NovelToon NovelToon

Pengasuh Majikan Impoten

BAB 01 - Hari Pertama

Jauh-jauh merantau ke kota demi membantu calon suami mengumpulkan modal nikah, Diani Ayu Larasati terjebak dalam sebuah perjanjian kerja yang sama sekali tidak dia ingini.

Hanya karena tergiur gaji di atas UMR, gadis manis yang biasa dipanggil Ayas itu iya-iya saja kala seorang kenalannya menawarkan pekerjaan untuk menjadi pengasuh di ibu kota.

Siapa sangka, yang akan dia asuh bukanlah balita, melainkan seorang pria impoten yang merupakan produser sekaligus CEO dari Wijaya Corp, Givendra Kama Wijaya. Tidak hanya itu yang membuat Ayas tercengang, tapi tugas utamanya sebagai pengasuh sangat sulit diterima akal.

"Tugasmu sederhana, cukup bangunkan aku dan bangunkan dia," ucap Kama seraya menunjuk bagian bawahnya yang membuat mata Ayas membulat sempurna.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

"Kok sepi ya? Tapi kata mbak Hani bener ini alamatnya."

Sekali lagi dia memastikan, dalam keadaan bingung gadis cantik yang biasa dipanggil Ayas itu celingukan seraya memastikan kembali kertas kecil yang berisikan catatan alamat majikannya. Tidak lupa, dia memastikan penampilan, walau hanya sebagai pengasuh, Ayas tetap ingin terlihat rapi dan menciptakan kesan baik di pertemuan pertama bersama majikannya.

Bagi sebagian orang mungkin pekerjaan itu dianggap sebelah mata, tapi bagi seorang Diani Ayu Larasati, hal itu sudah merupakan keberuntungan. Bagaimana tidak? Gadis belia yang beberapa bulan lalu lulus SMA itu masuk kategori kalangan menengah ke bawah, bahkan termasuk susah hingga mimpinya tidak muluk-muluk.

Mengingat saat ini lapangan pekerjaan amatlah sulit, dia sudah mencoba mencari, tapi memang tidak ada perusahaan ataupun toko-toko yang bersedia menerimanya. Ditambah lagi, tahun depan dia akan menikah dan sebagai calon istri yang tidak ingin memberatkan, Ayas nekat mencari pekerjaan demi menambah modal nikah. Oleh sebab itulah, begitu mendapat tawaran kerja dari tetangganya, Ayas tanpa pikir panjang menerima tawaran tersebut.

Sebuah tawaran yang cukup menjanjikan dengan gaji perbulan di atas UMR ibu kota dan dia sempat tercengang mendengarnya. Awal pertama Hani menawarkan pekerjaan ini, dia sempat berpikir jika pekerjaannya tidaklah halal atau akan diajak turun ke dunia malam.

Namun, Hani sebisa mungkin menjelaskan dan anehnya sang ibu juga turut mendukung keputusannya sampai akhirnya Ayas yakin betul untuk terbang ke Jakarta. Ya, dan saat ini di sinilah dia berdiri, kediaman keluarga Wijaya yang teras depannya saja bahkan lebih luas dari rumahnya di kampung.

Setelah cukup lama menunggu di depan gerbang utama, Ayas disambut baik dengan seorang pelayan yang mungkin seumuran kakaknya. Wanita itu terlihat amat baik, bahkan dengan senang hati mengantarkan Ayas ke kamar yang akan mereka tempati.

"Nyonya sama tuan besar di Semarang, cucunya ulang tahun kemarin ... nah kalau tuan muda masih di kantor, biasanya makan siang pulang, Yas."

Ayas mengangguk mengerti, dari jawaban Ida Ayas menyimpulkan jika yang akan dia asuh masih berada di Semarang. Sayang, Ayas tidak dapat segera berkenalan, pikirnya. "Ehm cucunya sudah berapa tahun, Mbak Ida?"

"Dua tahun, lagi lucu-lucunya pasti kamu suka ... anaknya non Kalila kembar, ganteng dan cantik."

