NovelToon NovelToon

Bangsal Kamboja

Bab 1 ~ Pesan Pak Hasan

Lima menit lagi jam kerja shift malam ku dimulai. Aku memastikan seragam yang aku kenakan sudah rapi dan berharap malam ini tidak ada kejadian berarti. Sebagai perawat rawat inap jadwal shift malam, biasanya bisa lebih santai atau bahkan sibuk seperti shift pagi dan sore. Namun, bukan itu yang menjadi masalah. Masalahnya adalah makhluk tak kasat mata lebih banyak terlihat ketika malam.

“Amel, ayo,” ajak Marni

“Sebentar,” jawabku sambil mengunci loker lalu bergegas menuju nurse station.

Di sana kami mendapatkan arahan dari ketua shift, termasuk membacakan kembali pasien yang harus kami rawat. Berada di bangsal lantai lima khusus pasien dewasa dengan layanan kamar kelas dua. Di mana setiap kamar berisi tiga ranjang pasien.

“Sebelum mulai tugas mari kita berdoa, semoga saja pasien-pasien ini kondisinya semakin sehat dan besok diperbolehkan pulang.”

“Aamiin,” jawabku serempak dengan yang lain.

“Semoga tidak ada pasien yang meninggal,” tambah Marni yang kembali diaminkan juga oleh kami.

“Juga tidak banyak penampakan dan makhluk yang mengganggu,” ucapku dalam hati.

Memiliki kelebihan bisa melihat makhluk tak kasat mata, cukup mengganggu aktivitasku. Bahkan tidak jarang aku takut dengan penampakan yang begitu menyeramkan dan di rumah sakit penampakan “mereka” termasuk menyeramkan.

Kadang ada sosok yang tidak memiliki kaki, tangan bahkan bagian tubuh yang terurai. Tidak jarang kondisi yang berdarah-darah, sepertinya korban kecelakaan.

“Amel, kamu cek suhu dan tensi kamar sisi kiri dan Marni kamar sisi kanan. Dela, kamar paviliun,” titah ketua shift membagi tugas.

Setelah briefing selesai, aku menyiapkan tensimeter dan termometer serta notes untuk menuliskan hasil pengukuran sebelum dicatat ke rekam medis tiap pasien. Saat ini aku berdiri di depan papan yang tertulis semua nama pasien di bangsal ini.

“Marni, Pak Hasan sudah pulang ya?” tanyaku pada Marni karena tidak menemukan nama pasien Hasan. Aku ingat betul semalam Pak Hasan sempat sesak nafas dan harus dibantu dengan oksigen.

“Kamu nggak tahu ya?” tanya Marni agak berbisik.

Aku menoleh dan mengernyitkan dahi.  “Tahu apa?”

“Tadi pagi Pak Hasan meninggal, katanya sih beres kita shift gitu.”

“Inna innalillahi wainnailaihi rojiun,” ucapku. Marni menunjuk salah satu nama yang tertera di papan.

“Ibu Citra. Pasien baru kayaknya,” ujarku sambil membaca jam berapa dia masuk dan indikasi penyakitnya.

“Ih belum nyambung juga, Ibu Citra ini istrinya Pak Hasan. Dia masuk sore tadi,” bisik Marni membuatku terkejut.

“Masa?”

Marni menganggukkan kepalanya. Kami pun berpisah untuk melakukan tugas. Aku memasuki kamar yang menjadi wilayahku mengukur suhu dan tekanan darah semua pasien.

“Malam, cek rutin dulu ya,” ujarku saat memasuki kamar Melati.

Ada dua ranjang yang terisi dan ranjang tengah kosong hanya dibatasi sekat gorden. Ternyata ranjang yang dekat jendela adalah pasien atas nama Ibu Citra. Ibu itu sepertinya tertidur, dengan pelan aku meraba tangannya hendak mengukur tensi darah.

Aku menoleh ke sisi kanan Ibu Citra dan memastikan penglihatanku.

Brak

Termometer Gun yang aku bawa terjatuh saat aku menyadari kalau pria yang duduk di kursi itu adalah Pak Hasan. Bagaimana tidak terkejut, Marni bilang Pak Hasan sudah meninggal. Lalu siapa dia? Sosok dengan wajah menunduk itu terlihat lelah.

 Jantungku berdetak lebih cepat, bulu kuduk berdiri tegak dan tengkukku sudah mulai berat. Pertanda kehadiran makhluk tak kasat mata di dekatku.

