NGUNDUH MANTU

NGUNDUH MANTU

Pandu dan Sahabat

Pandu Mahendra terduduk dengan linglung dan napas memburu setelah beberapa menit yang lalu keluar dari dimensi tak kasat mata yang membawanya pada entitas gaib yang lebih seram dari penglihatan mata batinnya di dunia nyata.

Pandu Mahendra, seorang pemuda yang mendapatkan keistimewaan turun-temurun dari leluhurnya memandangi hutan pinus dengan perasaan tak karuan, separuh terpukau dengan kejadian yang menggetarkan jantungnya sebelum ia mengais-ngais semak-semak, mencari-cari ayahnya yang menuntutnya keluar dari peradaban yang nyaris merenggut nyawanya dengan mengikuti aroma khasnya. Aroma cendana dan bunga sedap malam.

...***...

Di jantung kota Yogyakarta. Sebelum keadaan tragis menimpa Pandu Mahendra dan memercikkan kesedihan kian pekat di rumah yang memiliki arsitektur rumah lawas bergaya Indis. Bunga sedap malam dan bunga setaman tak pernah luput sebagai buah tangan dari seorang pemuda saat mengunjungi makam ayahnya setelah acara Patang Puluh Dino wafatnya Kaysan Adiguna Pangarep usai.

Sudah 40 hari kepergian sang ayah merenggut seluruh kebahagiaannya. Namun manakala kedua aroma bunga yang harus berada dirumahnya setiap hari berbaur di udara dan terhirup olehnya. Terhempaslah tubuh Pandu ke atas batu nisan sang ayah yang terletak di taman pribadi keluarga. Setitik air mata muncul, jiwanya masih terguncang akan keadaan yang mengubah segala sesuatu yang tidak pernah ia inginkan

“Cah gede kok nangis, cengeng kamu, Ndu!” Laras, hantu pribumi yang sedang berkebaya putih untuk ikut mengenang ayah sahabatnya itu menendang punggung bawah Pandu.

“Bangun kamu! Ayo ambilkan aku apem dan sate di dalam rumahmu.”

Pandu tidak menangis lagi, dia menghapus air matanya lalu menatap Laras yang mati mengenaskan saat berusia sepuluh tahun.

“Nangis itu lumrah, gak perlu ngece aku cengeng! Gak ingat kamu waktu nangis-nangis minta tolong aku gara-gara di ganggu Kunti pohon jambu?”

Laras mendengus lalu tatapannya beralih ke nisan seseorang yang ia takuti. “Ayahmu masih di sini!”

“Hush!” Pandu nyaris menjewer bocah itu jika Laras tidak terbang dengan cepat. “Jangan ngomong ngawur kamu!”

Laras yang sembunyi di balik pohon sawo cekikikan, suaranya nyaring meski suara itu hanya Pandu dan orang-orang yang memiliki keistimewaan turun-temurun yang mendengarnya.

“Aku bercanda, Ndu. Sudah sana ambilkan apem dan sate. Aku lapar!”

Pandu memeluk lagi nisan ayahnya tanpa memperdengarkan ejekan sahabat gaibnya. Sejak kecil Laras sudah menemaninya berkeliaran di rumah itu hingga membuatnya aneh, di usianya yang sudah menginjak bangku universitas ia semakin aneh karena penjaga gaib sang ayah menjadi punggawanya.

Ki Pawiro yang mengunyah sirih pinang meludah ke tanah. “Lepas bapakmu, Le. Biarkan dia tenang. Ada kami yang setia menemanimu.”

Pandu mendengus lagi. Ditemenin yang tidak kelihatan itu sama saja bohong. Terlihat ramai baginya, tapi sepi bagi orang lain yang melihatnya. Sama aja to kelihatan ngenes apalagi yang menemani aneka bentuk dan rupa dengan keseluruhan yang membuatnya kian rumit.

“Aku itu baru kangen, biarin saja to aku begini.”

“Terserah kamu wes, tapi ibumu bakal tambah sedih kalo kamu seperti itu terus. Jalan-jalan sana atau bertapa biar kamu tenang dan kesedihanmu tidak terlihat ibumu. Kasian ibumu.” saran Ki Pawiro yang sudah pindah ke sisi Pandu dengan gerakan cepat.

“Bertapa?” Pandu menegakkan tubuh, lalu tercenung.

“Eyangmu dulu sering melakukannya untuk mencari ketenangan batin. Kamu bisa coba itu.” Ki Pawiro menekan kedua pundaknya untuk mentransfer keberanian dan ketabahan untuk Pandu.

