidak dia ketahui. "Baiklah, lalu tugasnya apa kalau mengasuh orang dewasa?"
Kama tersenyum tipis, nyaris tak terlihat dan tatapan matanya sungguh tak terbaca. "Tugasmu sederhana, cukup bangunkan aku dan bangunkan dia," ucap Kama seraya menunjuk bagian bawahnya yang membuat mata Ayas membulat sempurna.
"Ap-apa? Bisa diulangi?"
.
.
- To Be Continued -
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 135 Episodes
Comments
Umi Chomsatur Rochmah
aduuuh Thor .. aku juga lgsg pingsan klu dengar itu/Shame//Shame/
2024-10-06
0
Sleepyhead
Yeah lebih tepatnya Personal Assistant.
2024-09-27
0
Sleepyhead
Daebakkkkkk... 👀👀👀
2024-09-27
0