Pandu Mahendra terduduk dengan linglung dan napas memburu setelah beberapa menit yang lalu keluar dari dimensi tak kasat mata yang membawanya pada entitas gaib yang lebih seram dari penglihatan mata batinnya di dunia nyata.
Pandu Mahendra, seorang pemuda yang mendapatkan keistimewaan turun-temurun dari leluhurnya memandangi hutan pinus dengan perasaan tak karuan, separuh terpukau dengan kejadian yang menggetarkan jantungnya sebelum ia mengais-ngais semak-semak, mencari-cari ayahnya yang menuntutnya keluar dari peradaban yang nyaris merenggut nyawanya dengan mengikuti aroma khasnya. Aroma cendana dan bunga sedap malam.
...***...
Di jantung kota Yogyakarta. Sebelum keadaan tragis menimpa Pandu Mahendra dan memercikkan kesedihan kian pekat di rumah yang memiliki arsitektur rumah lawas bergaya Indis. Bunga sedap malam dan bunga setaman tak pernah luput sebagai buah tangan dari seorang pemuda saat mengunjungi makam ayahnya setelah acara Patang Puluh Dino wafatnya Kaysan Adiguna Pangarep usai.
Sudah 40 hari kepergian sang ayah merenggut seluruh kebahagiaannya. Namun manakala kedua aroma bunga yang harus berada dirumahnya setiap hari berbaur di udara dan terhirup olehnya. Terhempaslah tubuh Pandu ke atas batu nisan sang ayah yang terletak di taman pribadi keluarga. Setitik air mata muncul, jiwanya masih terguncang akan keadaan yang mengubah segala sesuatu yang tidak pernah ia inginkan
“Cah gede kok nangis, cengeng kamu, Ndu!” Laras, hantu pribumi yang sedang berkebaya putih untuk ikut mengenang ayah sahabatnya itu menendang punggung bawah Pandu.
“Bangun kamu! Ayo ambilkan aku apem dan sate di dalam rumahmu.”
Pandu tidak menangis lagi, dia menghapus air matanya lalu menatap Laras yang mati mengenaskan saat berusia sepuluh tahun.
“Nangis itu lumrah, gak perlu ngece aku cengeng! Gak ingat kamu waktu nangis-nangis minta tolong aku gara-gara di ganggu Kunti pohon jambu?”
Laras mendengus lalu tatapannya beralih ke nisan seseorang yang ia takuti. “Ayahmu masih di sini!”
“Hush!” Pandu nyaris menjewer bocah itu jika Laras tidak terbang dengan cepat. “Jangan ngomong ngawur kamu!”
Laras yang sembunyi di balik pohon sawo cekikikan, suaranya nyaring meski suara itu hanya Pandu dan orang-orang yang memiliki keistimewaan turun-temurun yang mendengarnya.
“Aku bercanda, Ndu. Sudah sana ambilkan apem dan sate. Aku lapar!”
Pandu memeluk lagi nisan ayahnya tanpa memperdengarkan ejekan sahabat gaibnya. Sejak kecil Laras sudah menemaninya berkeliaran di rumah itu hingga membuatnya aneh, di usianya yang sudah menginjak bangku universitas ia semakin aneh karena penjaga gaib sang ayah menjadi punggawanya.
Ki Pawiro yang mengunyah sirih pinang meludah ke tanah. “Lepas bapakmu, Le. Biarkan dia tenang. Ada kami yang setia menemanimu.”
Pandu mendengus lagi. Ditemenin yang tidak kelihatan itu sama saja bohong. Terlihat ramai baginya, tapi sepi bagi orang lain yang melihatnya. Sama aja to kelihatan ngenes apalagi yang menemani aneka bentuk dan rupa dengan keseluruhan yang membuatnya kian rumit.
“Aku itu baru kangen, biarin saja to aku begini.”
“Terserah kamu wes, tapi ibumu bakal tambah sedih kalo kamu seperti itu terus. Jalan-jalan sana atau bertapa biar kamu tenang dan kesedihanmu tidak terlihat ibumu. Kasian ibumu.” saran Ki Pawiro yang sudah pindah ke sisi Pandu dengan gerakan cepat.
“Bertapa?” Pandu menegakkan tubuh, lalu tercenung.
“Eyangmu dulu sering melakukannya untuk mencari ketenangan batin. Kamu bisa coba itu.” Ki Pawiro menekan kedua pundaknya untuk mentransfer keberanian dan ketabahan untuk Pandu.
