Aku menguap sambil melirik jam dinding. Ternyata pukul dua pagi, artinya masih ada beberapa jam sebelum jadwal shift berakhir.
Malam ini terasa berbeda, mencekam dan agak menyeramkan. Sejak tadi aku berjaga di nurse station, karena Marni giliran istirahat dan yang lain beredar di bangsal. Kulitku agak merinding bahkan tadi sempat tercium aroma melati.
Tentu aku mencoba biasa saja dan menyibukkan diri dengan menginput status pasien di database. Sayup-sayup aku mendengar suara roda brankar di dorong, sepertinya akan ada pasien baru. Namun, aku tunggu tidak ada yang datang. Aku berdiri dan membuka pintu untuk melongok koridor menuju lift dan pintu darurat. Ternyata … sepi.
“Mungkin aku salah dengar,” gumamku dan kembali ke meja.
Tidak lama ada telepon dari UGD, kalau ada pasien baru yang akan di tempatkan di salah satu bangsal lantai lima. Karena UGD sibuk menangani korban kecelakaan lalu lintas, kami diminta menjemput pasien ke sana.
“Mbak, aku minta Marni atau ikut ya,” usulku pada perawat senior yang menjadi ketua shift.
“Kamu sendiri aja, nanti minta ditemani yang magang di UGD. Marni masih rehat, Dela sedang pantau pasien kritis.
Akhirnya aku pasrah untuk menjemput pasien itu sendirian. Karena pasien akan ditempatkan di bangsal Melati, aku pun ke bangsal tersebut. Berjalan dengan pelan dan berjaga-jaga kalau sosok Pak Hasan masih ada di sana. Aku lihat pasien dan keluarga yang mendampingi sedang tertidur. Segera aku menggeser ranjang tengah yang kosong lalu aku dorong ke luar.
Saat menunggu lift terbuka, terdengar suara dari arah janitor. Detak jantungku berdebar kencang karena suara itu terdengar seperti terseret-seret. Tidak mungkin cleaning service, tapi aku tidak berani menoleh.
“Cepat, cepat,” gumamku berharap pintu lift segera terbuka. Dari angka yang tertera, lift sudah beranjak dari lantai enam.
Srek srek srek.
Suara itu semakin dekat dan … ting. Pintu lift terbuka, aku bergegas mendorong ranjang ke dalam lift dan menekan tombol menutup pintu. Sekilas aku melihat sosok itu, terduduk dilantai dengan seragam perawat yang sudah lusuh dan rambut berantakan. Aku pikir suster ngesot hanya ada di film, tapi aku baru saja melihatnya meskipun ragu apakah sosok itu benar ngesot, merangkak atau jongkok.
Aku bersandar di dinding lift merasakan detak jantung yang masih berdebar kencang. Mulutku masih bergumam doa, berharap saat pintu lift terbuka tidak melihat yang membuat kulit merinding lagi.
"Amel, fokus dan semangat," ujarku menyemangati diri.
Keluar dari lift aku bergegas menuju UGD, entah kenapa ranjang pasien yang aku dorong terasa begitu berat padahal kosong. Aku merasa ada yang tidak beres, bahkan security yang berkeliling sampai menghampiri dan bertanya.
“Kenapa mbak?”
“Pak, tolong bantu dorong ke UGD. Entah saya yang lelah atau memang ini ranjang berat banget ya, saya nggak kuat dorong.”
“Iya, saya bantu.”
Lumayan jauh menuju UGD, harus melewati koridor rawat jalan.
“Mbak, sering-sering istighfar.”
“Eh, iya Pak.” Dalam hati aku kesal juga, karena si Bapak ini tiba-tiba menasehati aku agar sering beristighfar, tidak usah dikasih tau juga aku sering lakukan. Bahkan sejak penampakan Pak Hasan, banyak sekali gangguan.
“Mbaknya bisa lihat ‘kan?”
“Ya bisalah Pak.”
“Maksud saya, lihat yang bukan manusia.”
Deg.
Aku terdiam, maksudnya bapak ini apa sih.
“Ini ada yang ngikut di ranjang, makanya berat.”
“Astafirullah,” ucapku yang menghentikan langkah dan menyadari ada sosok berbaring di ranjang itu dan aku tidak menyadarinya. Ranjang pasien itu semakin menjauh didorong oleh Bapak security yang menoleh ke arahku sambil menyeringai.
Belum hilang rasa takut dan debaran jantung serta kulit yang merinding disko, aku pastikan lagi kalau sosok itu benar manusia. Namun, sosok tersebut tidak menapak di tanah. Aku mengusap wajahku berkali-kali dan tersadar ketika ada yang menepuk pundakku. Ternyata Dokter Irwan, aku kenal karena beliau sering visit pasien ke lantai lima.
“Ngelamun aja, mau ke UGD ‘kan?”
“Iya.”
“Ayo, jangan kelamaan melamun di sini!”
“I-iya, dok.”
Dokter Irwan bahkan membantu aku mendorong ranjang sampai UGD. Aku lihat dia langsung menuju salah satu brankar pasien, sedangkan aku menanyakan di mana pasien yang harus aku bawa.
“Sorry ya Mel, dari tadi ramai pasien. Apalagi ada kecelakaan, sumpah crowded banget.”
“Oke nggak masalah.”
Aku dibantu salah satu perawat UGD, memindahkan pasien dari brankar ke ranjang.
“Statusnya mana?” tanyaku meminta catatan pemeriksaan dan terapi yang dibutuhkan pasien.
“Oh iya.”
Aku memastikan cairan infus tetap mengalir sebelum meninggalkan UGD. Lalu menatap sekeliling mencari petugas magang yang bisa mengantarku ke lantai lima. Saat melewati brankar di mana ada dokter Irwan dan dua orang perawat yang menangani pasien, sepertinya pasien tersebut meninggal dunia karena dokter Irwan menyatakan waktu kematian.
Penasaran, aku pun mendekat untuk melihat pasien tersebut. Tanganku mengucek kedua indra penglihatan, memastikan kalau yang aku lihat adalah benar. Pasien yang dinyatakan meninggal itu mengenakan seragam security dan wajahnya sangat mirip dengan security yang aku temui di koridor bahkan sempat membantuku mendorong ranjang pasien.
“Inna innalillahi wainnailaihi rojiun,,” ucapku pelan.
“Amel, ini statusnya. Nanti kamu dibantu yang magang, tuh orangnya.”
Aku mengangguk lalu menunjuk pasien yang baru saja dinyatakan meninggal.
“Dia security lantai tujuh, dibawa ke sini karena pingsan. Belum lama loh, tekanan darahnya cukup tinggi. Eh ternyata lewat.”
Umur memang rahasia Tuhan, termasuk kelebihan melihat sosok lain yang aku miliki. Sepanjang perjalanan kembali lantai lima, bukan berarti aku bebas dari gangguan. Hanya saja aku bisa lebih mengontrol ketakutanku dengan lebih sering menyebut nama Allah, seperti yang disarankan oleh Bapak security tadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Zuhril Witanto
ternyata dah almarhum
2024-04-10
0
Ali B.U
lanjut
2024-03-21
1
Ali B.U
😆😆😆😆 dapat nasehat dari demit
2024-03-21
3