Senyum Ayas mengembang, hatinya semakin berbinar begitu mendengar penjelasan Ida. Anak kecil berusia dua tahun sedang lucu-lucunya, ditambah kembar dan kalau mengingat foto pernikahan yang dipajang di ruang tamu, sudah pasti akan sangat mengemaskan.

Semakin tak sabar, Ayas berdegub tak karu-karuan dan dia sebahagia itu membayangkan akan mengasuh dua anak sekaligus. Sebenarnya sudah sangat biasa, selama bertahun-tahun Ayas juga sudah mengasuh keponakannya, tapi untuk yang kembar jelas belum pernah dan ini adalah sebuah tantangan baginya.

Sementara majikannya pulang, Ayas diajak Ida untuk mengelilingi rumah mewah itu. Dia juga turut membantu di dapur demi menyiapkan makan siang untuk seseorang yang Ida sebut tuan muda itu.

"Den Kama beda jauh sama tuan, semoga kamu betah ya di sini ... setelah bi Rosma meninggal, dalam waktu dua tahun sudah dua puluh orang yang dia pecat karena kesalahan kecil," bisik Ida yang cukup membuat Ayas terpaku, agaknya dia terlalu senang di awal hingga begitu mendengar fakta lain di keluarga ini Ayas menjadi panik.

"Semua?"

"Iya, tukang kebun, tukang masak, tukang cuci, sampai pengasuh tuan dan non kecil juga dia pecat karena keponakannya digigit nyamuk," papar Ida panjang lebar hingga Ayas menganga lebar-lebar.

"Luar biasa, apa tuan muda mengalami gangguan emosi atau semacamnya?"

"Ehm, entahlah ... sampai saat ini tidak ada yang tahu apa penyebabnya, tapi mungkin bawaan lah_"

"Ehem!!"

Jika sejak tadi Ayas yang menganga mendengar penuturan Ida, kali ini keduanya dan suasana ruangan mendadak suram begitu seseorang pria bermata tajam dengan wajah tegas itu menghampiri mereka.

"Siapa yang mengizinkan kalian menggunjingkanku?"

Ida mengatupkan bibir dan menundukkan kepala segera, sementara Ayas yang bingung hanya ikut-ikutan demi cari aman. Jujur saja begitu mendengar dia berdehem Ayas sudah berdegub tak karu-karuan, dan kini pria itu justru berdiri tepat di depan matanya.

Habis sudah, mungkin memang takdir Ayas jadi pengangguran abadi karena di hari pertama bekerja sudah merasakan kegilaan semacam ini. Dia memang tidak menatap wajah Kama, tapi dari ujung sepatunya Ayas bisa menarik kesimpulan pria itu marah besar.

"Diani Ayu Larasati." Ayas sedang gugup-gugupnya, dan Kama kini meloloskan namanya yang membuat wanita itu berdebar hebat.

"I-iya, Mas, Bang, Eh Tuan." Lidahnya mendadak tidak bisa diajak kerja sama hingga Ayas ingin sekali mengutuk dirinya sendiri.

"Ikut aku, kita perlu bicara," pungkas Kama berlalu pergi yang kemudian mau tidak mau harus Ayas ikuti dengan wajah cemasnya.

.

.

Ketika menghadapinya berdua, detak jantung Ayas seolah menggila. Kini, dia justru diminta bicara empat mata di ruangan kerja pria arogan yang sejak tadi diam tanpa kata. Sementara dirinya, diminta berdiri di hadapan Kama dan pria itu memandanginya sangat lama seraya bertopang dagu entah apa tujuannya.

"Umurmu berapa?"

"Hah?" Tidak fokus adalah alasannya, Ayas gelagapan hanya karena ditanya umur hingga menciptakan senyum tipis di wajah Kama.

"Umurmu berapa?" Kama mengulangi pertanyaannya, sedikit lebih pelan dan senyuman itu benar-benar membuat Ayas terguncang.

"19 tahun," jawabnya tetap gugup walau Kama sudah berusaha bersikap hangat padanya.