“Bapakmu melepas kami untuk kamu biar ada yang jaga kamu, tapi yang bapakmu gak pernah bilang. Cakra—pusat-pusat energi dalam tubuh manusia—yang ada di tubuhmu sama sepertinya, kamu bocah kuat. Sudahi kesedihanmu dengan keikhlasan.”
Alih-alih merasa tenang, Pandu justru menangis kembali. Ki Pawiro adalah peninggalan ayahnya yang paling sabar dan penyayang, beda halnya dengan Ki Kusumo, dia galak, dan tukang marah. Tapi untung Ki Kusumo tidak ada di rumah, entah sepuh itu berdiam di mana sekarang karena Pandu cukup beruntung dia tidak kena marah setelah menangis.
“Cukup, segera persiapkan diri jika berkenan bertapa. Ki temani.”
Pandu menarik napas seraya pergi ke dalam rumah. Ia mengambil apem dan sate. “Ras, Laras. Sini.”
Bocah yang saban harinya hanya boleh berkeliaran di luar rumah itu menerobos tanaman hias dengan santai lalu mencicipi apem legendaris yang dari tahun ke tahun sejak kematiannya saat perang Hindia Belanda dan Jepang tidak berubah.
Laras langsung tersenyum dan berjingkrak-jingkrak. “Enak, Ndu. Mirip buatan ibuku.”
Pandu mengusap wajahnya seraya mengangguk. Memiliki mata batin yang dapat menebus beragam kondisi metafisik di luar akal manusia membuatnya lelah namun membuat hidupnya lebih bersyukur manakala keadaan masa silam lebih mencekam dari masanya sekarang.
“Aku mau pergi bertapa sekalian riset situs-situs peninggalan kerajaan singosari dan Majapahit di Jawa timur. Kamu jaga ibuku dari gangguan Om.” ucap Pandu setelah tercenung.
Laras menghentikan acara makannya meski makanan di meja itu masih utuh.
“Mbok aku ikut, sudah seratus tahun aku di sini terus. Aku mau jalan-jalan.”
“Bahaya.” Pandu menggelengkan kepala, “Itu bukan tempat bermain anak-anak! Nanti kamu di bawa ular naga.”
“Aku janji gak nakal, aku nurut kamu. Ki Pawiro juga ikut toh, dia bakal jaga aku.” bujuk Laras, sebab ia tidak bisa ke mana-mana jika tidak menempel pada seseorang.
Pandu menatap Genta, hantu tampan yang digandrungi oleh gerombolan Mbak Kunti, sahabatnya dari dimensi lain yang gentayangan karena di racun. Genta berdiri di bawah talang air, menatap Pandu.
Ada apa?
Aku tidak bisa bawa, Laras. Kamu minta Nyai Dasima menahannya.
Genta terlihat menarik napas. Nyai Dasima sayang sama bocah itu, pasti diperbolehkan asal Laras senang dan di jaga. Nyai pasti minta Ki Pawiro jaga!
Halah, ribet. Sudah kamu sekalian ikut saja! Jaga bocah ini!
Laras menatap pertikaian batin Pandu dan Genta yang saling melotot itu.
“Kalian pasti mikir aku? Sudah aku ndak usah ikut saja. Kalian pasti terus-terusan anggap aku anak kecil!” Laras merajuk dengan melipat seluruh wajahnya lalu berlari menembus tanaman hias dan bersembunyi di dalam gentong besar.
Pandu menghela napas dan mengembuskan napasnya. Sudah seperti adik sendiri meski lebih tua si Laras, dia menghampiri gentong besar yang menjadi penghias tanam. Dia melongok ke dalam gentong yang berisi genangan air.
“Kamu boleh ikut tapi ada syaratnya. Jadi pendiam dan nurut Genta. Ngerti?”
Seringai di bibir Laras mengembang lalu mengangguk antusias. “Nanti aku minta sangu Nyai Dasima. Sangu dongo.”
“Terserah kamu.” Pandu memutar mata seraya masuk ke rumahnya, mempersiapkan alat-alat pendakian gunung yang dia ambil dari kamar kakaknya secara diam-diam.
...***...
“Kamu yakin Ndu kita bakal naik tanpa persiapan fisik?” sebut Dhanu setelah menghentikan mobilnya di basecamp.
