Meredanya negosiasi tanpa hasil itu membuat Pandu dan Nanang perlu mengulang kembali acara santai-santai tanpa memperdulikan keberadaan Dewi Laya Bajramaya di sana.
Pandu menghidupkan rokok yang ia minta dari Nanang seraya menyilangkan kakinya. Punggungnya bersandar di kursi, membuatnya nampak seperti pengangguran berkelas.
Pandu menyesap rokoknya lalu menelengkan kepala. “Keluarlah dari sini, Dewi. Ras... Main di luar.”
Laras menggotong bokor emas berisi buah-buahan sebelum keluar dari ruangan besar yang memiliki jendela yang terbuat dari pahatan kayu hingga membentuk sebuah karya yang artistik dan klasik.
Dewi Laya Bajramaya memberi sembah. “Kakang hanya sebentar saja?”
“Ya kalo ngantuk tinggal tidur, gak usah nunggu!” balas Pandu dengan suara dingin. “Aku butuh waktu dengan om ku, kamu tau maksudku. Sebagai wanita cantik dan enggan merugi, daripada dianggurin lebih baik tidur saja!”
Dewi Laya Bajramaya menilai gelagat Pandu dan Nanang. Dua pria yang memiliki ketampanan yang nyaris sama dan menggilai satu wanita yang sama. Rinjani.
“Aku menunggu di depan pintu.” pungkas Dewi Laya Bajramaya setelah beranjak. “Pandu jangan tidur malam-malam, apalagi berusaha kabur. Aku bisa mengerahkan seluruh demit-demit dasaran untuk mencegahmu pergi!”
“Iyo-iyo-iyo cah ayu.” ucap Pandu dengan malas, sudah mumet parah dia mengurusi sikap jahat dan bucin Dewi Laya Bajramaya itu.
“Aku sudah nyuruh baik-baik kamu tidur dari pada jadi satpam. Tapi terserah kamu. Sekarang keluar!” bentak Pandu.
Dewi Laya Bajramaya memutar tubuhnya yang dengan cepat. Lalu berjalan dengan sikap angkuh. Ketika ia keluar, pintu tertutup dengan sendirinya.
Di depan pintu Dewi Laya Bajramaya langsung mengambil sikap sempurna seperti bertapa. Tangan kanannya berada di atas telapak tangan kiri, jemarinya membentuk ngithing. Ia memejamkan mata, berkonsentrasi pada sesuatu.
Pandu menyesap rokoknya seraya memutar mata ketika omnya tersenyum geli.
“Sudah tidur kamu sama dia?” celetuk Nanang.
Pandu tak tahu kenapa harus itu yang di bahas, tapi dia tahu pasti itu yang di pikir omnya bahkan Dhanu untuk pertama kalinya setelah mendengar ia menikah.
“Tidak akan. Hanya saja tidur sekamar!”
Nanang menghidupkan rokoknya, dengan tenang di mengamati perubahan ekspresi Pandu. Lalu pintu. Nanang menunjuknya lalu mengangguk. Memberi jawaban atas sorot mata Pandu.
“Dia tidak pernah bercanda dengan ucapannya.”
Pandu tersenyum miring. Meremehkan Dewi Laya Bajramaya sama saja bunuh diri. “Dia rela menjadi selir, sementara mungkin istriku nanti tidak ingin memiliki madu dalam rumah tangga. Apalagi madunya bidadari.” keluhnya dengan nada kecut.
Nanang membuang asap rokoknya dari mulut. Sudah lama ia tidak merokok. Mungkin sekarang dia sama stresnya seperti Pandu dan Rinjani. Namun detik berikutnya ia tergelak, jauh-jauh ke kahyangan yang di bahas masih sama.
“Tidak ada jaminan akurat, kamu tidak bisa keluar dari sini, Ndu. Itu pesanku sebelum kamu memutuskan hal lain.”
