Bab 6 ~ Ningrum (3)

“Aku belum mau mati," ujar sosok itu.

Aku bergidik ngeri melihat sosok yang raganya sudah dibawa ke ruang jenazah. Entah bagaimana rupa wajahku, sudah pasti pucat pasi karena ketakutan. Siapa yang tidak takut melihat penampakan orang yang sudah dinyatakan meninggal dan sekarang aku berada di toilet. Tempat yang konon menjadi tempat menarik bagi para hantu.

“Tolong aku.”

Sosok itu perlahan mendekat. Aku bisa pastikan sosok itu tidak menapak di tanah, tubuhnya mengambang. Mulutku sudah terbuka untuk mengucap doa, tapi rasanya kaku. Keringat dingin dan kulit tubuhku merinding hebat.

Dia semakin mendekat, wajahnya terlihat pias dan sendu. Aku bisa apa, walaupun dia menolak mati. Aku tidak punya kuasa, bahkan untuk menggerakan tubuhku saat ini pun rasanya sulit.

“Aaaaa.”

Hanya itu suara yang bisa keluar dari mulutku.

“Mel.”

Suara Andra, itu suara Andra.

“Mel lo di dalam ‘kan?”

Aku memejamkan mata karena sosok itu semakin dekat, mulutku sulit mengatup tapi dalam hati rangkaian doa tidak putus. Suasana toilet terasa begitu dingin dan terasa hembusan angin menerpa wajah lalu tubuhku terasa lemas dan lunglai bahkan merosot ke lantai.

Nafasku terengah dengan wajah menunduk sambil duduk di lantai, enggan untuk menengadah khawatir masih ada sosok itu.

Brak.

“Mel.” Terdengar langkah kaki dan tangan menyentuh bahuku. “Lo nggak apa-apa?”

Karena yakin itu Andra, akupun melayangkan pandangan menatapnya dan menggelengkan kepala.

“Ayo,” ajak Andra membantuku berdiri. “Sudah nggak ada,” ujar pria itu saat aku menatap sekeliling.

“Kamu tahu aku diganggu, kenapa nggak masuk dari tadi?”

“Bukan tahu, Cuma perasaan saja.”

Aku dan Andra kembali ke bangsal kamboja, Andra mengambilkan segelas air dan langsung aku habiskan. Berinteraksi dengan makhluk halus meskipun hanya bisa ketakutan tetap saja membuatku lelah.

“Ndra, gantiin gue. ICU satu kritis,” seru Dian.

“Oke,” ujar Andra langsung menuju ICU.

“Kamu kenapa?” tanya Suster Dian padaku.

“Nggak apa-apa Mbak.” Segera aku menuju sekat di mana Ningrum berada. Mungkinkah ranjang kosong di mana sosok tadi meninggal karena menempati ranjang itu, karena kemarin yang ditempati di sana juga akhirnya meninggal.

“Amel, jaga disini nggak boleh melamun. Harus ekstra hati-hati, karena pasien di sini benar-benar butuh perhatian dan ketelitian kita.”

“Iya Mbak, akan saya ingat betul,” jawabku dan ingin sekali menambahkan ekstra hati-hati karena arwah penasaran.

“Ada pasien baru, ranjang sembilan ya,” ujar Dian. Aku paham instruksi tersebut, bergegas menarik gorden untuk memudahkan pemindahan pasien yang akan masuk.

Tunggu dulu, ranjang sembilan ‘kan ranjang yang sore tadi digunakan oleh pasien yang meninggal dan arwahnya aku lihat di toilet.

“Mbak Dian, ranjang delapan aja ya,” ujarku. Meskipun tidak percaya dengan mitos brankar kematian, tapi tidak ada salahnya kau berjaga-jaga agar tidak menjadi sugesti.

Pintu bangsal dibuka dan masuklah beberapa petugas mendorong ranjang dengan pasien yang terhubung dengan beberapa alat. Kami serempak memindahkan tubuh pasien ke ranjang delapan tepat di samping Ningrum. Dengan cekatan aku pasang dan pastikan kembali alat-alat medis yang dibutuhkan oleh tubuh pasien itu.

“Nih statusnya.” Aku menerima berkas dan membaca sekilas kondisi pasien. Suster Dian yang tadi ke toilet bergegas menghampiri pasien itu juga seorang dokter jaga.

“Operasinya berhasil, tapi belum sadar juga sejak dua hari lalu,” ujarku sambil membaca status pasien.

“Tapi belum dinyatakan koma, hanya belum sadar,” seru Suster Dian.