“Yakin, dari kemarin kita sudah membulatkan visi dan misi dan izin dosen untuk cuti seminggu. Jangan ragu, Nu. Fisik udah sering di uji dosen kemarin!” Pandu mendorong pintu dan tergesa-gesa membuka bagasi mobil saat kabut tebal tiba-tiba merayap ke permukaan tanah. Pandu mengeluarkan perbekalan pendakian mereka. Dua tas keril dan tracking pole. Pandu mengamati sekeliling dengan perasaan aneh. Tadi cerah, sekarang mendung, batinnya sambil menggendong tasnya.
Laras mencebikkan bibir pucatnya. “Nyai Dasima ngawur, Ndu. Doanya salah. Aku tidak seneng di sini! Harusnya Nyai Dasima larang aku ikut! Aku takut.” Laras kontan minta di gendong Genta.
Genta mendengus. Riweh. Gerutunya meski tetap menggendong hacil-hantu kecil itu.
Pandu dan Dhanu melakukan simaksi lalu beristirahat di pos, mereka memesan makan dan ngopi sebelum melakukan pemanasan fisik dan menyewa ojek demi memangkas waktu menuju pos satu.
Alih-alih ikut menempel dalam boncengan Pandu melintasi jalan landai kebun kopi dan hutan pinus yang masih jarang. Genta menggendong Laras sambil berlari tanpa memijak tanah sejajar dengan motor yang di tumpangi Pandu dan Dhanu. Sejenak Laras dapat merasakan kesenangan, namun kesenangannya itu sirna tatkala mereka telah sampai di pos satu. Laras menciut. Dia mengeratkan lengannya di leher Genta.
“Hati-hati mas. Sekarang malam Selasa Kliwon. Banyak yang ritual di atas!” sebut tukang ojek. “Saya harus langsung turun, banyak yang mau naik ini!”
Berbalut jaket tebal, kupluk dan sarung tangan, rahang Pandu langsung mengencang. Selasa Kliwon konon menjadi malam yang lebih angker dari malam Jumat Kliwon. Malam dengan julukan Anggara kasih sebagai puncak laku spiritual setelah puasa 40 hari.
Nyali Pandu langsung goyah akan hari dalam tanggalan Jawa itu meledakan kesadarannya. Pandu menggigil cemas karena malam itu pula konon menjadi hari dimana roh-roh penasaran bergentayangan. Spontan Pandu langsung menyadari suasana mistis yang lebih besar dari biasanya.
Ki Pawiro? Ki Pawiro! Panggil Pandu dalam hati.
Angin berhembus kencang. Pandu sontak menarik Dhanu agar mengikutinya berlutut menghindari hantaman badai yang tiba-tiba menggoyangkan seluruh batang-batang pepohonan.
“Kita mau gimana sekarang, Ndu?” tanya Dhanu cemas. “Lagi di pos satu kita, gak ada salahnya kita turun dulu sampai cuaca damai.”
“Kamu turun duluan, Nu. Aku tak ke situs tempat pertapaan Naga Hyang Antaboga. Pumpung ojek belum pergi!” Pandu menatap tukang ojek yang ikut menghentikan motornya saat badai menumbangkan keseimbangannya.
Dhanu menggeleng. “Aku tetap sama kamu, ngawur ini kalo kamu solo hiking. Bahaya, syaratnya tadi jumlah gak boleh ganjil!”
Karena itu aku ngajak kamu, Nu. Aku bawa kamu ke bahaya!
Kedatanganmu di sambut. Sahut Genta. Ki Pawiro pernah ngomong wetonmu Sabtu Kliwon, auramu memancing perhatian mereka.
Samar-samar Pandu mengangguk tapi itu malah mengisyaratkan jawaban untuk Dhanu.
“Jadi kamu tetap mau naik, Ndu?” Dhanu melihat sekeliling, badai sudah berkurang tapi rintik gerimis berusaha menebus rindangnya pepohonan.
“Tapi sumpah aku naik sendiri aja Nu kalo tau gini cuacanya, karena aku mau bertapa, aku mau cari ketenangan batin.” Pandu berusaha mencegah Dhanu terlibat dalam urusan alam lain.
Dhanu berpikir keras sambil menatap Pandu, tukang ojek, dan Pandu lagi. “Aku tetap sama kamu. Tapi Ndu ini kan hari Senin, kok dia ngomong ini malam Selasa Kliwon?”