Tanpa menjawab lagi, Kama hanya mengangguk pelan sebelum kemudian bertanya lagi. "Sudah tahu tugasmu apa?" tanya Kama dan kali ini Ayas menjawab sebagaimana yang dia ketahui, yakni mengasuh keponakan Kama.

Mendengar jawaban polos Ayas, Kama terkekeh pelan. Entah kenapa gadis itu lucu saja di matanya. "Pengasuh keponakanku sudah ada dan mereka baik-baik saja, sepertinya kau belum membaca surat perjanjian yang kau tandatangani waktu itu, Ayas?"

Ayas makin bingung, surat perjanjian apa? Dan juga, tiba-tiba Kama memanggilnya dengan panggilan dekatnya. Kendati demikian, yang lebih penting saat ini adalah surat perjanjian yang Kama maksud. Benar memang ada tandatangannya di sana, tapi kala Hani meminta persetujuan Ayas, isinya tidak semenakutkan ini.

"Hah? Jadi Pengasuhmu?"

"Hm, apa tulisannya kurang jelas di situ?"

Jelas, sangat jelas bahkan berhasil membuat Ayas tersedak, sungguh. Dia sedikit tidak terima dan merasa dijebak dengan surat perjanjian konyol semacam ini. "Apa orang dewasa perlu pengasuh juga?"

"Tentu, kau pikir anak kecil saja?"

Ayas menghela napas panjang, mungkin ini adalah sisi lain kehidupan orang kaya yang tidak dia ketahui. "Baiklah, lalu tugasnya apa kalau mengasuh orang dewasa?"

Kama tersenyum tipis, nyaris tak terlihat dan tatapan matanya sungguh tak terbaca. "Tugasmu sederhana, cukup bangunkan aku dan bangunkan dia," ucap Kama seraya menunjuk bagian bawahnya yang membuat mata Ayas membulat sempurna.

"Ap-apa? Bisa diulangi?"

.

.

- To Be Continued -

BAB 02 - Dijual

"Ap-apa? Bisa diulangi?"

Agaknya telinga Ayas tidak normal siang ini, padahal sebelum datang dia sudah mempersiapkan diri bahkan corat-coret di kertas kosong andai nanti diwawancara secara langsung. Nyatanya, hal semacam itu tidak berguna karena pada faktanya dia yang justru butuh penjelasan tentang pekerjaan yang akan dia geluti selama waktu yang tidak dia ketahui kapan berakhirnya.

"Aku yakin kamu belum tuli, jadi aku rasa tidak perlu diulangi."

Sama sekali tidak berniat memberikan penjelasan lebih lanjut, Kama meminta kembali surat perjanjian konyol tersebut. Ayas yang masih butuh penjelasan jelas saja perlahan mundur dan menolak permintaan Kama mentah-mentah. "Anda sedang berusaha melecehkan saya?"

Ayas memang masih muda, tapi bukan berarti dia sepolos itu dan tidak paham apa yang tengah Kama bicarakan. Sedikit banyak dia mengerti, berita kriminal dan dan banyaknya pengalaman tak mengenakan teman-temannya yang juga terjebak dunia malam atau semacamnya sudah cukup untuk menjadi kacamata Ayas.

Juga, dia sama sekali tidak pernah melakukan hal semacam itu. Sekalipun sudah memiliki calon suami, tapi Marzuki sama sekali tidak pernah mengajaknya macam-macam walau mereka sudah berpacaran sejak dua tahun lalu.

Kini, begitu dihadapkan dengan Kama yang begitu misterius dan tak terbaca, jelas saja Ayas takut. Terlebih lagi, cara pria itu memandangnya, bukan hanya di mata, tapi seolah setiap inci tubuhnya menjadi sasaran Kama. "Melecehkan?"

Setelah membuat Ayas ketar-ketir, dengan santainya Kama bicara disertai seringai tipis, licik sekali. Ayas yang punya pendirian dan merasa tugasnya terlalu sulit diterima akal masih berusaha melindungi dirinya. "Anda jangan macam-macam ... Om Saya polisi tahu?"

