Aku sudah berada di samping jenazah dan membuka kain penutupnya. Ternyata benar Ningrum. Dua hari yang lalu, aku masih menyeka tubuhnya. Mengganti diapers dan memastikan cairan infus serta alat medis yang terpasang ke tubuhnya berfungsi dengan baik.
Kedua tanganku menutup mulut agar tidak berteriak. Arwah Ningrum sempat menemuiku, dengan pernyataan teka-tekinya.
“Ningrum,” ujarku lirih.
“Kapan keluarganya akan ambil jenazah ini?” tanya Andra pada Pak Narto.
“Entahlah, bagian administrasi yang menghubungi. Saya hanya bertugas memandikan dan mengamankan jenazah.”
“Amel, ada hal lain yang perlu kita pastikan. Ningrum sudah tenang,” ujar Andra yang melihatku terisak.
“Tenang. Kamu yakin dia sudah tenang? Dalam keadaan koma saja, arwahnya di kejar iblis dan sekarang ….”
“Hei, kamu bertemu dengan arwah jenazah ini?” tanya Pak Narto padaku.
Aku menganggukkan kepala pelan. Pak Narto memperhatikanku, seperti memastikan sesuatu.
“Kalian, sebenarnya siapa? Apa maksud kalian datang ke sini?”
Andra menyampaikan maksud kedatangan kami, informasi tentang bangsal kamboja juga tentang pesugihan.
“Mitos, yang kalian dengar itu mitos.” Pak Narto mulai melakukan prosedur pemandian jenazah pada Ningrum.
“Kami tidak hanya mendengar, tapi merasakan keanehan dan gangguan itu. Kami hampir jadi korban jatuhnya lift dan Amel melihat sendiri sesajen yang disiapkan di lantai tiga belas, juga para hantu yang mendatangi sajen.”
Penuturan Andra membuat pak Narto menatap kami bergantian.
“Berhati-hatilah, kalian tidak tahu apa yang sedang kalian hadapi.”
“Jadi benar, di sana ada pesugihan dan pasien meninggal adalah tumbalnya?” tanyaku mencecar Pak Narto.
Pria paruh baya itu duduk di kursi bulat dan menghentikan persiapan pemandian jenazah. Dia menghela nafas dan kembali menatapku dan Andra bergantian.
“Kalaupun kalian tahu dan kalian paham, apa bisa membalikan keadaan? Keluarga yang kalian hadapi bukan keluarga biasa, mereka sangat kuat dengan urusan mistis. Jangan lagi sangkut pautkan pasien meninggal adalah tumbal pesugihan, bisa saja orang itu meninggal memang sudah takdir.”
“Aku lihat sendiri, arwah pasien yang meninggal diseret oleh makhluk gaib keluar dari bangsal.”
“Apa yang ingin kalian tahu?”
Aku dan Andra tersenyum lalu menghampiri Pak narto. Menanyakan banyak hal, terkait bangsal kamboja dan menanyakan apa saja yang pria itu ketahui.
“Saya akan ceritakan, tapi jangan di sini. Beres tugas saya hari ini, datang saja ke kontrakan saya.” Pak Narto menyampaikan pada Andra di mana dia tinggal, aku menghampiri jenazah Ningrum mendoakan semoga arwahnya tenang di alam sana.
Kami menuju parkiran dalam diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tiba-tiba Andra menarik tanganku dan kami berbelok.
“Kenapa sih?”
“Duduk!” titah Andra menunjuk kursi stainless yang ada di koridor. Tidak lama lewatlah rombongan dan aku melihat ada pria pemilik rumah sakit di dampingi para petinggi lainnya.
“Ayo, kita tunggu di luar saja,” ajak Andra ketika situasi sudah aman.
Entah aku atau Andra, diantara kami bisa jadi dalam bahaya berdasarkan ucapan yang aku dengar malam itu.
“Mel, Pak Narto beres masih tiga jam lagi. Mau ke mana dulu?”
“Hm.”
“Tempat gue aja ya, kalau ke rumah lo jauh lagi ke alamatnya Pak narto.”
“Terserah, aku ngikut yang penting harus ada solusi. Aku nggak mau diteror makhluk gaib.”
...***...
Tempat kost Andra ternyata campur, bukan khusus untuk pria saja. Namun, aku dan Andra berada di ruangan khusus menerima tamu. Andra ternyata fleksibel, bisa serius dan kocak seperti saat ini. Sejak tadi aku tergelak karena guyonannya.
“Udah ah, sakit perut ketawa mulu.”
“Yang nyuruh ketawa siapa.”
Tiba-tiba Andra terdiam, wajahnya serius menatap ke satu arah dan kedua tangannya mengepal. Aku sempat panggil namanya, tapi diabaikan.
“Ndra, jangan nakutin deh,” ujarku sambil mendorong pelan tubuhnya.
Akhirnya Andra menghela nafas lalu menoleh menatapku. Menatap aneh dan sendu, membuatku bertanya-tanya ada apa dengannya.