“Tanggalan Jawa beda sama nasional, sore-sore gini udah ganti hari kalo tanggalan Jawa.”
“Terus kenapa sama Selasa Kliwon?” tanya Dhanu heran sambil berdiri. Dari bawah terdengar suara motor, pertanda seseorang yang akan datang.
Pandu menatap sekeliling, melakukan pertimbangan yang matang. “Selasa Kliwon temannya Jumat Kliwon, cuma lebih senior.”
“Maksudmu lebih angker?” seru Dhanu dengan wajah tercekat.
Iya, Ngger. Baru paham dia, cah kuto. Jawab Laras.
Pandu terpaksa terbatuk kecil untuk meredam keinginannya tertawa. “Sudah gak usah mikir aneh-aneh selagi kita niatnya cuma riset situs-situs bersejarah. Kita naik ke situs pertama.”
Pandu dan Dhanu merapalkan doa bersama sebelum melangkah dan langkah mereka terhenti ketika seseorang berteriak kenceng sambil berlarian ke arahnya.
“Kowe rasah munggah!” ( Kamu tidak usah naik! ) ucap Mbah Mangku sambil membeliakkan mata. “Kowe lan kanca-kancamu dadi inceran!” ( Kamu dan teman-temanmu jadi incaran! )
“Inceran sopo, Mbah?” ( Incaran siapa, Mbah? ) sahut Dhanu resah.
Pandu mengerjapkan mata lalu menghalangi Dhanu agar tidak mengulik lebih banyak.
“Kulo sampun ngertos, Mbah. Nyuwun sewu, niat kulo sampun genep.” ( Saya sudah tahu, Mbah. Tapi maaf, niat saya sudah genap. )
Mbah Mangku menghela napas. Tergopoh-gopoh sudah ia mengikuti jejak Pandu setelah badai dan kabut datang secara tiba-tiba seolah pertanda marabahaya. “Ini peringatan terakhir dari saya, Pandu Mahendra! Kamu bawa pulang-pulang teman-temanmu.”
Mbah Mangku menatap Laras dan Genta yang bersembunyi di belakang Pandu. Tapi
Pandu menatap Dhanu lalu mendorongnya ke Mbah Mangku.
“Kamu pulang, bilang sama ibuku aku bertapa. Jangan tanya kenapa-kenapa sekarang!”
“Tapi, Ndu...”
Mbah Mangku menyeretnya ke atas motor. “Kamu selamatkan nyawamu, dia sudah di temani teman-temannya.”
Sambil bertanya-tanya siapa teman Pandu, Dhanu menoleh ke belakang sambil memegangi pundak tukang ojek yang sudah menggeber motornya menjauh dari Pandu.
“Bapak itu siapa mas?”
“Kuncen!”
Dhanu merinding seketika. Sementara itu
Pandu memberi hormat setelah diizinkan naik dengan syarat. Membawa tongkat dan dilarang bermalam di alas lali jiwo atau pasar setan. Pandu setuju. Bersama Laras dan Genta ia justru bertanya-tanya dimana Ki Pawiro sekarang.
“Paling-paling Ki Pawiro menipumu, Ndu. Dia tidak jaga kita!”
Pandu terus bergerak sebelum gelap semakin pekat. Jantungnya semakin berdebar ketika suara alam dan hewan-hewan beradu dalam kabut yang membuatnya harus berhati-hati dalam melangkah.
Tiba di situs yang ia maksud, Pandu menapaki jalan konblok ke arah mulut goa yang di sebagian tempatnya diletakkan beberapa sesaji. Gegas ia memfoto mulut gua di tengah semerbak aroma dupa sebelum melanjutkan perjalanan dengan napas yang kian sesak.
Memasuki alas nggombes, hutan yang masih sangat lembab. Laras berhenti seraya nemplok ke badan Genta ketika sekelebat bayangan hitam berpindah-pindah dari pohon ke pohon tapi lain halnya Pandu, dia justru mengibaskan ampak-ampak yang mengurangi jarak pandang sambil bergerak seolah tertarik pada suatu entitas yang bergerak menyerupai ayahnya.
Pandu terjerembab ke tanah, tapi penglihatannya yang menyelami kehadiran siluet sang ayahanda kembali menguatkannya. “Yanda, Ayahanda.” teriaknya.
Genta berusaha mencegahnya, tapi seolah tidak mendengar dan enggan merespon peringatannya. Pandu terus berlari mengejarnya keluar dari rute pendakian.