Bergegas aku mengukur tensi darah dan suhu tubuh Ibu Citra. Dari sudut mata aku bisa melihat kalau sosok Pak Hasan berdiri dan menoleh ke arahku.

“Suster Amel.”

Bibirku komat kamit melantunkan doa, tanganku bahkan tremor. Meskipun sudah sejak kecil aku bisa melihat “mereka”, tapi rasa takut tetap saja ada ketika makhluk itu mengajak berinteraksi. Bulu kudukku semakin merinding mendengar sosok itu kembali menyebut namaku.

Aku tidak tahu pasti siapa sebenarnya sosok itu, bisa jadi hanya jin yang menyerupai Pak Hasan. Karena arwah manusia yang sudah meninggal, seharusnya sudah berada di alam lain.

Dengan tangan gemetar dan sosok yang memandang ke arahku, apa yang aku kerjakan terasa begitu sulit. Segera aku lepaskan tensimeter dari tangan Ibu Citra lalu bergegas keluar dari kamar.

Bugh.

“Maaf,” ujarku karena menabrak seseorang yang hendak masuk ke dalam kamar itu.

“Iya, nggak apa-apa. Eh, suster Amel ya.”

Aku memastikan yang berada di depanku adalah manusia, bahkan aku tatap kedua kakinya ternyata menapak di tanah.

“Saya Andri Sus, anaknya Ibu Citra dan Pak Hasan.”

“Oh,” ucapku sambil menganggukkan kepalanya. Andai pria ini tahu kalau aku baru saja melihat Bapaknya bahkan memanggil-manggil namaku.  

“Bapak udah nggak ada, eh Ibu malah masuk sini,” ujarnya dan aku melihat gurat lelah dan kesedihan di wajah pria itu, perlahan aku menoleh ke arah ranjang di mana Ibu Citra berada. Sudah tidak ada Pak Hasan.

“Saya baru tensi Ibu Citra, tekanannya normal. Semoga stabil terus ya dan dokter bisa putuskan pulang, jadi bisa istirahat di rumah,” ujarku.

Selesai mengukur suhu dan tensi semua pasien aku kembali ke nurse station dan menuliskan hasil pengecekan rutin pada rekam medis pasien yang aku cek. Tidak lama Marni pun kembali dan ikut duduk di sampingku melakukan hal yang sama denganku. Perawat lain sedang keliling memberikan terapi obat atau suntikan dan mengecek cairan infus.

Menjelang tengah malam, hanya aku yang berada di nurse station karena perawat lain sedang beredar di kamar, baru saja ada pasien masuk perawatan dan tadi sempat ada pasien yang kritis. Aku sedang fokus mendata hasil pemeriksaan ke dalam file komputer.

“Suster Amel,” panggil seseorang yang berdiri di depan meja.                                                                                   

“Iya,” jawabku sambil menyimpan hasil pekerjaanku lalu memutar kursi. “Astagfirullah.” Aku memekik lalu berdiri dan melangkah mundur menjauh dari meja.

Sosok Pak Hasan yang berdiri di sana, pria itu menatapku dan mengulurkan tangannya. Membuat tubuhku kembali merinding dan suasana mendadak terasa mencekam. Mulutku rasanya ingin mengumpat dan berteriak memanggil rekan-rekanku.

“Suster Amel, tolong sampaikan pada istriku. Aku pergi dan jaga diri baik-baik, jangan terlalu lama larut dalam kesedihan. Belum waktunya dia pergi bersamaku,” tutur sosok itu.

Aku hanya bisa mengusap dada sambil terus merapal doa. Melihat sosok itu tidak berteriak atau lari terbirit-birit saat aku melantunkan doa, mungkin aku membaca doa yang salah. Akhirnya sosok itu menghilang, bulu kudukku kembali normal.

“Hahh, kirain bakal nyantai ternyata ramai,” keluh Marni yang baru datang. Dia melepas sarung tangan lalu mencuci tangan dan heran dengan posisiku yang masih berdiri sambil terengah dan mengusap dada.  

“Kamu kenapa?” tanya Marni. Aku menggelengkan kepala. “Lihat apa barusan?” tanya Marni antusias. 

Bab 2 ~ Security

Aku menguap sambil melirik jam dinding. Ternyata pukul dua pagi, artinya masih ada beberapa jam sebelum jadwal shift berakhir.

Malam ini terasa berbeda, mencekam dan agak menyeramkan. Sejak tadi aku berjaga di nurse station, karena Marni giliran istirahat dan yang lain beredar di bangsal. Kulitku agak merinding bahkan tadi sempat tercium aroma melati.