Kama menunduk dan tersenyum tipis begitu Ayas berani menunjuk wajahnya. Dia tahu gadis di depannya ketakutan, bahkan kakinya terlihat bergetar, tapi tidak bisa dipungkiri gadis ini terlalu menggemaskan di mata Kama.

"Fine, jika memang tidak mau," ucap Kama yang seketika membuat Ayas menghela napas lega.

Dia memejamkan mata, dan mengusap dada berkali-kali. "Tapi, kembalikan 2M yang sudah kuberikan pada ibumu detik ini juga," tambah Kama lagi, sontak mata Ayas membulat sempurna dan jantungnya seolah berhenti berdetak.

"Du-dua M?"

Sejenak Ayas butuh waktu untuk berpikir, dia bingung, takut sekaligus panik bercampur jadi satu. Dia yakin telinganya sama sekali tidak salah dengar, pria yang berdiri di depannya telah memberikan uang dengan nilai fantastis pada ibunya.

Seketika, Ayas merasa dirinya tengah dijual tanpa sepengetahuannya. Ayas memandangi tandatangan di surat perjanjian, jantungnya seolah remuk dan merasa tidak punya harga diri hingga kekecewaan pada sang ibu membuat Ayas nekat merobek surat perjanjian itu di hadapan Kama.

Dia tidak mau, dia tidak ingin dan sama sekali dia tidak tahu tentang ini. Sedikit pun tidak dia duga, jika ibunya akan tega melakukan hal semacam ini hanya demi uang. Isak tangis tak bisa dia sembunyikan kali ini, jika faktanya sudah seperti itu sama halnya dengan dia dijual pada seorang pria mengharapkan sesuatu darinya.

"Robek saja, itu hanya salinan ... yang asli aku simpan."

Ayas yang tadi sudah menangis, semakin frustrasi mendengar ucapan Kama hingga dia duduk dan memeluk lututnya. Di posisi ini dia tidak bisa lagi memilih, melainkan harus mau hingga kepalanya terasa begitu sakit.

Dia merobek surat perjanjian itu bukan karena mampu membayar 2M yang telah Kama keluarkan, tapi bentuk kekesalannya pada sang ibu. Cukup lama Kama biarkan, sejak tadi dia hanya memandangi gadis belia yang tak berdaya dan tengah dalam kebingungan hendak berbuat apa.

Tak hanya sampai di sana, tampaknya Ayas mencoba menghubungi seseorang beberapa kali dan berakhir dengan decakan kesal, mungkin karena kecewa tidak mendapat jawaban.

Melihat hal itu seharusnya Kama kasihan, tapi anehnya justru dia suka. Perlahan, Kama turut berlutut demi berusaha melihat wajahnya. Bisa dipastikan akan sangat merah dan air mata mungkin bercucuran di wajahnya. "Sanggup?"

Suasana hati Ayas sedang kacau-kacaunya, dan Kama masih saja bertanya kesanggupan untuk membayar 2M yang dimaksud. Sudah jelas dia takkan sanggup, melihatnya saja tidak pernah dan Ayas dengan polosnya mendongak menatap Kama.

"Kalau dicicil boleh tidak?" tanyanya pelan, entah dari mana keberaniannya sampai nekad menantang Kama.

Kama yang baru pertama kali dihadapkan dengan hal semacam ini jelas saja tak kuasa menahan diri. Susah payah dia manahan senyumnya demi memperlihatkan jika dia serius tentang 2M yang dimaksud, Kama melontarkan jawaban yang membuat harapan Ayas kian pupus.

"Coba katakan? Berapa lama? Setahun? Sepuluh tahun? Atau seumur hidup?"

Pertanyaan Kama seolah menyadarkan Ayas jika dia memang tidak akan mampu mencari gantinya. Tak lagi ingin coba-coba, Ayas tertunduk begitu dalam dan Kama memintanya untuk berdiri.

"Ja-jangan sekarang ... aku tidak tahu caranya!!" pekik Ayas memalingkan muka dan berpikir jika Kama akan melakukan sesuatu dalam waktu dekat.

