Pagi belum lama berjalan. Embun masih melepak di dedaunan. Lereng gunung masih basah dan berkabut. Dalam suasana pagi yang dingin sekali untuk kaum perkotaan, sepuluh kerabat Mbah Mangku dan lima tim SAR berkumpul di rumahnya.
Mbah Mangku menjelaskan kronologinya secara metafisik dan realita termasuk siapa orang spesial yang berdiri berjejeran di belakangnya.
Dua propoganda langsung menjadi agenda diskusi para relawan yang rata-rata menggunakan jaket tebal, kupluk dan sarung sebagian penghangat tubuh.
Secara kondisi alam yang terlihat sehabis hujan adalah tanah berlumpur dan licin di sepanjang trek pendakian. Kondisi mental dan fisik yang tidak siap akan menjadi boomerang bagi sang pendaki. Nanang spontan menatap dua wanita dan anaknya.
“Kalian tidak perlu ikut!” tandasnya dalam sekali jadi.
“Aku pasti ikut!” sahut Dalilah berapi-api. “Aku mau Pandu pulang, Om. Biar Ibunda saja yang di pos!”
Nada keras kepala dan tuntutan itu menyadarkan Rinjani bahwa fisiknya tidak sekuat dulu, terlebih mentalnya. Bumi gonjang-ganjing berada di sana.
Sebagai leader dan seseorang yang menggantikan posisi almarhum, Pangarep ** itu menyaksikan kekecewaan di wajah janda kakaknya.
“Kamu nyusul setelah kondisinya lebih baik. Kita camp di pos mangkutoromo. Lebih dekat dengan lereng.”
“Bawa Pandu pulang.” Hanya itu yang Rinjani katakan sebelum mendekap Jalu Aji.
Walau takdir tidak pasti, Nanang memutuskan mengiyakan seraya berdoa dalam dekapannya.
Jalu Aji mendongak seraya mendorong pelan perut bapaknya agar menjauh dari Rinjani.
“Sudah to, Pak! Jangan dekat-dekat budhe! Bapak cari saja mas Pandu!”
...***...
Langit tanpa matahari semakin gelap bersamaan dengan datangnya waktu malam. Lebatnya hutan kian terlihat mencekam sebab cahaya hanya berasal dari sebilah obor dan lampu teplok. Kuda-kuda bergerak melewati gapura menuju ke dalam puri. Di atas punggung kuda-kuda terdapat keranjang-keranjang besar yang tertutup rapat.
Kuda-kuda meringkik, sedikit berjingkat ke atas ketika kusir menarik tali kekang dan para pelayan di istana terakota Dewi Laya Bajramaya berhamburan keluar.
Di samping batu tempat Dewi Laya Bajramaya duduk bersila seperti seorang pertapa, Pandu mengamati para pelayan pria cepat-cepat menurunkan keranjang-keranjang besar dari atas kuda seraya membawanya ke dalam ruangan besar secepat mereka menurunkan keranjang-keranjang.
Dewi Laya Bajramaya menoleh kepadanya. “Pandu.” panggilnya dengan suara manja. Dewi Laya Bajramaya sudah mengumpulkan energi baru dengan menggoda beberapa manusia bumi demi mengembalikan kekuatannya.
Dewi Laya Bajramaya meraih tangannya ketika Pandu justru tertarik pada kegiatan entitas di ruangan besar itu. Rasa penasaran Pandu melejit, sepintas apakah ia bisa mengeksplorasi berbagai keadaan di dalam dimensi lain sebagai bahan pengetahuan dan sejarah metafisik?
Secuil hatinya merasa edan, menolak mentah-mentah, terang-terangan memprotesnya, tapi selalu ada maksud di setiap masalah bukan?
Pandu menyingkirkan tangan Dewi Laya Bajramaya dengan hati-hati.
“Jangan pegang-pegang toh, aku risi.” keluhnya dengan wajah masam.
Dewi Laya Bajramaya menarik selendang yang saban hari ia kenakan lalu mengalungkannya di leher Pandu sebelum menariknya ke arah ruangan besar yang menjadi tempat penyimpanan logistik dan perang.
Pandu yang ingin nyawanya tetap selamat mendengus berulangkali sambil mengutuk tingkah Dewi Laya Bajramaya yang memperlakukannya seolah kambing!
Pandu menyingkirkan selendangnya buru-buru. “Bisa tidak berperikemanusiaan sedikit saja? Ngaku-ngaku jadi bojo kok tidak sopan!” omelnya dengan senewen.
“Di mana Laras dan Genta?”
Dewi Laya Bajramaya mengenakan lagi selendangnya yang selembut sutra. “Saya hanya memperlakukanmu agar tidak risi.”
“Oalah Gusti... Terserah, luweh.” Pandu mengomel seraya mencabut sebilah obor. “Aku ingin bertemu dengan Ki Pawiro. Bawa aku ke sana!” tuntutnya dengan suara tegas.
