Aku sudah berada di kantin depan, tidak jauh dari gerbang rumah sakit menunggu kedatangan Andra. Untuk bertanya banyak hal mengenai bangsal kamboja. Paling tidak aku bisa bandingkan cerita Marni dengan kesaksian dari orang yang bertugas langsung di tempat itu.
Entah Andra akan menganggap aku bagaimana, padahal kami baru bertemu dan aku mengiyakan ajakannya bertemu di kantin. Tatapan mataku tidak lepas dari Andra yang baru datang dan menuju counter minuman lalu memesan dan menghampiri meja di mana aku duduk.
“Mau tanya apa?” tanyanya.
“Bagaimana kalau kamu yang cerita duluan tentang bangsal ….”
“Kepanjangan, nggak cukup waktunya.”
Aku hanya berdecak mendengar penolakan Andra, dia sendiri yang mengajak bicara tapi menolak bercerita.
“Aku baru bertugas, sekitar empat bulanan. Ada yang bilang bangsal kamboja menyeramkan, bahkan ada beberapa mitos juga. Aku perlu tahu kebenaran cerita itu.”
“Kalau memang benar lo mau apa? Kalau salah lo bakal apa?”
“Ya nggak ngapa-ngapain, paling tidak aku bisa lebih hati-hati.”
“Mitos apa yang bikin lo penasaran? Ranjang angker atau sosok pasien koma? Atau suster ngesot?” cecar Andra kemudian terkekeh.
“Jadi bener cerita itu?”
“Nggaklah, mungkin ada yang mirip tapi di lebih-lebihkan. Namanya juga pesan berantai, selalu jadi lebih.”
Aku mencondongkan tubuh semakin dekat dengan meja.
“Kamu pernah mengalami kejadian menyeramkan di sana?” tanyaku lirih.
Andra belum menjawab karena es teh manis pesanannya datang. Setelah menyeruput sebagian, dia kembali menatap ke arahku.
“Mel, lo bakal tahu sendiri gimana bangsal kamboja karena gue tahu lo punya mata batin dan bisa lihat mereka yang tak kasat mata,” ujar Andra lirih.
Hahh, bagaimana Andra bisa tahu?
***
Dua hari kemarin menjalani shift pagi, tidak ada kejadian yang aneh-aneh. Yang aneh malah sikap Andra yang sering mengejek agar hati-hati saat shift malam meskipun mengatakan itu sambil tertawa. Pantas saja Andra tahu aku bisa melihat mereka yang tidak terlihat, ternyata dia memiliki indra ke enam.
Hari ini aku masih satu shift lagi dengan Andra. Jam dua siang kami sudah bersiap tugas dan akan berakhir jam sepuluh malam. Aku mendengarkan arahan suster Dian dan belum lama ada pasien meninggal dan baru saja dibawa turun ke kamar jenazah.
Kami berdoa agar tugas hari ini diberi kelancaran dan pasien yang ada kondisinya membaik, terselip juga doaku agar tidak ada interaksi dari makhluk tak kasat mata.
“Amel, ranjang sembilan bereskan ya.”
Aku pun bergegas mengkondisikan ranjang sembilan dan sempat menoleh ke arah Ningrum yang masih terpejam. Sarung tangan aku lepaskan, lalu menghampiri ranjang Ningrum. Aku menatap wajah Ningrum sambil mendekatkan wajahku dan ….
Pluk
“Aaa,” teriakku.
“Kenapa sih?” tanya Andra.
Aku bukan hanya terkejut karena tepukan Andra di bahuku, tapi barusan aku melihat Ningrum mengerjap.
“Dia … membuka matanya,” ujarku pada Andra yang langsung memeriksa kondisi Ningrum, mengecek alat vital dan memastikan peralatan medis yang terpasang berfungsi dengan baik.
“Yakin dia buka mata?”
Aku mengangguk lalu menggeleng pelan, tentu saja aku ragu apakah yang aku lihat tadi benar atau hanya perasaan saja. Terdengar suara mesin medis dari ruang ICU, aku dan Andra dipanggil suster Dian agar segera masuk ke ruangan membantu dokter memberikan pertolongan sesuai prosedur.
Andra menunjuk alat pacu jantung, aku bergegas mengambil dan mengoleskan gel lalu berikan pada dokter yang mencoba membuat pasien tetap hidup. Dua kali menggunakan alat pacu jantung, tapi detak jantung pasien itu tidak kembali. Dokter akhirnya menyebutkan waktu kematian.
“Andra, panggil keluarganya,” ujar dokter.
Peralatan dan kabel yang terpasang ke tubuh pasien itu aku lepaskan setelah menonaktifkan mesin agar tidak berbunyi, lalu mengkondisikan jenazah untuk dibawa.
“Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun,” ucapku pelan dan menarik selimut menutupi sampai wajah jenazah itu. Dia perempuan dan terlihat masih sangat muda, bahkan aku sempat menatap wajah itu
Hari ini terasa tidak nyaman, baru beberapa jam bertugas sudah ada tiga pasien yang meninggal dunia. Memang ketiganya dalam keadaan kritis, tetap saja ada perasaan sedih dalam hati.
Aku dan yang lain bergantian istirahat, kebetulan aku kebagian saat maghrib. Setelah menunaikan ibadah, aku sempat memakan bekal dan minum kopi untuk menghilangkan kantuk. Tugasku masih beberapa jam lagi, tentu saja butuh energi untuk melaluinya.
Ting
Pintu lift terbuka, aku melangkah keluar dari lift dan berjalan menuju pintu bangsal. Tanganku sudah berada di sensor untuk membuka pintu tapi urung menekannya karena me dengar suara tangis. Meskipun pelan dan lirih tapi masih terdengar jelas.
Aku sempat menoleh kiri dan kanan, tidak ada orang di sana. Bahkan keluarga penunggu pasien pun hanya ada dua orang, sepertinya sedang keluar membeli makan atau membersihkan diri. Aku pastikan lagi suara yang aku dengar beradal dari arah toilet perempuan.
“Halo,” ujarku ketika sudah berada di depan toilet.
Tidak ada jawaban, tapi masih terdengar suara tangisan bahkan lebih jelas. Aku membuka pintu toilet, di ujung bilik ada seseorang yang menghadap dinding sedang menangis sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
“Mbak, kenapa nangis?” tanyaku yang sudah berada di dalam toilet tapi tidak berani mendekat.
Perempuan itu tidak menjawab, masih dengan tangisannya.
"Mbak, apa ada keluaerganya di depan? Biar saya panggilkan," titahku.
Lagi-lagi sosok itu tidak menjawab.
"Mbak ...."
"Kenapa harus aku?"
"Maksudnya?" tanyaku setelah mendengar perempuan itu bicara.
"Kenapa harus aku yang mati."
Perempuan itu menghentikan tangisnya lalu perlahan menoleh ke belakang. Aku terbelalak menyadari sosok di hadapanku sangat mirip dengan jenazah yang meninggal di ruang ICU.
"Aku belum mau mati," ujar sosok itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Al Fatih
sama2 bisa melihat yg tak kasat mata
2024-04-16
0
Zuhril Witanto
aduh bikin tegang
2024-04-10
1
Zuhril Witanto
kayaknya Andra juga bisa liat hantu
2024-04-10
1