Bang Doni benar siuman, walaupun masih dalam pantauan paling tidak kami lebih tenang. Namun, ucapan Ningrum masih menjadi beban pikiranku. Bang Doni adalah tumbal, tapi gagal karena bantuan Ningrum. Setelah ini aku harus mencari tahu dan menggagalkan tumbal berikutnya.
Menjelang subuh aku berkabar kalau hari ini izin kerja. Andra masih mengirimkan pesan bertanya kondisi Bang Doni. Aku minta dia datang setelah shift berakhir, tentu saja untuk membahas urusan ini.
Sudah terlanjur, aku dan Andra terlanjur terlibat jadi kami harus menyelesaikan. Berharap tidak ada diantara kami yang menjadi korban.
“Habisin, lo kelihatan kurus tahu.”
“Ck, baru begadang semalam iya kali langsung kurus.”
Andra terkekeh, dia menyempatkan menemuiku dan membawakan makan siang.
“Ibumu mana?”
“Pulang, ambil ganti dan perlengkapan.”
“Oh iya ya, ini kostum lo yang kemarin,” ujar Andra menunjuk pakaianku. “Pantesan ada bau-bau apa gitu.”
“Apaan sih.”
“Beres shift gue datang lagi, ada informasi baru dan gue yakin lo bakal terkejut dan mungkin bisa kita tarik kesimpulan dari kejadian-kejadian selama ini.”
“Ndra, bisa hubungi Pak Narto. Tanyakan jenazah Ningrum apa sudah diambil keluarganya?”
“Oke, nanti gue hubungi. Gue balik dulu ya.”
Aku mengangguk pelan dan kembali menghampiri ruangan di mana Bang Doni berada. Berharap segera dipindah ke kamar rawat inap.
...***...
Akhirnya Bang Doni dipindah ke kamar rawat, kondisinya sudah mulai membaik meskipun masih belum sadar sepenuhnya. Menempati kamar rawat kelas satu di lantai sepuluh, di mana ada dua ranjang di dalam kamar itu.
Aku sudah membersihkan diri dan berganti pakaian yang ibu bawa. Menunggu Andra datang, tapi sudah hampir maghrib pria itu belum datang juga.
“Ibu istirahat di rumah aja, besok pagi gantian jaga. Nggak mungkin besok aku ijin lagi.”
“Iya Mel, badan ibu juga pada pegal. Kayaknya masuk angin nih.”
“Istirahat Bu, minta ibu-ibu tetangga ada yang nemenin di rumah ya.”
Aku berkali-kali menguap, rasa kantuk luar biasa karena semalaman tidak tidur. Bahkan sekarang sudah berbaring di sofa. Beruntung ranjang pasien di samping Bang Doni kosong, jadi aku tidak harus bijak berbagi area. Sayup-sayup aku mendengar suara Andra. Entah mimpi atau nyata.
“Hafalkan Mel, makanya sering dibaca dan diamalkan biar tidak lupa.”
“Nggak mau, Amel nggak mau hafalin ini. Buat mata Amel nggak bisa lihat mereka, Amel takut.”
“Amel sayang, kadang kelebihan yang Tuhan berikan untuk kebaikan kamu, melindungi kamu juga bermanfaat bagi orang lain.”
“Tapi Amel takut, mereka serem yah.”
“Makanya di hafal lagi ayat yang Ayah ajarkan. Ayo dibaca lagi.”
“Amel.”
“Ayah.”
“Amel.”
“Ayah.”
“Mel, sadar."
“Hahhh.” Aku tersentak dan langsung duduk dengan nafas terengah. Ada Andra di hadapanku yang terus menanyakan kondisiku.
“Lo mimpi?”
Mimpi, apa tahu aku bermimpi? Aku ingat lagi apa yang tadi datang ke mimpiku. Yang aku ingat hanya wajah Ayah yang begitu sabar membimbingku. Aku menatap jam dinding, sudah menunjukan pukul sebelas malam.
“Kamu dari kapan?”
“Lumayanlah, lo kayaknya ngantuk banget. Gue panggil juga nggak dengar. Tuh makan malam udah dingin, makan dulu gih.”
“Informasi apa yang kamu dapat?”
Andra menunjuk bungkusan yang berisi makan malamku.
“Makan. Nggak dimakan, gue nggak akan bahas apapun.”