“Bapakmu melepas kami untuk kamu biar ada yang jaga kamu, tapi yang bapakmu gak pernah bilang. Cakra—pusat-pusat energi dalam tubuh manusia—yang ada di tubuhmu sama sepertinya, kamu bocah kuat. Sudahi kesedihanmu dengan keikhlasan.”

Alih-alih merasa tenang, Pandu justru menangis kembali. Ki Pawiro adalah peninggalan ayahnya yang paling sabar dan penyayang, beda halnya dengan Ki Kusumo, dia galak, dan tukang marah. Tapi untung Ki Kusumo tidak ada di rumah, entah sepuh itu berdiam di mana sekarang karena Pandu cukup beruntung dia tidak kena marah setelah menangis.

“Cukup, segera persiapkan diri jika berkenan bertapa. Ki temani.”

Pandu menarik napas seraya pergi ke dalam rumah. Ia mengambil apem dan sate. “Ras, Laras. Sini.”

Bocah yang saban harinya hanya boleh berkeliaran di luar rumah itu menerobos tanaman hias dengan santai lalu mencicipi apem legendaris yang dari tahun ke tahun sejak kematiannya saat perang Hindia Belanda dan Jepang tidak berubah.

Laras langsung tersenyum dan berjingkrak-jingkrak. “Enak, Ndu. Mirip buatan ibuku.”

Pandu mengusap wajahnya seraya mengangguk. Memiliki mata batin yang dapat menebus beragam kondisi metafisik di luar akal manusia membuatnya lelah namun membuat hidupnya lebih bersyukur manakala keadaan masa silam lebih mencekam dari masanya sekarang.

“Aku mau pergi bertapa sekalian riset situs-situs peninggalan kerajaan singosari dan Majapahit di Jawa timur. Kamu jaga ibuku dari gangguan Om.” ucap Pandu setelah tercenung.

Laras menghentikan acara makannya meski makanan di meja itu masih utuh.

“Mbok aku ikut, sudah seratus tahun aku di sini terus. Aku mau jalan-jalan.”

“Bahaya.” Pandu menggelengkan kepala, “Itu bukan tempat bermain anak-anak! Nanti kamu di bawa ular naga.”

“Aku janji gak nakal, aku nurut kamu. Ki Pawiro juga ikut toh, dia bakal jaga aku.” bujuk Laras, sebab ia tidak bisa ke mana-mana jika tidak menempel pada seseorang.

Pandu menatap Genta, hantu tampan yang digandrungi oleh gerombolan Mbak Kunti, sahabatnya dari dimensi lain yang gentayangan karena di racun. Genta berdiri di bawah talang air, menatap Pandu.

Ada apa?

Aku tidak bisa bawa, Laras. Kamu minta Nyai Dasima menahannya.

Genta terlihat menarik napas. Nyai Dasima sayang sama bocah itu, pasti diperbolehkan asal Laras senang dan di jaga. Nyai pasti minta Ki Pawiro jaga!

Halah, ribet. Sudah kamu sekalian ikut saja! Jaga bocah ini!

Laras menatap pertikaian batin Pandu dan Genta yang saling melotot itu.

“Kalian pasti mikir aku? Sudah aku ndak usah ikut saja. Kalian pasti terus-terusan anggap aku anak kecil!” Laras merajuk dengan melipat seluruh wajahnya lalu berlari menembus tanaman hias dan bersembunyi di dalam gentong besar.

Pandu menghela napas dan mengembuskan napasnya. Sudah seperti adik sendiri meski lebih tua si Laras, dia menghampiri gentong besar yang menjadi penghias tanam. Dia melongok ke dalam gentong yang berisi genangan air.

“Kamu boleh ikut tapi ada syaratnya. Jadi pendiam dan nurut Genta. Ngerti?”

Seringai di bibir Laras mengembang lalu mengangguk antusias. “Nanti aku minta sangu Nyai Dasima. Sangu dongo.”

“Terserah kamu.” Pandu memutar mata seraya masuk ke rumahnya, mempersiapkan alat-alat pendakian gunung yang dia ambil dari kamar kakaknya secara diam-diam.

...***...

Terpopuler

Comments

App Putri Chinar

App Putri Chinar

maaf mba vii....hadirku telat banget nih.aq juga lagi bertapa kaya pandu🤭.

2024-02-17

1

Ais Syah

Ais Syah

aku datang kak viiiee😘😘😘😘

2024-02-15

0

Windy Veriyanti

Windy Veriyanti

wahh...baru bab 1 aja sudah sangat mempesona 😍
matur nuwun boleh menikmati karyamu, Mbak Author 🙏🌹

2024-01-12

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!