Aku dan Andra sudah sibuk dengan tugas kami, meskipun dalam tanda tanya apa yang akan terjadi seperti yang diucapkan Andra saat di lift. Sedangkan Andra sendiri juga belum tahu apa yang akan terjadi, dia hanya merasakan saja.
Deg
Jantungku berdetak lebih kencang saat masuk area tugasku. Tiga ranjang itu terisi pasien, Ningrum di ranjang tujuh begitu pula dengan dua ranjang lainnya. Aku mengawasi alat medis yang terpasang di tubuh pasien. Sesekali aku menatap ke arah Ningrum, wanita itu diam dalam ketidaksadaran.
“Amel,” panggil suster Dian yang sudah berdiri di samping Ningrum.
Aku pun menolak dan menghampirinya, karena tadi berdiri di sini ranjang sembilan.
“Ningrum kemungkinan akan dibawa pulang keluarganya, lagi konsultasi dengan dokter.”
“Iyakah?”
“Hm, kayaknya masalah biaya. Sudah hampir tiga bulan dia koma.”
Aku menatap Ningrum, hanya Tuhan yang dapat membantu menyadarkan wanita itu. Entah kenapa arwahnya semalam menemuiku, yang jelas aku tidak ingin terlibat dengan urusan gaib.
“Kamu tadi sama Andra ya?”
“Iya Mbak.”
“Dia ada masalah atau gimana sih. Kelihatan bete, tapi fokusnya masih oke,” seru suster Dian.
Aku menjawab tidak tahu, karena memang tidak tahu ada apa dengan Andra. Masalah penglihatan tentang kejadian di bangsal kamboja, mungkin membuat resah pria itu dan tidak mungkin hal ini aku ceritakan pada Suster Dian.
Menjelang sore, aku dibuat panik. Pasien di ranjang sembilan kritis, alat yang terhubung berbunyi. dokter aku dan suster Dian sibuk memberikan pertolongan sesuai prosedur. Sekilas aku melihat Andra sempat berdiri melihat ke arah kami berada tapi tidak melakukan apapun.
Tidak lama, pasien itu pun meninggal. Setelah dokter mengucapkan waktu kematian, Suster Dian menemui keluarga pasien akupun mengurus jenazah dengan melepas semua alat dan menutup dengan selimut.
Perlahan aku tutupi dari kaki terus ke atas sampai dada dan saat akan menutupi wajah, tiba-tiba kedua mata jenazah itu melotot aku pun berjengit kaget bahkan sempat memekik. Dokter yang menuliskan sesuatu di dokumen rekam medik pasien tidak jauh dari tempatku berada menghampiriku.
“Kamu kenapa?”
Aku memastikan lagi wajah jenazah itu sudah terpejam.
“Oh, nggak pa-pa.”
“Hm, kalau sudah segera hubungi kamar jenazah agar segera dibawa.”
“Baik dok.”
Saat ini aku berada di toilet dalam bangsal, hanya ada dua bilik dan satu wastafel. Saat menunduk mencuci tangan, Andra sudah berada di belakangku.
“Astagfirullah. Apaan sih ngagetin aja.”
“Lo hati-hati ya, kayaknya gue bakal di ICU sampe malam.”
“Andra, sebenarnya akan ada apa?”
“Nggak tahu, mungkin cuma perasaan gue doang,” ujar pria itu masih berdiri di belakangku menatap cermin merapikan rambutnya. “Nanti malam kalau udah beres, tungguin gue.”
“Ndra, pasien di ranjang sembilan meninggal.”
“Udah takdir, bukan karena ranjangnya,” sahut Andra kemudian menepuk bahuku dan pergi.
Bangsal kamboja semakin sibuk, dengan kedatangan tiga pasien baru dengan kondisi tidak sadar dan pasien kritis di ICU. Mungkin ini maksud Andra dia akan sibuk, kami menerima beberapa pasien salh satunya ditempatkan lagi di ranjang sembilan. Sesekali aku melihat sekelebatan sudah pasti itu bukan manusia, tapi aku abaikan. Berusaha kuat seperti nasehat Andra.
Jam sembilan malam, bangsal terasa sepi karena semua sibuk di area masing-masing terutama ICU. Hanya terdengar bunyi alat medis seakan bersahutan.