Jelas saja paniknya Ayas membuat Kama tergelak, pria itu terkekeh dan menggeleng pelan dan hal yang tadinya tak terpikirkan mendadak muncul begitu saja. "Santai, kamu bisa cari tahu dulu di berbagai sumber dulu."

"Kenapa saya yang cari tahu? Bukankah seharusnya Anda?"

Kama tersenyum kecut, sedikit miris mendengarnya. "Jika aku tahu caranya, aku tidak akan meminta bantuanmu," ucapnya seraya menepuk pundak Ayas, menatap lekat wajah polos wanita yang dia yakini sangat suci sebagaimana permintaan Mbah Joko.

.

.

Usai berbicara empat mata bersama majikan yang ternyata akan dia asuh itu, Ayas berdiam diri di tepi kolam seraya menatap bayangannya. Satu jam dia habiskan hanya untuk berpikir, apa alasan ibunya sampai bertindak sejauh ini.

Mirisnya, begitu Ayas hubungi nomor ponsel ibu dan kakaknya tidak aktif lagi, apalagi nomor Hani, wanita yang menawarkan pekerjaan itu padanya. Terpaksa, Ayas tak punya pilihan dan menetap di sini sementara dia bisa benar-benar pergi.

Ditengah lamunan panjangnya, Ayas dibuat terkejut setengah mati kala tubuhnya seolah melayang dan ketika membuka mata tubuhnya sudah berada di dalam kolam. Ayas sempat berteriak kencang dan semakin dibuat terkejut begitu sadar jika dirinya berada dalam gendongan Kama, majikannya.

"Kenapa? Kaget?" tanya Kama santai seraya mengulas senyum tipis tanpa melepaskan tangan di pinggang Ayas.

Ayas sedikit berontak dan meminta Kama untuk melepaskannya. Sesuai permintaan Kama benar-benar melepaskannya hingga Ayas yang pada dasarnya tidak bisa berenang dan kakinya tidak mampu mencapai dasar kolam tenggelam.

Beruntung saja Kama bergerak cepat dan kembali mendudukannya ke pinggir kolam. Ayas terbatuk, dan Kama yang tidak tahu jika tindakannya akan membahayakan berkali-kali minta maaf seraya memijat tengkuk lehernya.

"Sorry, kupikir bisa berenang."

Untuk yang kali ini, Ayas marah dan menepis tangan Kama. Dia menatap tajam pria itu seketika, tapi di luar dugaan Ayas justru menangkap sesuatu yang tak biasa ketika Kama berdiri.

"Tu-tunggu, katanya impoten, tapi kok?" tanya Ayas terang-terangan seraya menunjuk sesuatu yang tampak menyembul dari balik celana majikannya.

.

.

- To Be Continued -

Hai, buat yang masih punya vote ... votenya boleh dilempar ke Kama - Ayas ya, thingkyu.

BAB 03 - Obat Yang Sesungguhnya

"Tu-tunggu, katanya impoten, tapi kok?"

Pertanyaan Ayas tak mampu Kama jawab, pria itu mengatupkan bibir dan melirik ke bagian yang Ayas tunjuk. Jujur saja malu, bahkan dia sampai berlari meninggalkan Ayas tanpa kata. Dalam keadaan basah kuyup melewati Ida yang baru saja mengepel ruang makan akibat kopi Kama yang tumpah beberapa saat lalu.

Beruntung saja statusnya anak majikan, jika bukan sudah pasti pengepel itu mendarat tepat di kepala Kama. Tujuan utamanya begitu masuk kamar ialah ponsel, dengan tangan gemetar dan gelagapan Kama mencari nomor seseorang di sana.

"Berdiri, Mbah!! Dan saya sudah pastikan sendiri ... dia bereaksi, padahal belum diapa-apakan."

Kama hampir tak percaya, dia berdebar dan deru napasnya sampai tak beraturan. Tubuhnya yang masih basah kuyup seakan tidak dia pedulikan, pria itu santai saja duduk di tepian tempat tidur sembari menjelaskan apa yang terjadi pada Mbah Joko, seorang supranatural yang sempat dia datangi dua bulan lalu.