“Itu bukan bapakmu, Ndu!” teriak Genta bertepatan dengan Pandu yang terus kesetanan berlari tanpa henti sebelum ia berhenti ketika siluet itu berubah menjadi sesosok entitas tinggi besar dengan tangan menjuntai ke tanah.
...***...
Pandu merangkak mundur dengan badan yang tetap menghadap sosok tinggi besar dengan tangan menjuntai ke tanah itu sampai membentur batang pohon. Pekikan rasa sakit terlontar dari mulutnya. Badan-badannya pun yang terluka tak ia hiraukan, Pandu justru terpukau pada entitas yang menatapnya dengan mata kosong.
Doppelganger model apa ini, Gusti. Kenapa dia niru ayahanda. Sekujur tubuhnya merinding. Mereka tahu aku merindukan ayahanda, kok bisa?
Genta menurunkan Laras, Laras kocar-kacir mencari persembunyian dan ia menemukan batu besar yang menjadi tempat pemujaan. Ada dupa dan sesajen di sana. Laras meringkuk di tanah.
Nyai Dasima. Ibu. Laras takut.
Sayup-sayup suara cekikikan terdengar melengking dari atas pohon. Takut-takut Laras mendongak, wajah berdarah wanita berambut panjang dengan gaun putih kusut terpampang di depannya.
Laras menjerit, cepat-cepat ia merangkak mundur ia ke arah Pandu. “Kuntilanak itu mau culik aku, Ndu. Dia jahat!”
Laras bersembunyi di dalam tas keril. Tapi sembunyi pun tak ada gunanya, tiga energi yang memancar dari tamu itu telah memancing entitas dasar mendekat, mengintip dari balik pohon, melongok dari atas dahan pohon atau terang-terangan melihat siapa mahluk istimewa yang datang di malam Selasa Kliwon itu seperti mahluk hitam besar yang mulai mengendus energi Pandu.
Genta berdiri di depan Pandu, menghalau energi sang tuan.
“LARI!” teriak Genta sebelum tangan sosok itu melibas mereka dalam satu kibasan tangan. “Kamu tutup mata batinmu, Ndu!” seru Genta.
Pandu terseok-seok berlari ke sembarang arah dengan membawa tas keril dan menggendong si Laras, beban di jalan menanjak itu membuatnya ngos-ngosan dan lututnya melemah. Langkah Pandu pun kian surut, dia tertatih-tatih menapaki jalan setapak di bawah kegelapan sambil mencari cerih-cerih pertolongan.
Pandu menarik napas tipis-tipis sambil menoleh ke belakang. Sosok besar itu menghilang, tergantikan dengan sosok-sosok kuntilanak yang berterbangan dari celah-celah dahan pohon. Mereka mengincar Laras yang bisa mereka anggap sebagai anak!
“Aku sudah keluar jalur terlalu jauh dan aku tidak bisa menutup mata batinku. Aku bisa kehilangan kalian!”
Pandu menarik botol mineralnya dari kantong tas lalu merapalkan doa, Pandu menyemburkan air itu ke arah mereka yang bergantian terbang rendah untuk menculik Laras.
Beberapa kuntilanak terbakar sambil menjerit keras, mengeluarkan aroma sangit seperti rambut yang terbakar, beberapa lagi kabur dengan seringai lebar. Gigi-gigi merah kehitaman dan runcingnya membuat Laras ngeri.
Nyai Dasima sering makan sirih pinang tapi giginya tidak seperti itu!
Laras mengurai pelukannya dari kaki Pandu setelah kondisi sekeliling perlahan tenang.
Laras duduk termangu sementara Genta mewaspadai sesuatu yang lebih tenang dan berwibawa tapi sanggup membuat keberaniannya surut. Genta berlutut, ia percaya dari zaman dahulu mereka-mereka yang melakukan moksa masih menjaga tempat-tempat sakral yang tersebar di sana. Konon, sejarah mengatakan gunung itu berasal dari nama tokoh pewayangan dari Kerajaan Hastinapura, Arjuna. Anak Raja Pandu yang melakukan tapa brata di gunung itu.
Pandu mengamati gerak-geriknya hingga membuatnya ikut was-was.
“Ada apa, Gen?”