“Kamu kenapa sih? Dapat penglihatan lagi?”
“Iya.”
“Serius? Apa?”
“Gue liat lo, nangis dan berteriak,” sahut Andra masih menatapku.
“Kenapa bisa begitu?”
“Nggak jelas, Cuma itu adegan yang gue lihat.”
“Apa ada hubungannya dengan bangsal kamboja? Dengan rumah sakit atau ….” Ucapanku terhenti karena Andra memegang tanganku masih dengan tatapannya yang semakin horror.
“Andra apaan sih, kamu bikin takut tahu.”
“Gimana kalau lo berhenti kerja atau minta mutasi. Bangsal kamboja sepertinya berbahaya.”
Sebenarnya penglihatan apa yang dirasakan oleh Andra sampai menyuruhku berhenti dari rumah sakit. Apa keputusan itu bisa jadi solusi dan makhluk tak kasat mata tidak akan menggangguku?
“Yakin kalau itu solusi terbaik? Aku berhenti tidak akan menghentikan masalah di bangsal kamboja.”
“Itu bukan urusan kamu dan bukan urusan kita. Biar jadi masalah antara pemilik rumah sakit dan Tuhannya.”
Andra menghela nafas lalu menyugar rambutnya karena kesal. kami sama-sama diam, sepertinya memikirkan hal yang sama.
“Kayaknya Pak Narto sudah pulang, ayo kita ke rumahnya.”
Tidak sampai tiga puluh menit kami akhirnya tiba di kontrakan Pak Narto. Pria itu tinggal sendiri, entah di mana keluarganya. Pemukiman padat penduduk, bahkan motorku diparkir di minimarket. Karena tidak ada tempat untuk parkir.
“Aku pikir kalian tidak akan datang, ternyata serius juga.”
Pak Narto menghiisap rokoknya, mulai bercerita apa yang dia tahu.
“Saya di rumah sakit itu sejak awal, waktu masih dua lantai gedung depan lalu berkembang sampai sekarang. Pesugihan, itu yang beredar. Perkembangan rumah sakit ini cukup pesat, mungkin itu dasar orang-orang menyebarkan isu bahwa rumah sakit melakukan pesugihan.”
Pak Narto kembali menghissap rokoknya dan menghembuskan kepulan asap.
“Sampai saya sendiri menyaksikan hal tersebut. Sajen dan pasien yang dijadikan tumbal. Tidak semua pasien meninggal menjadi tumbal, entah apa syaratnya hanya Munir yang tahu. Munir pemilik rumah sakit. Saya sudah terikat, Munir tidak akan lepaskan saya. Kalian berada di sini, bisa jadi membahayakan nyawa kalian.”
“Lalu pesugihan itu, kapan memakan korban?”
“Dalam setahun Munir harus menumbalkan lebih dari dua puluh lima nyawa dan harus dilakukan di bulan tertentu sampai batas tertentu. Bulan ketujuh minggu kedua setiap tahun, itu batas waktunya dan hari itu adalah beberapa hari lagi. Kemarin saya bertemu Munir, dia terlihat gusar. Ini pasti ada hubungannya dengan jumlah yang belum dipenuhi.”
“Kenapa Pak Munir membiarkan bapak tahu masalah ini?” tanya Andra sama seperti yang ada dibenakku.
“Karena saya sudah terikat. Saya pergi, bisa jadi saya akan ditumbalkan. Itulah saya bilang, nyawa kalian bisa dalam bahaya.”
“Aku penasaran, apa syarat korban tumbal ini?”
“Untuk hal itu, saya tidak tahu.”
“Ningrum, dia koma sudah lama. Apa dia korban juga?” cecarku.
“Saya sudah sampaikan apa yang saya tahu, sebaiknya kalian jangan ikut campur. Jaga diri dan selamatkan hidup masing-masing."
"Kami tidak ikut campur, tapi kami seakan dilibatkan mengalami kejadian di luar logika," jawab Andra.
Akhirnya kami meninggalkan rumah Pak Narto. Masih buntu, mengenai bangsal kamboja. Karena Andra ada janji lain, aku pulang sendiri. Dalam perjalanan aku menepi dan membuka ponsel karena terasa bergetar ternyata panggilan dari Ibu.
"Halo Bu."
"Amel," ucap Ibu di ujung telepon dengan suara lirih dan bergetar.
"Kenapa Bu?"
Terdengar isakan tapi tidak ada jawaban.
"Ibu ...."
"Mel, Doni ...."
"Bang Dony kenapa?" tanyaku pelan sambil menelan saliva. Berharap tudak ada hal buruk yang terjadi.
"Doni kecelakan."
"Apa?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Zuhril Witanto
kayaknya Doni mau di jadiin tumbal...atau ini semua biar Amel berhenti mencari tau
2024-04-28
0
Ev No
aduh kn feiling ku beber Doni JD tumbal itu secara dia kerja di proyek pesugihan
2024-04-02
0
Astiah Harjito
jenazah cewek kok dimandikan petugas pria, gk boleh dong
2024-03-23
0