Lelah melakukan segala cara, bahkan pengobatan terakhir sampai di Tokyo dan tidak berhasil juga, Kama pada akhirnya melakukan hal yang paling mustahil dan tidak dia percayai. Ya, mendatangi dukun di sebuah desa terpencil atas saran adik iparnya, Yudha.

Tanpa terduga, tenyata dibalik Kama yang terlihat sempurna dia memiliki cacat yang mungkin bisa dibilang aib bagi kaum pria. Sejak remaja sebenarnya, Kama tidak seperti teman-temannya dan hal itu semakin parah ketika dewasa.

Sedikit memalukan, tapi memang dia adalah seseorang yang mengalami disfungsi ereksi, impoten. Kama tak mengerti apa penyebabnya, dia juga baru mengakui hal itu satu tahun lalu di depan papanya.

Selama bertahun-tahun, dia menyimpan rahasia itu rapat-rapat dan mecoba berusaha sendiri karena ketidaksempurnaan itu cukup menyiksa dirinya sendiri. Kama merasa hidupnya tak adil, tapi demi menutupi itu semua dia bersikap arogan hingga siapapun tidak dapat menampik pesonanya.

Tidak hanya itu, Kama juga sama sekali tidak pernah menerima seorang wanita dalam hidupnya. Bukan tidak laku, tapi yang menawarkan diri terlebih ketika dia dewasa itu banyak sekali. Tapi apa hendak dikata, Kama tidak tertarik dan miliknya sama sekali tidak bereaksi tak peduli bagaimanapun cara wanita itu menggodanya.

Hingga, tepat dua bulan lalu di titik putus asanya, Kama meminta pendapat pada adik ipar yang sejak dahulu kerap dia juluki banci dan kemayu itu. Jika ditanya malu atau tidak, jelas saja malu bahkan rasanya Kama tak lagi punya muka.

Namun, hal itu tidak sia-sia dan pengakuannya pada Yudha ternyata membuahkan hasil yang luar biasa. Lihat, hari ini dan detik ini, Kama menuai hasil dari sekian banyak perjuangan yang di coba.

Sesuai penjelasan Mbah Joko, penyakit Kama sudah terlalu lama dan tidak bisa disembuhkan secara medis, oleh karena itu yang bisa menyembuhkannya hanyalah jodoh Kama sendiri. Dan, Ayas satu-satunya wanita yang berhasil membuat miliknya bereaksi tanpa perlu dielus atau digigit seperti kata adik iparnya.

"Jadi dia jodoh saya, Mbah?" tanya Kama kini beralih ke balkon kamar.

Dari tempat itu dia dapat memandang Ayas yang masih berdiri di pinggir kolam. Sepertinya ada sesuatu yang berusaha dia ambil di dasar kolam dan dibantu Ida di sana.

"Bisa jadi, buktinya berdiri 'kan?"

"Iya sih, tapi saya yang susah ini nidurinnya gimana, Mbah?" Setelah bahagia bisa berdiri, kini Kama justru bingung sendiri bagaimana cara menidurkannya.

Dia mungkin pernah coba-coba melakukan tindakan seperti pria lain di luar sana, tapi untuk benar-benar sampai keluar agaknya belum sama sekali. Dan, itu dari Mbah Joko semakin membuat Kama bingung, mana mungkin dia berani jika harus kembali pada Ayas lagi.

"Mbah? Masa harus begitu?"

"Bukankah dia tahu tujuanmu membawanya ke rumah untuk apa? Jika begitu saja kau malu bagaimana hendak melanjutkan pengobatannya?"

Benar juga, Kama meneguk salivanya pahit sebelum kemudian mengakhiri panggilannya bersama Mbah Joko. Tanpa pikir panjang, pria itu turun dan kembali mencari keberadaan Ayas, masih dengan penampilannya dengan pakaian lembab itu.

