Bangsal Kamboja
Lima menit lagi jam kerja shift malam ku dimulai. Aku memastikan seragam yang aku kenakan sudah rapi dan berharap malam ini tidak ada kejadian berarti. Sebagai perawat rawat inap jadwal shift malam, biasanya bisa lebih santai atau bahkan sibuk seperti shift pagi dan sore. Namun, bukan itu yang menjadi masalah. Masalahnya adalah makhluk tak kasat mata lebih banyak terlihat ketika malam.
“Amel, ayo,” ajak Marni
“Sebentar,” jawabku sambil mengunci loker lalu bergegas menuju nurse station.
Di sana kami mendapatkan arahan dari ketua shift, termasuk membacakan kembali pasien yang harus kami rawat. Berada di bangsal lantai lima khusus pasien dewasa dengan layanan kamar kelas dua. Di mana setiap kamar berisi tiga ranjang pasien.
“Sebelum mulai tugas mari kita berdoa, semoga saja pasien-pasien ini kondisinya semakin sehat dan besok diperbolehkan pulang.”
“Aamiin,” jawabku serempak dengan yang lain.
“Semoga tidak ada pasien yang meninggal,” tambah Marni yang kembali diaminkan juga oleh kami.
“Juga tidak banyak penampakan dan makhluk yang mengganggu,” ucapku dalam hati.
Memiliki kelebihan bisa melihat makhluk tak kasat mata, cukup mengganggu aktivitasku. Bahkan tidak jarang aku takut dengan penampakan yang begitu menyeramkan dan di rumah sakit penampakan “mereka” termasuk menyeramkan.
Kadang ada sosok yang tidak memiliki kaki, tangan bahkan bagian tubuh yang terurai. Tidak jarang kondisi yang berdarah-darah, sepertinya korban kecelakaan.
“Amel, kamu cek suhu dan tensi kamar sisi kiri dan Marni kamar sisi kanan. Dela, kamar paviliun,” titah ketua shift membagi tugas.
Setelah briefing selesai, aku menyiapkan tensimeter dan termometer serta notes untuk menuliskan hasil pengukuran sebelum dicatat ke rekam medis tiap pasien. Saat ini aku berdiri di depan papan yang tertulis semua nama pasien di bangsal ini.
“Marni, Pak Hasan sudah pulang ya?” tanyaku pada Marni karena tidak menemukan nama pasien Hasan. Aku ingat betul semalam Pak Hasan sempat sesak nafas dan harus dibantu dengan oksigen.
“Kamu nggak tahu ya?” tanya Marni agak berbisik.
Aku menoleh dan mengernyitkan dahi. “Tahu apa?”
“Tadi pagi Pak Hasan meninggal, katanya sih beres kita shift gitu.”
“Inna innalillahi wainnailaihi rojiun,” ucapku. Marni menunjuk salah satu nama yang tertera di papan.
“Ibu Citra. Pasien baru kayaknya,” ujarku sambil membaca jam berapa dia masuk dan indikasi penyakitnya.
“Ih belum nyambung juga, Ibu Citra ini istrinya Pak Hasan. Dia masuk sore tadi,” bisik Marni membuatku terkejut.
“Masa?”
Marni menganggukkan kepalanya. Kami pun berpisah untuk melakukan tugas. Aku memasuki kamar yang menjadi wilayahku mengukur suhu dan tekanan darah semua pasien.
“Malam, cek rutin dulu ya,” ujarku saat memasuki kamar Melati.
Ada dua ranjang yang terisi dan ranjang tengah kosong hanya dibatasi sekat gorden. Ternyata ranjang yang dekat jendela adalah pasien atas nama Ibu Citra. Ibu itu sepertinya tertidur, dengan pelan aku meraba tangannya hendak mengukur tensi darah.
Aku menoleh ke sisi kanan Ibu Citra dan memastikan penglihatanku.
Brak
Termometer Gun yang aku bawa terjatuh saat aku menyadari kalau pria yang duduk di kursi itu adalah Pak Hasan. Bagaimana tidak terkejut, Marni bilang Pak Hasan sudah meninggal. Lalu siapa dia? Sosok dengan wajah menunduk itu terlihat lelah.
Jantungku berdetak lebih cepat, bulu kuduk berdiri tegak dan tengkukku sudah mulai berat. Pertanda kehadiran makhluk tak kasat mata di dekatku.