Tentu aku mencoba biasa saja dan menyibukkan diri dengan menginput status pasien di database. Sayup-sayup aku mendengar suara roda brankar di dorong, sepertinya akan ada pasien baru. Namun, aku tunggu tidak ada yang datang. Aku berdiri dan membuka pintu untuk melongok koridor menuju lift dan pintu darurat. Ternyata … sepi.

“Mungkin aku salah dengar,” gumamku dan kembali ke meja.

Tidak lama ada telepon dari UGD, kalau ada pasien baru yang akan di tempatkan di salah satu bangsal lantai lima. Karena UGD sibuk menangani korban kecelakaan lalu lintas, kami diminta menjemput pasien ke sana.

“Mbak, aku minta Marni atau ikut ya,” usulku pada perawat senior yang menjadi ketua shift.

“Kamu sendiri aja, nanti minta ditemani yang magang di UGD. Marni masih rehat, Dela sedang pantau pasien kritis.

Akhirnya aku pasrah untuk menjemput pasien itu sendirian. Karena pasien akan ditempatkan di bangsal Melati, aku pun ke bangsal tersebut. Berjalan dengan pelan dan berjaga-jaga kalau sosok Pak Hasan masih ada di sana. Aku lihat pasien dan keluarga yang mendampingi sedang tertidur. Segera aku menggeser ranjang tengah yang kosong lalu aku dorong ke luar.

Saat menunggu lift terbuka, terdengar suara dari arah janitor. Detak jantungku berdebar kencang karena suara itu terdengar seperti terseret-seret. Tidak mungkin cleaning service, tapi aku tidak berani menoleh.

“Cepat, cepat,” gumamku berharap pintu lift segera terbuka. Dari angka yang tertera, lift sudah beranjak dari lantai enam.

Srek srek srek.

Suara itu semakin dekat dan … ting. Pintu lift terbuka, aku bergegas mendorong ranjang ke dalam lift dan menekan tombol menutup pintu. Sekilas aku melihat sosok itu, terduduk dilantai dengan seragam perawat yang sudah lusuh dan rambut berantakan. Aku pikir suster ngesot hanya ada di film, tapi aku baru saja melihatnya meskipun ragu apakah sosok itu benar ngesot, merangkak atau jongkok.

Aku bersandar di dinding lift merasakan detak jantung yang masih berdebar kencang. Mulutku masih bergumam doa, berharap saat pintu lift terbuka tidak melihat yang membuat kulit merinding lagi.

"Amel, fokus dan semangat," ujarku menyemangati diri.

Keluar dari lift aku bergegas menuju UGD, entah kenapa ranjang pasien yang aku dorong terasa begitu berat padahal kosong. Aku merasa ada yang tidak beres, bahkan security yang berkeliling sampai menghampiri dan bertanya.

“Kenapa mbak?”

“Pak, tolong bantu dorong ke UGD. Entah saya yang lelah atau memang ini ranjang berat banget ya, saya nggak kuat dorong.”

“Iya, saya bantu.”

Lumayan jauh menuju UGD, harus melewati koridor rawat jalan.

“Mbak, sering-sering istighfar.”

“Eh, iya Pak.” Dalam hati aku kesal juga, karena si Bapak ini tiba-tiba menasehati aku agar sering beristighfar, tidak usah dikasih tau juga aku sering lakukan. Bahkan sejak penampakan Pak Hasan, banyak sekali gangguan.

“Mbaknya bisa lihat ‘kan?”

“Ya bisalah Pak.”

“Maksud saya, lihat yang bukan manusia.”

Deg.

Aku terdiam, maksudnya bapak ini apa sih.

“Ini ada yang ngikut di ranjang, makanya berat.”

“Astafirullah,” ucapku yang menghentikan langkah dan menyadari ada sosok berbaring di ranjang itu dan aku tidak menyadarinya. Ranjang pasien itu semakin menjauh didorong oleh Bapak security yang menoleh ke arahku sambil menyeringai.

Belum hilang rasa takut dan debaran jantung serta kulit yang merinding disko, aku pastikan lagi kalau sosok itu benar manusia. Namun, sosok tersebut tidak menapak di tanah. Aku mengusap wajahku berkali-kali dan tersadar ketika ada yang menepuk pundakku. Ternyata Dokter Irwan, aku kenal karena beliau sering visit pasien ke lantai lima.

“Ngelamun aja, mau ke UGD ‘kan?”

“Iya.”

“Ayo, jangan kelamaan melamun di sini!”