Pandu lebih memilih memusatkan perhatiannya pada keingintahuannya yang baru saja membuatnya terkaget-kaget daripada memikirkan Dewi Laya Bajramaya.
Nanang merangkak, dia mendekati telinga Pandu, membisikan kata-kata. “Turunkan harga dirimu sebentar saja dengan membuatnya senang. Di bawah kabut tebal tidak kunjung hilang dan hujan. Itu menyulitkan tim SAR dan warga melakukan pencarian. Aku bersama ibumu, Dhanu, Jalu dan mbakmu.”
“Bunda.” Pandu mecucu. Sedih. Dia menggilas rokoknya seketika di bokor leter. “Bundaku pasti sedih banget ya?” tanyanya pelan. “Bundaku pasti nggak mau makan.”
“Aku sudah berjanji membawamu pulang. Berjanjilah jangan ceroboh.” saran Nanang sebelum duduk kembali ke tempatnya semula.
Pandu menghela napas panjang. “Apa yang Yanda tutupi dariku, Om? Kenapa Yanda melepas nyai? Kapan? Kenapa aku tidak tahu apa-apa?”
Nanang sudah menduga Pandu akan mempertanyakan hal itu.
Nanang menyesap rokoknya begitu dalam sampai sesak di dadanya semakin membakar kesedihan. Nanang menghela napasnya.
“Ayahmu melepas pamong sejatinya setelah diagnosis ditetapkan padanya. Ibumu tidak tahu jika bapakmu tidak hanya bergelut dengan penyakitnya, tapi juga kecemburuan nyai.”
“Dia kan cuma pendamping spiritual Yanda. Kenapa sampai cemburu? Aku tahu Yanda tidak aneh-aneh, Yanda memberitahu semua padaku. Wong Yanda juga tidak melakukan pesugihan atau semacamnya. Itu ngawur, semua penerus kita terdahulu paham itu ngawur. Mereka cuma ngobrol-ngobrol spiritualitas ( Spiritualitas adalah konsep yang luas dengan berbagai dimensi dan perspektif yang ditandai adanya perasaan keterikatan ’koneksitas’ kepada sesuatu yang lebih besar dari diri kita, yang disertai dengan usaha pencarian makna dalam hidup atau dapat dijelaskan sebagai pengalaman yang bersifat universal dan menyentuh) kayak aku dulu. Kenapa sampai nyai cemburu Yanda lepas! Itu menyalahi perjanjian mereka? Harusnya kan legowo, udah nggak ada tanggungan.”
Nanang tersenyum maklum. Tidak mudah rupanya menjelaskan sesuatu yang tidak nampak. Tapi ia harus meluruskannya sekalian, sekalian biar rampung beban yang dia pikul.
“Begini. Bisa saja nyai selendang hijau itu jatuh cinta pada ayahmu karena keistimewaan yang dimilikinya. Jagat raya ini luas sekali, Ndu. Ada lapisan-lapisan yang sulit kita mengerti tapi ada. Lapisan-lapisan yang tak kasat mata pun ada. Dan kamu salah satu dari mereka yang istimewa sejatinya juga lumayan paham apa maksudku.” Nanang mengusap kepala keponakannya yang dia kagumi sejak lahir.
“Nyai murka karena dibuang ayahmu setelah perjalanan panjang yang mereka lewati bersama, bahasa manusianya dia kecewa. Itu salah satu alasan kenapa ayahmu memberikan ibumu padaku sebagai pengikat perlindungan. Dengan begitu ibumu tidak bisa menjalin hubungan dengan pria lain karena itu bisa memutus benang merah di keluarga kita. Ibumu dalam bahaya waktu itu!”
“Jancok.” gumam Pandu seketika. “Bahaya gimana?”
“Penyerangan secara tak kasat mata!”
Asem!
Nanang menarik napas lalu menghembuskan. Mungkin sudah saatnya membuka rahasia ayahnya. Nanang membetulkan posisi duduknya. Menghadap Pandu lebih baik.