“Kamu pantau terus ya,” titah dokter, aku pun mengangguk dan kembali menarik gorden. Dua pasien ini dalam pantauanku, Ningrum pasien koma dan Lidia pasien yang belum sadar pasca operasi.

Hampir pukul sepuluh malam, tim yang bertugas shift malam sedang briefing di nurse station. Aku mengecek kondisi Lidia dengan posisi membelakangi Ningrum.

Tap tap tap

Aku yang sedang dalam posisi agak menunduk memeriksa jarum infus di tangan Lidia pun menegakan tubuh dan menoleh ke belakang. Menatap Ningrum yang masih terpejam sedangkan tadi aku mendengar dengan jelas langkah kaki.

Kembali menunduk dan memastikan cairan infus tidak merembes keluar.

Tap tap

Srek.

“Siapa?” ujarku sambil berbalik dan aku melihat sekelebat seseorang berjalan keluar melewati gorden yang terbuka sebagian. Aku pun melangkah menyusul orang itu dan tidak ada siapapun. Hanya aktivitas para perawat yang hampir selesai jam tugasnya.

“Cari siapa?” tanya Andra yang sudah berdiri di sampingku.

“Tadi siapa yang keluar dari sekat ini?”

“Nggak ada, gue nggak lihat siapapun. Siap-siaplah, emang nggak mau pulang. Nanti lihat yang … aduh. Busyet, galak amat nih cewek,” ujar Andra sambil mengusap tulang keringnya kena tendanganku. Aku tidak ingin Andra kembali mengingat kejadian tadi yang akan membuatku kembali merasakan ketakutan dan merinding.

“Amel, sudah beres?” tanya Suster Dian.

“Sudah mbak.” Aku sempat menatap Ningrum dan Lidia bergantian, keduanya masih terpejam dengan damai.

Keluar dari bangsal kamboja dengan bergegas, karena yang lain sudah lebih dulu termasuk Andra. Keberuntungan tidak berpihak padaku, karena lift penuh dan aku harus bersabar menunggu dua lift yang sedang turun.

Pandanganku tertuju pada pintu lift, enggan menoleh ke kanan arah janitor dan toilet. Sempat melirik ke kiri dan melihat ruang tunggu keluarga, di mana beberapa orang sedang beristirahat karena sudah lewat jam sepuluh malam.

Entah mengapa suasana terasa mencekam dan dingin, padahal aku sudah mengenakan jaket. Aku mengusap tengkuk karena terasa hembusan angin.

“Lama amat sih,” ujarku melihat angka satu menyala. Artinya lift masih berada di lantai satu dan belum naik ke atas. Perasaanku tidak enak, seperti ada seseorang berdiri di belakangku. Kedua lift masih berada di bawah dan baru beranjak naik.

“Cepatttt.” Aku bergumam sambil menghentakan kaki mengusir rasa takut karena tengkuk yang terasa berat. Aku menekan tombol lift berkali-kali.

Srek.

Ternyata itu bukan hanya perasaanku saja, entah manusia atau bukan yang berdiri di belakang tubuhku dan kini berpindah ke samping. Masih menatap ke depan aku enggan menoleh, walaupun dari sudut mata terlihat sosok yang berdiri di sampingku.

“Mbak.”

Deg.

Suara itu terdengar begitu lirih, aku enggan menjawab apalagi menoleh. Dengan wajah menunduk dan melirik sekilas ke arah kaki sosok di sampingku dan ternyata … Dia tidak menapak ke tanah.

Ting.

Pintu lift terbuka aku bergegas masuk dan menekan tombol menutup pintu tanpa melihat makhluk itu.

“Mbak.”

“Pergi, jangan ganggu aku.” Aku berteriak sambil menunduk dan pintu lift perlahan tertutup. Masih terasa merinding di sekujur tubuh dan pintu hampir menutup, aku memberanikan mengalihkan pandangan dan …

“Ningrum,” ujarku tepat saat pintu tertutup rapat.

Terpopuler

Comments

A B U

A B U

next.

2024-03-21

1

Kustri

Kustri

lha koq kamboja, kan kembang khas yg ada di pemakaman!?!
mbok yg lain, dlongop ngunu😅😅😅

2024-03-11

0

Ocha Lanuru

Ocha Lanuru

wihhhh serem bener,,,scra q jg prnh krja dirs didaerah ku ...wlwpn cmn sbgai clening service,,,tpi udh prnh ngerasain yg nmanya bersihkan ruang oka sndrian,mna shift sore lgi,& mlm nya hrs balik lgi ke ngecek dlm,apa ada cito atau gk ...

2024-02-23

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!