Sial, ketika tiba di bawah Ayas sedang di dalam kamar hingga Kama harus menunggu beberapa waktu di luar. Semakin lama dia tunggu, ternyata kesabaran Kama tidak seluas itu hingga dia mengetuk pintu kamar Ayas beberapa kali.

"Yas, buka ... kita perlu bicara," ucapnya baik-baik, padahal sudah jelas bukan untuk bicara biasa.

Ayas tidak segera keluar, mungkin memang ganti baju hingga dia yang tidak kuasa untuk sedikit lebih sabar, mendorong pintu kamar Ayas hingga gadis itu memekik ketakutan.

Bak ditimpa durian runtuh, mata Kama dibuat membola kala melihat penampilan Ayas yang baru mengenakan underwear saja. Hampir polos, dan teriakan Ayas tak mengurungkan niatnya dan kini justru mengunci pintu kamar itu.

"Ma-mau ngapain? Katanya disuruh belajar dulu, aku belum belaj_"

"Tidak perlu belajar, kamu cukup diam saja," ucap Kama yang kemudian menarik tangan Ayas menuju kamar mandi.

Tak pernah dia melakukan hal segila ini, terlebih lagi bersama pembantu di rumahnya. Kama sengaja meghidupkan shower demi menyamarkan suaranya, sementara Ayas yang berdiri dengan posisi terkunci di sudut kamar mandi hanya diam saja lantaran tak kuasa berbuat apa-apa.

"Sini tanganmu," titah Kama menuntun tangan Ayas untuk mengalung di lehernya, senyuman tipis itu tetap menakutkan walau sebenarnya sangat manis.

"Tatap mataku, dan jangan berteriak selama aku belum selesai ... aku tidak akan menyakitimu, Ayas paham?" Bak bicara pada keponakannya, begitu lembut suara Kama hingga Ayas mengangguk pelan.

.

.

Ayas tak pernah berada di posisi ini, jika ditanya bagaimana perasaaannya jelas saja takut. Seiring dengan napas Kama yang menggebu, disertai dengan lenguhan berat itu jujur Ayas merinding.

Namun, sesuai perintah dia hanya boleh diam dan membalas tatapan sendu Kama yang sama sekali tidak bisa dia jelaskan dengan kata. Cukup lama Kama melakukannya, hingga cairan kental yang tak pernah dia lihat sebelum ini berhasil berceceran di atas lantai.

Kama yang berbuat, tapi Ayas yang ikut lelah hingga ketika pria itu menyembunyikan wajah di ceruk lehernya, Ayas semakin lemas rasanya. Ayas bingung hendak bagaimana, apa harus dipeluk atau diam saja hingga wanita itu memilih mengalihkan tangannya.

"Thanks."

Lamunan Ayas buyar kala Kama mengulas senyum dan menepuk pundaknya. Pria itu berlalu lebih dulu dari kamar mandi dan bermaksud pergi dari sana. Namun, baru saja hendak keluar teriakan Ida dari luar mulai terdengar hingga Kama panik sendiri.

"Laras!! Bukain dong."

"Shiitt!! Mana muat aku di jendela itu."

Merasa tidak punya jalan lain, dia kembali masuk ke kamar mandi hingga tak sengaja menabrak Ayas. "Kenapa masih di sini?"

"Anu ... itu!! Mbak Ida ngetuk pintu!! Mati, aku harus bagaimana?"

Jika Kama saja panik lantas bagaimana dengan Ayas? Sama saja, dia juga panik hingga keduanya sudah persis pasangan kumpul kebo yang berusaha melindungi pasangannya. "Ja-jangan dikunci, aku takut gelap!!" tolak Kama kala Ayas hendak mengunci lemari tempatnya bersembunyi.

"Ck, nanti ketahuan sana masuk!!" desak Ayas sampai mendorong wajah Kama lantaran khawatir sampai ketahuan Ida di hari pertamanya. "Kasar juga dia."

"Ayas!! Buruan buka, Nyonya mau ketemu sama kamu!!"

"What? Ma-mama? Mama pulang?"

.

.

- To Be Continued -

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!