“I-iya, dok.”

Dokter Irwan bahkan membantu aku mendorong ranjang sampai UGD. Aku lihat dia langsung menuju salah satu brankar pasien, sedangkan aku menanyakan di mana pasien yang harus aku bawa.

“Sorry ya Mel, dari tadi ramai pasien. Apalagi ada kecelakaan, sumpah crowded banget.”

“Oke nggak masalah.”

Aku dibantu salah satu perawat UGD, memindahkan pasien dari brankar ke ranjang.

“Statusnya mana?” tanyaku meminta catatan pemeriksaan dan terapi yang dibutuhkan pasien.

“Oh iya.”

Aku memastikan cairan infus tetap mengalir sebelum meninggalkan UGD. Lalu menatap sekeliling mencari petugas magang yang bisa mengantarku ke lantai lima. Saat melewati brankar di mana ada dokter Irwan dan dua orang perawat yang menangani pasien, sepertinya pasien tersebut meninggal dunia karena dokter Irwan menyatakan waktu kematian.

Penasaran, aku pun mendekat untuk melihat pasien tersebut. Tanganku mengucek kedua indra penglihatan, memastikan kalau yang aku lihat adalah benar. Pasien yang dinyatakan meninggal itu mengenakan seragam security dan wajahnya sangat mirip dengan security yang aku temui di koridor bahkan sempat membantuku mendorong ranjang pasien.

“Inna innalillahi wainnailaihi rojiun,,” ucapku pelan.

“Amel, ini statusnya. Nanti kamu dibantu yang magang, tuh orangnya.”

Aku mengangguk lalu menunjuk pasien yang baru saja dinyatakan meninggal.

“Dia security lantai tujuh, dibawa ke sini karena pingsan. Belum lama loh, tekanan darahnya cukup tinggi. Eh ternyata lewat.”

Umur memang rahasia Tuhan, termasuk kelebihan melihat sosok lain yang aku miliki. Sepanjang perjalanan kembali lantai lima, bukan berarti aku bebas dari gangguan. Hanya saja aku bisa lebih mengontrol ketakutanku dengan lebih sering menyebut nama Allah, seperti yang disarankan oleh Bapak security tadi. 

Bab 3 ~ Ada Apa Dengan Bangsal Kamboja?

Marni yang mengurus pasien dari UGD sedangkan aku masih duduk di kursi pojok nurse station. Gelas yang aku pegang berisi kopi sudah hampir kosong. Saat tiba sambil mendorong brankar pasien bersama salah satu perawat magang, Marni menyadari ada yang aneh dengan diriku. Dia hanya mengambil alih pasien dan meminta aku duduk.

Beruntung ada rekan kerja yang sangat memahami kondisi aku. Dengan kelebihan ini, kadang ada situasi di mana aku ketakutan atau bahkan lelah. Karena berinteraksi dengan makhluk tak kasat mata menguras energi.

“Are you okay?” tanya Marni. Aku hanya mengangguk pelan.

“Pasien tadi ….”

“Sudah aman, bentar aku input di sistem,” sahut Marni.

Para perawat kumpul di nurse station. Menjelang subuh begini kondisi pasien biasanya terkendali dan landai, kami manfaatkan untuk beristirahat. Ada juga yang menelungkupkan wajah di atas meja.

“Eh, jadwal rolling hari ini ya?”

“Iya, moga aja aku dapat yang lebih kondusif,” sahut Marni.

Kebijakan rumah sakit, setiap tiga bulan lokasi tugas perawat akan dirolling dan hari akan terbit jadwal tersebut. Beban kerja di beberapa bagian biasanya lebih berat, tentu saja semua berharap dapat tempat yang tidak memberatkan.

“Semoga gue dapat di rawat jalan.”

“Aku sih mana aja, yang penting jangan UGD, rawat inap lagi atau ruang operasi,” ujar Marni sambil menginput status pasien yang baru masuk.

Harapanku pun hampir sama, malah aku berharap dapat bagian yang tidak ada shift malam. Karena malam banyak yang bisa aku lihat sedangkan orang lain tidak dan ini cukup menakutkan.

“Amel, kamu inginnya di pindah ke mana?”

“Hm, ke mana ya?” gumamku bingung menjawab pertanyaan rekan sejawat. “Di mana aja kali ya, habis kalau berharap A dapatnya B malah kecewa.”

“Aku sih berharap ada dokter yang meminang aku lalu jadi ibu rumah tangga dan fokus mengurus suami juga anak-anak,” seru Marni lagi.