Srek.
Aku bergeming, tetap fokus mencatat kondisi pasien yang aku tangani karena sebentar lagi ganti shift.
Srek.
“Mbak.”
Deg.
Tidak mungkin rekan sejawat, karena tidak ada yang memanggilku Mbak melainkan langsung nama. Kecuali suster Dian, beliau senior dan kami memanggilnya Mbak. Lalu siapa yang memanggilku dengan sebutan Mbak.
Posisiku membelakangi ketiga ranjang wilayah kerjaku. Mungkinkah Ningrum? Perlahan aku menoleh ke arah ranjang tujuh di mana wanita itu berbaring. Benar saja, ada sosok Ningrum berdiri di samping tubuhnya yang masih terpejam. Sosok itu menatap ke arahku.
Aku berusaha tetap tenang meskipun seluruh tubuhku bergetar. Bibirku bergetar karena mengucap doa. Tunggu, Ningrum tidak menakutiku ataupun mengatakan keinginannya. Tangan Ningrum menunjuk ke arah lain. Dengan pelan aku menoleh ke arah yang Ningrum tunjuk.
“Astagfirullah,” ucapku melihat sosok berdiri di samping ranjang sembilan. Pasien itu baru masuk belum lama, tidak sadarkan diri dan terdengar tarikan nafas yang kuat seperti orang yang sesak.
Belum hilang rasa terkejut melihat sosok tinggi besar dan menyeramkan, aku kembali dibuat heran karena salah satu tangan sosok itu memegang leher si pasien. Mungkinkah itu yang membuat sulit bernafas?"
“Pergilah,” ujarku lirih pada makhluk yang masih mencengkram leher pasien di ranjang sembilan.
Namun, makhluk itu tidak bergeser sedikitpun. Ayat suci yang aku lantunkan untuk mengusir makhluk gaib hanya membuatnya menggeram dan menoleh ke arahku. Tatapan tajam yang menatapku tidak menghentikan tangannya yang masih mencengkram leher pasien itu.
Bunyi alat medis yang menandakan bahwa detak jantung pasien itu mulai menurun, membuatku terperanjat dan berteriak mendekat. Dokter dan Suster Dian pun ikut mengurus pasien yang sudah menunjukan tanda kematian. Kami masih berusaha menolong dan makhluk itu sudah melepaskan tangannya bahkan mulai menjauh.
“Amel, cukup,” ucap dokter karena aku terus mengucapkan prosedur CPR dan kejut jantung. “Kita sudah berusaha dan lakukan yang terbaik.”
“Tapi ….”
Nafasku terengah dengan kedua tangan tremor mendengar dokter mengucapkan waktu kematian. Respon tubuhku mengatakan kalau pasien itu meninggal bukan karena waktunya, tapi karena makhluk tadi.
“Amel, kendalikan dirimu. Bangsal sedang sibuk, urus pasien ini dan segera hubungi kamar jenazah.”
Aku sempat terdiam, tidak menyadari Andra sudah melakukan hal yang harus aku lakukan.
“Pergi ke wastafel dan cuci muka, sadarkan diri lo,” bisik Andra.
Aku masih bergeming.
“Amel, mau jalan sendiri atau ….”
Aku berbalik menuju wastafel. Langkahku terhenti melihat makhluk tadi berjalan ke arah pintu dan disampingnya ada arwah pasien tadi. Makhluk itu menyeret paksa arwah pasien yang baru saja meninggal.
Sungguh logikaku tidak bisa mencerna apa yang baru saja aku lihat. Mungkinkah makhluk itu malaikat pencabut nyawa atau hantu pencabut nyawa. Entahlah. Bangsal ini memang menyeramkan untukku yang bisa melihat ‘mereka’. Sebenarnya ada rahasia apa di bangsal ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Zuhril Witanto
bayanginya udah tremor
2024-04-27
0
Zuhril Witanto
kenapa arwahnya di bawa... apa ini pesugihan...atau ada yang lain
2024-04-27
0
Ev No
aduh andai aku jdi Amel pasti panik gmn cara nolongin tuh pasien dr makhluk lain itu
2024-04-01
0