“Tunggu dulu, swamiku.” Dewi Laya Bajramaya menghadapnya. Mencegah tatapan Pandu ke arah Laras dan Genta yang memanggil-manggil namanya di sebelah ruangan besar, di kurungan.
Dewi Laya Bajramaya berdiri tegak, lekukan tubuhnya yang nampak sempurna di bawah cahaya obor membuat Pandu membuang napasnya melalui mulut.
“Kau mungkin ditaksir para dewa atau para raksasa dengan kecantikanmu ini.” tukasnya dengan berani.
Dewi Laya Bajramaya mencibirnya dengan lucu. Bibir ranumnya menguncup, terlihat manis seperti nira pohon lontar. Ah! Manis sekali sampai lidah Pandu kelu memberikan tanggapan.
“Saya tunduk kepada para dewa dan tidak bisa bersama para raksasa, saya takut. Saya beraninya sama kamu, Pandu.”
Pandu tergelak, dalam hatinya yang jahat, dia ingin sekali dia membakar Dewi Laya Bajramaya dengan obor di tangannya, tapi segenap jiwanya yang baik hati sulit melakukannya.
Dewi Laya Bajramaya menyeringai. Tatapannya sekilas pindah ke obor yang menerangi mereka berdua. Ah, jika mereka sepasang kekasih yang dimabuk asmara, keadaan itu terasa romantis. Sayangnya Pandu slalu gatal mengeluarkan tabiatnya yang menyebalkan. Pandu mundur, takut jadi jahat.
Dewi Laya Bajramaya mendesah sambil membetulkan selendang yang tersampir di pundak kirinya sejenak. Sulit sekali menculik hatinya. Sombong sekali.
Pandu menjentikkan jarinya di depan wajah Dewi Laya Bajramaya. “Hello Dewi... Kesambet demit lho kamu melamun seperti itu.”
“Ah, suamiku.” Dewi Laya Bajramaya memanggil seorang cethi-pembantu wanita-untuk membawakan obor agar Pandu tidak membahayakan posisinya.
“Saya bawa ke kurungan, Pawiro benar-benar membelot darimu!”
Pandu jelas tidak ingin percaya sebelum dia benar-benar bertemu dengan Ki Pawiro yang belum lama menjadi pamongnya. Dia berjalan di samping Dewi Laya Bajramaya yang menggenggam kedua tangannya di depan dada. Dari ruangan besar ke arah kurungan yang berada di bangunan belakang puri suasana semakin lengang dan gelap.
“Keluarkan Pawiro, aku tidak sudi masuk ke sana!” ucap Dewi Laya Bajramaya di depan bibir kurungan yang berbau pengap dan gelap gulita.
“Kalo begitu biarkan aku saja yang masuk, kamu gak usah. Kamu cari energi saja sana. Keluargaku pasti sudah datang toh sampai kamu perlu kerja keras kemarin.” celetuknya tiba-tiba. Terdengar meledek.
Dewi Laya Bajramaya langsung melepas selendang dan mengikat Pandu di tubuhnya. Pandu jelas terkaget-kaget dengan reaksi gila Dewi itu. Tubuh mereka berhadapan, berdempetan. Pandu menarik kepalanya mundur. Napasnya sesak, sang Dewi rupanya justru menyebar amarahnya dengan memeluknya erat-erat.
“Tidak akan ke mana-mana. Tidak akan ada yang datang!” ucapnya dengan amarah kesal.
Tangan Pandu membeku di tempatnya, rasanya sangat-sangat kurang ajar sikap Laya Bajramaya itu. Dia meragukan kesetiaan Dhanu dan keluarganya, dia meragukan sikap pantang menyerah dalam mendapatkan sesuatu yang mengalir dalam darah keluarganya. Dewi Laya Bajramaya tidak mengenal seutuhnya keluarganya!
Pandu menatap cethi yang menunggunya tanpa berani menatapnya.
“Panggilkan Ki Pawiro. Ini perintah!” katanya tegas.
Cethi membungkukkan badannya seraya meraih kunci tembaga dari prajurit penjaga yang berdiam diri di mulut kurungan.
Dewi Laya Bajramaya menatap Pandu, tersuruk dalam keresahan. “Aku sayang kamu, Pandu.”
“Mengapa harus begitu?” tanyanya nyaris seperti wartawan diburu target.
“Itu ketetapan hatiku, kakang!” Dewi Laya Bajramaya merebahkan kepalanya di dadanya. Kepala Pandu berdenyut pusing manakala Ki Pawiro juga mendatanginya dengan wajah menyesal.
...** ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
App Putri Chinar
Ki Prawiro beneran membelot kah????
2024-02-18
0
App Putri Chinar
hahahahahahaha....demit iso kesambet demit to Ndu🤭
2024-02-18
0
App Putri Chinar
hahahaaha.... bapakmu itu emang menggunakan kesempatan og
2024-02-18
0