Aku beranjak menuju ranjang, mengecek kondisi Bang Doni. Lalu menikmati makan malam yang dibawakan Andra, tentu saja dengan bergegas karena ada hal yang harus kami bicarakan. Jika ingat ucapan Pak Narto, masa pemberian tumbal itu sudah hampir habis.
“Mel, jaga kesehatan. Abang lo masih butuh perhatian, juga masalah kita.”
“Masalah kita?” tanyaku yang sudah duduk di samping Andra yang menyandarkan kepalanya memandang langit-langit kamar.
“Masalah gaib yang kita alami, nggak mungkin gue sebut secara langsung.”
“Jadi gimana?” tanyaku tak sabar.
Andra pun merubah duduknya menjadi bersila menghadapku.
“Ningrum ternyata masih kerabat Munir, tepatnya anak angkat. Kemungkinan dia akan dijadikan tumbal, tapi malah koma dan arwahnya keliaran.”
“Dari mana kamu tahu itu?”
“Aku dengar anteknya Munir bicara dengan Dian. Mereka masih butuh empat nyawa lagi, sesuai perjanjian dengan iblis itu. Setelah ini bisa dipastikan Munir akan semakin kaya raya. Kejadian di tower sky juga ada hubungan dengan ini. Pak Narto benar, tidak semua yang meninggal adalah tumbal dan kita belum tahu apa syarat manusia yang ditumbalkan.”
Aku menghela nafas mendengar penjelasan Andra, pria itu belum tahu apa yang terjadi semalam.
“Bagaimana dengan Ningrum?”
“Apanya?”
“Jenazahnya.”
“Aku sudah hubungi Pak Narto, nggak aktif. Waktu aku datangi kamar jenazah, Pak narto katanya sakit dan petugas di sana bilang Ningrum sudah dibawa keluarganya.”
“Semalam, aku bertemu Ningrum.”
“Hah, serius?”
Aku pun menceritakan kedatangab Ningrum dan ulahnya menyelamatkan Bang Doni. Namun, kami dikejutkan dengan suara jendela yang tiba-tiba terbuka dan angin kencang. bahkan selimut dan barang ringan pun berjatuhan dan bergoyang. Andra bergegas menutup jendela, sedangkan aku memperbaiki posisi selimut Bang Doni.
Brak.
Jendela pun tertutup. Barang-barang yang berjatuhan aku simpan kembali di tempatnya, tapi Andra masih berdiri menatap keluar jendela.
“Ndra.”
Dia menoleh lalu kembali melayangkan pandangan ke luar jendela.
“Aneh nggak sih, masa cuma di sini doang yang kena angin.”
“Masa?”
Andra hanya mengangguk lalu kembali ke sofa. Mendadak aku kembali merinding dan tengkuk agak berat, bahkan aku usap berkali-kali.
“Lo kenapa?”
Aku hanya mengedikkan bahu. Kami berdua terdiam, mendadak aura kamar itu jadi tidak enak. Andra pamit keluar untuk merokok, aku ingin menahannya tapi tidak enak.
Tiba-tiba tercium bau busuk, seperti bau bangkai. Lampu kamar pun mendadak mengedip, tanda yang selalu muncul ketika ada makhluk gaib.
“Kok merinding sih.”
Baru saja aku berdiri, dari arah pintu terdengar suara langkah. Aku menoleh dan rasanya jantungku melorot ke perut demi melihat sosok yang melangkah. Lebih tepatnya melompat. Pocong. Sosok itu melompat pelan ke ujung kamar melewati sofa dan ranjang Bang Doni.
Dari sekian banyak makhluk tak kasat mata, sosok ini termasuk menakutkan. Aku paling takut melihat sosok ini. Mulutku sudah merapal doa dan sosok itu berbalik menghadap ke arahku. Kain putihnya sudah kotor dan usang, juga ikatan di atas kepala dan di bawah bahkan kapas di lubang hidung masih lengkap membuatku semakin bergidik ngeri. Wajahnya gosong dan terlihat mengerikan.
Perlahan mulutnya terbuka. Aku berteriak ketika mulutnya mengeluarkan berbagai macam serangga termasuk memuntahkan belatung.
“Andra,” teriakku langsung naik ke atas sofa karena serangga yang bertebraangan dan berserakan di lantai. Teriakanku semakin kencang ketika sosok itu kembali melompat ke arahku.
“Pergi!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Zuhril Witanto
serem bayangin nya..😱
2024-04-28
0
Ali B.U
.next
2024-03-22
1
Bambang Setyo
Semoga tu munir gak berhasil dapat tumbal
2023-12-06
0