Bergegas aku mengukur tensi darah dan suhu tubuh Ibu Citra. Dari sudut mata aku bisa melihat kalau sosok Pak Hasan berdiri dan menoleh ke arahku.
“Suster Amel.”
Bibirku komat kamit melantunkan doa, tanganku bahkan tremor. Meskipun sudah sejak kecil aku bisa melihat “mereka”, tapi rasa takut tetap saja ada ketika makhluk itu mengajak berinteraksi. Bulu kudukku semakin merinding mendengar sosok itu kembali menyebut namaku.
Aku tidak tahu pasti siapa sebenarnya sosok itu, bisa jadi hanya jin yang menyerupai Pak Hasan. Karena arwah manusia yang sudah meninggal, seharusnya sudah berada di alam lain.
Dengan tangan gemetar dan sosok yang memandang ke arahku, apa yang aku kerjakan terasa begitu sulit. Segera aku lepaskan tensimeter dari tangan Ibu Citra lalu bergegas keluar dari kamar.
Bugh.
“Maaf,” ujarku karena menabrak seseorang yang hendak masuk ke dalam kamar itu.
“Iya, nggak apa-apa. Eh, suster Amel ya.”
Aku memastikan yang berada di depanku adalah manusia, bahkan aku tatap kedua kakinya ternyata menapak di tanah.
“Saya Andri Sus, anaknya Ibu Citra dan Pak Hasan.”
“Oh,” ucapku sambil menganggukkan kepalanya. Andai pria ini tahu kalau aku baru saja melihat Bapaknya bahkan memanggil-manggil namaku.
“Bapak udah nggak ada, eh Ibu malah masuk sini,” ujarnya dan aku melihat gurat lelah dan kesedihan di wajah pria itu, perlahan aku menoleh ke arah ranjang di mana Ibu Citra berada. Sudah tidak ada Pak Hasan.
“Saya baru tensi Ibu Citra, tekanannya normal. Semoga stabil terus ya dan dokter bisa putuskan pulang, jadi bisa istirahat di rumah,” ujarku.
Selesai mengukur suhu dan tensi semua pasien aku kembali ke nurse station dan menuliskan hasil pengecekan rutin pada rekam medis pasien yang aku cek. Tidak lama Marni pun kembali dan ikut duduk di sampingku melakukan hal yang sama denganku. Perawat lain sedang keliling memberikan terapi obat atau suntikan dan mengecek cairan infus.
Menjelang tengah malam, hanya aku yang berada di nurse station karena perawat lain sedang beredar di kamar, baru saja ada pasien masuk perawatan dan tadi sempat ada pasien yang kritis. Aku sedang fokus mendata hasil pemeriksaan ke dalam file komputer.
“Suster Amel,” panggil seseorang yang berdiri di depan meja.
“Iya,” jawabku sambil menyimpan hasil pekerjaanku lalu memutar kursi. “Astagfirullah.” Aku memekik lalu berdiri dan melangkah mundur menjauh dari meja.
Sosok Pak Hasan yang berdiri di sana, pria itu menatapku dan mengulurkan tangannya. Membuat tubuhku kembali merinding dan suasana mendadak terasa mencekam. Mulutku rasanya ingin mengumpat dan berteriak memanggil rekan-rekanku.
“Suster Amel, tolong sampaikan pada istriku. Aku pergi dan jaga diri baik-baik, jangan terlalu lama larut dalam kesedihan. Belum waktunya dia pergi bersamaku,” tutur sosok itu.
Aku hanya bisa mengusap dada sambil terus merapal doa. Melihat sosok itu tidak berteriak atau lari terbirit-birit saat aku melantunkan doa, mungkin aku membaca doa yang salah. Akhirnya sosok itu menghilang, bulu kudukku kembali normal.
“Hahh, kirain bakal nyantai ternyata ramai,” keluh Marni yang baru datang. Dia melepas sarung tangan lalu mencuci tangan dan heran dengan posisiku yang masih berdiri sambil terengah dan mengusap dada.
“Kamu kenapa?” tanya Marni. Aku menggelengkan kepala. “Lihat apa barusan?” tanya Marni antusias.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Rinisa
Episode 1
2024-09-27
0
Meillisa Revallia
gak tau
2024-03-31
0
Ali B.U
hadir
2024-03-21
1