“Kalau dokternya Duda anak tiga, gimana?”

“Mana anak paling kecil udah SMA.”

Aku hanya tersenyum mendengar Marni malah jadi bahan guyonan. Mendadak wajahku kembali menegang dan memastikan pendengaranku mendengar suara itu lagi. Suara benda bergeser yang sempat aku dengar saat hendak menjemput pasien dari UGD.

Srek Srek Srek

Lirih suara itu kembali terdengar, yang aneh adalah hanya aku yang menyadari itu. Yang lain masih berbicara sambil berbisik khawatir mengganggu pasien yang sedang istirahat. Sepertinya sosok suster yang aku lihat tadi, bukan manusia.

Jam dinding menunjukan pukul empat. Ternyata belum subuh, wajar kalau masih ada makhluk alam lain yang berkeliaran. Suara itu semakin terdengar jelas dan berhenti tepat di depan pintu bangsal. Pintu yang sebagiannya kaca. Perlahan aku menoleh ke arah pintu, entah makhluk apa yang sudah duduk di depan pintu karena hanya terlihat kepalanya saja.

Mendadak tubuhku merinding dan detak jantungku begitu cepat. Aku masih menatap ke arah pintu yang perlahan terbuka tanpa ada siapapun yang membuka dan tanpa suara. Sosok tadi melongokkan kepala, wajahnya terlihat begitu pucat dan menatap ke arahku.

“Eh pintunya terbuka,” seru Marni yang beranjak dari kursinya menuju pintu.

Aku ingin berteriak agar Marni tidak mendekat ke pintu, tapi lidahku rasanya kelu.

Brak.

Pintu ditutup oleh Marni.

“Belum dibenerin juga, udah longgar banget sering kebuka sendiri.”

“Nanti saya hubungi maintenance,” seru ketua shift.

Apanya yang longgar, jelas-jelas aku melihat makhluk itu yang menekan handle pintu dengan tangannya dan mendorong pelan.

“Mel, lo kenapa sih?” tanya Marni yang melihatku hanya diam dan sukses membuat yang lain menoleh ke arahku.

“Nggak apa-apa, ngantuk kayaknya. Pengen cepet selesai terus pulang dan tidur.

“Semua juga gitu, sabar ya Mel.” Aku hanya tersenyum sambil mengangguk pelan.

Ketika subuh, kami bergantian menunaikan ibadah lalu memeriksa tiap pasien sebelum berganti shift. Rekan shift pagi sudah datang dan siap menderima delegasi tugas. Setelah beres dengan rekam medis pasien tanggung jawabku, segera aku menuju loker mengambil jaket dan tas.

Masih berada di nurse station untuk absen finger, Dela dan Marni sudah mendapatkan jadwal rolling. Keduanya bersorak karena tidak mendapatkan tempat yang mereka tidak sukai.

“Kamu di mana Mel?” tanya Marni.

Segera aku mengeluarkan ponsel dari kantong celana dan membaca informasi rolling tugas. Marni, Dela dan temanku yang lain menunggu aku membaca informasi. Dalam hati aku bersyukur karena tidak ditempatkan di ruang operasi dan UGD.

“Kok senyum-senyum, kamu dapat di mana?” tanya Marni tidak sabar.

“Lantai tiga belas, bangsal kamboja,” jawabku lalu tersenyum.

Karena tidak ada respon, aku pun menatap teman-temanku yang terdiam dan saling pandang termasuk Marni. Sebenarnya ada apa dengan bangsal kamboja, sampai semua hanya diam. Kebetulan aku baru beberapa bulan bekerja di rumah sakit ini dan langsung ditugaskan di lantai lima.

“Kenapa?”

“Kamu yakin dapat bangsal kamboja?” tanya Marni lagi.

Aku pun kembali menatap layar ponsel dan membaca informasi penugasan yang baru. Tertera di sana Lantai tiga belas, bangsal kamboja.

“Iya, bangsal kamboja,” sahutku. “Memang ada apa dengan bangsal itu?”

 “Tidak ada apa-apa, kamu harus lebih fokus bertugas di sana. Bangsal itu khusus ICU, termasuk juga tempat para pasien koma,” tutur ketua shift.

Kami pun bubar, sempat saling bersalaman karena tidak dalam satu tim lagi. Namun, masih ada yang mengganjal tentang bangsal kamboja. Aku pun menarik Marni untuk mengajaknya bicara.

“Marni, ceritakan ada apa dengan bangsal kamboja!”  

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!