Dalam hitungan sepersekian detik. Pandu ambruk seketika tanpa menurunkan tas keril sesaat setelah kabut mengepungnya. Staminanya berkurang drastis, seluruh pakaian yang dikenakan basah kuyup oleh keringat. Pandu memandangi sekeliling dengan dada yang kembang-kempis. Vegetasi pohon lebih besar dan lebih rapat hingga menutupi langit dari matanya.
Di atas semak-semak dan lumut tumbuh dengan subur. Sayup-sayup suara gamelan mengikuti gerak sang bangsawan yang menggunakan pakaian kebesaran raja bermahkota emas seperti yang sering Pandu lihat. Pandu memejamkan mata dalam keadaan nyaris pingsan sambil tersenyum.
Yanda...
Genta dan Laras cepat-cepat memberi hormat tanpa berani menatap sesosok bangsawan dari entitas asing yang membawa rombongan prajurit. Pakaian mereka terlihat seperti film-film kolosal kerajaan Jawa di Nusantara zaman dulu.
Tanpa ada suara atau nada perintah, Pandu nyaris tidak punya kuasa melawan para prajurit yang menodongkan tombak dan menyuruhnya bangkit untuk mengikuti mereka setelah memberikan sumber mata air suci dari sendang Dewi Kunti-pos dua.
Tertatih-tatih Pandu mengikutinya dengan pandangan nanar tanpa bantuan pencahayaan, headlamp-nya jatuh entah di mana. Pandu menapaki jalan setapak seakan tak memperdulikan dengan apa yang ia pijak dan ia lewati. Pandu pun melupakan wejangan dari Mbah Mangku. Dengan tanpa tongkat yang Mbah berikan, hitungannya menjadi ganjil. Pandu menyalahi aturan pendakian.
Pandu melewati undakan yang memiliki dua arca dwarapala di bagian depannya. Sebuah patung yang biasanya menjaga pintu gerbang sebuah tempat keramat. Napasnya kembang-kempis namun tenaganya seakan tidak terkuras mengikuti sang entitas ke sebuah alas yang di tumbuhi semak-semak dan pohon cantigi.
Pandu tergeletak tak sadarkan diri setelah suara gamelan berakhir. Laras dan Genta pun terlihat sama, meski entitas itu kehilangan energi dan ketakutan, mereka sanggup memahami yang terjadi di sana.
Banyak bangunan rumah semi permanen dengan atap rumbia yang mengepulkan asap pembakaran kayu di dapur. Ada peristiwa jual-beli, tapi yang membuat Genta bergidik. Ada sebuah pernikahan tanpa pengantin pria!
Genta mendadak menatap orang-orang yang memahami kehadirannya, Genta menarik tangan Laras. Hacil itu merepotkan, serius. Agaknya Nyai Dasima, nenek yang saban harinya berkebaya dan mengunyah sirih pinang mencegah Laras ikut. Dirinya terlalu imut dalam bentuk wajar hingga menyita perhatian.
“Pandu di bawa ke sini untuk menjadi tamu pernikahan?” tukas Genta.
Gelengan kepala Laras membuat Genta merespon ke arah yang di tuju hacil itu.
“Ki Pawiro di sana! Tangannya di ikat!” urai Laras.
Dengan pertimbangan entitas yang mati muda, Genta tidak yakin sepuh itu jadi tahanan dunia yang tidak lagi sama. Mereka berada di sebuah pemukiman lain yang keberadaannya tak kasat mata. Karena di sana, di sana, dan di sana terlihat tenda-tenda pendaki lain yang nampak sepi. Tidak ada yang terganggu dengan apa yang ia lihat sekarang seolah hal itu terpisahkan oleh kabut.
Ki Pawiro mendekat diikuti prajurit tadi yang melepasnya setelah incaran berhasil di undang ke dimensi itu. Tatapannya tertuju pada bocah yang salah kaprah mengenai sarannya. “Harusnya Pandu tidak naik malam Selasa Kliwon!”
“Memangnya kenapa, Ki?” sahut Genta. “Pandu lupa dengan tanggalan Jawa, dia hanya mengikuti cuti hari libur kampusnya.” jelasnya sebelum terjadi salah paham.
“Saya mengerti!” Ki Pawiro menatap ke arah pernikahan yang tergolong mewah untuk entitas asing itu.
“Pandu mendatangi acara ngunduh mantu sebagai pengantin pria! Pengantin yang ditunggu-tunggu mereka karena keistimewaan bocah ini. Sekarang hanya satu yang bisa meloloskan dirinya dari sini! Dhanu dan keluarganya.”
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!