“Ayahmu menghentikan pengobatannya agar lebih cepat untuk mengakhiri perjanjian seumur hidup dengan pamong sejatinya. Ayahmu mengorbankan dirinya dan perasaannya kepada ibumu untuk menyudahi hal-hal yang selama ini mengalir dalam keluarga kita. Ayahmu sudah menghentikan ikatan itu, Ndu. Semua sudah berhenti di ayahmu. Dan selama ayahmu bertarung melawan rasa sakitnya, ayahmu juga menghadapi kemurkaan pamongnya secara batiniah. Ayahmu sudah habis-habisan, Le. Tidak mungkin kamu membentuk aliansi baru.”
Seluruh mata Pandu mendadak menghangat dan berair. Nanang mendengus, melihat Pandu menangis, seperti melihat ibunya. Tangisannya lama, menyebalkan.
“Sudah, lanangan kok nangis.” ejek Nanang.
Pandu mengusap kedua air matanya dan menatap Nanang dengan sorot mata dalam.
“Ibuku mengira om menerima wasiat itu karena ada cinta sejati di antara kalian dan membuat ibu merasa bersalah kepada Yanda karena cinta kalian menyakitinya! Selama ini ibuku salah paham? Iya? Dan om tidak memberikan penjelasan ini padanya jauh-jauh hari sebelum mereka bertengkar?”
“Aku menyayangi ibumu, Ndu.” ucap Nanang tanpa sedikitpun tertekan dengan tatapan keponakannya.
”Jadi om tidak setia pada Bulik Sakila?” tukas Pandu dengan tatapan sama.
“Aku bisa mencintai dua wanita sekaligus dalam hidupku, Ndu!” Nanang mengangkat kedua tangannya setelah menghela napas. “Aku tidak lebih buruk dari kakakmu atau ayahmu, aku mencintai ibumu dan bulikmu. Aku bajingan yang bersembunyi di balik topeng kebaikan hati.”
Pandu memeluk omnya secepat yang ia bisa. “Aku ngerti.”
Pandu melepaskan pelukannya setelah Nanang menepuk-nepuk punggungnya.
“Ibumu terlalu polos untuk mengerti kasus ayahmu. Ibumu terlalu realistis. Aku tidak mungkin membahas persoalan itu pada ibumu saat itu, ibumu marah dan kecewa, dia pasti tidak peduli dengan penjelasanku karena yang dia tahu, mas Kaysan tidak mengikuti keinginannya dan membohonginya.”
Pandu mengambil sebatang rokok dan menghidupkannya. Beberapa saat keadaan hening seolah keduanya larut dalam keadaan ngenes.
Nanang berdehem. “Kakakmu tidak tahu soal tadi. Itu rahasia besar ayahmu karena dia tidak mau anak-anaknya menanggung beban lagi dan karena itu sepenuhnya tanggung jawab ayahmu turun ke aku. Ayahmu lebih suka merepotkanku dari dulu!”
“Maaf ya.” jawab Pandu dengan enteng.
Nanang menyunggingkan senyum lalu mengambil rokok terakhir yang dia miliki.
“Untuk kasusmu mending kita tidur dulu, Ndu. Ngantuk banget aku, kurang kopi.”
Pandu jelas mendesis jengkel. Tidak mau tidur sekarang
“Tidur dulu itu artinya aku harus balik ke kamar, kalo ngeyel tidur di luar kamar, prajuritnya si Dewi gotong royong buat bawa aku ke sana. Malesi.”
Nanang memijat keningnya. “Turuti saja dulu, buat dia senang. Biar gampang rescue-nya!”
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
App Putri Chinar
tenang le Ndu....turuti omongan om oyen
2024-02-18
0
App Putri Chinar
jujur Yo om
2024-02-18
0
App Putri Chinar
abot tenan jebule dadi mas kaysan.
2024-02-18
0