Ajaran Sesat

“Pegang tangannya boleh, Ndu. Boleh sekali, tidak apa-apa kalau hanya gandengan.” saran Nanang dengan raut wajah yang berusaha dia maksimalkan terlihat biasa saja. Padahal di dalam sana dia sungguh ingin tertawa melihat paniknya muka Pandu setelah semalam tidur bersama istri bidadarinya.

“Terus kalo gandengan toktil itu gak bikin kenapa-kenapa toh? Gak terus dia kepikiran minta macem-macem? Aku ngeri banget tidur sama dia om. Parah, ayu banget. Napasnya halus banget, gak ngorok, bibirnya mingkem. Beda banget sama bunda kalo tidur. Ngiler. ” Pandu berdecak kagum tapi dengan muka kecut.

“Apes banget kok. Aku bersama kurang ajar tidur sama cewek. Ayolah om tukar posisi. Dewi Laya Bajramaya pasti lebih seneng di puja-puji duda. Pinter merayu lagi. Apalagi dia sepertinya proaktif dalam urusan cinta-cintaan.”

Hii... Nanang meringis dalam hati seraya memandangi rutinitas pagi di luar kediaman Dewi Laya Bajramaya dari atas dahan pohon maja yang hidup subur di dalam lingkungan istana terakota itu. Seperti rutinitas sehari-hari pada umumnya di bumi, Nanang mengakui rasanya dia kembali ke sebuah keadaan di masa kecilnya. Dokar masih banyak berseliweran, kereta kencana silih berganti berlalu lalang dengan suara kuda yang meringkik. Ah Nanang bisa tersenyum bahagia sesaat sebelum menggelengkan kepala.

“Jatahku itu ibumu. Bukan Dewi, dia dipilih untukmu.”

“Tapi aku tidak mau, aku mau pulang!” Pandu menarik buah maja yang tidak jauh dari jangkauannya seraya melemparnya ke arah Genta yang duduk di pagar batu-bata merah. Mereka tidak bisa kabur, bosan juga di dalam rumah yang semua aktivitas diawasi prajurit sang Dewi.

Genta menekuk wajahnya. Buah maja itu menghantam tulang belikatnya seraya menggelinding ke tanah di luar pagar dan menubruk kaki seorang perempuan berwajah datar yang kini menatap Genta dengan ekspresi penasaran.

Genta tersenyum kecil lalu memalingkan wajahnya. Wajahnya tersipu-sipu.

Nanang meringis dengan tingkah hantu itu yang saban harinya merayu untuk di berikan sebatang rokok dan kopi hitam pahit di emperan rumahnya.

“Enak di sini, Gen. Kamu bisa selayaknya entitas lainnya. Bisa berbaur tanpa menakut-nakuti orang.”

Genta memicingkan mata sambil terdiam beberapa saat. Paham maksud Nanang.

“Aku cuma main kok, nanti juga ikut pulang, tapi urus dulu Dewi itu, Ndu. Dia pantang menyerah sampai rela menunggumu main di pohon.”

Pandu mengedarkan pandangannya ke bawah pohon, di dekat kolam air mancur. Dewi Laya Bajramaya bersama dayang-dayangnya sedang bercengkerama dengan tawa renyah yang mengiringi pembicaraan mereka.

Pandu memalingkan wajahnya ketika mata Dewi Laya Bajramaya menghujamnya.

“Aku itu sebenarnya bertanya-tanya apakah dia itu betul-betul menginginkan aku atau ada misi terselubung? Yakin lho aku om, kalau hanya cakra dia bisa menyedotnya langsung. Aku ngerti itu, dia dendam apa ya sama Yanda, dulu sudah di tolak.”

“Kamu turun, tanya langsung ke Dewi! Dia jawaban dari semua kebingunganmu.” pungkas Nanang.

Pandu menatap Nanang, wajahnya keruh, tapi dia tidak berani membantah permintaannya.

Dengan hati-hati Pandu menuruni pohon maja, di bawah dia sudah di sambut pengawalnya. Mata-mata Dewi Laya Bajramaya yang kerjaannya hanya diam tapi mengamatinya dengan serius.

Pandu menegakkan tubuhnya, berusaha menegaskan kewibawaannya dengan meniru gaya ayahnya saat berjalan. Tidak peduli dengan nyamuk lewat atau gajah terbang sekalipun, pandangan lurus pada sesuatu yang dia tuju. Tapi Pandu tidak bisa sekeren itu, dia memberi secuil senyum samar kala seluruh dayang yang mengelilingi Dewi Laya Bajramaya menyingkir, memberi jalan untuknya.

Pandu mengulurkan tangannya. Dewi Laya Bajramaya yang duduk dengan kaki tertekuk ke samping mengernyit.

“Apa maksudmu, kakang?” tanyanya dengan senyum tertinggal di sudut bibirnya.

“Bangun, jalan-jalan gitu ke mana. Aku pingin lihat-lihat duniamu sambil tanya-tanya.”

“Tanya-tanya apa?” Dewi Laya Bajramaya menyentuh tangan Pandu dengan perhitungan yang pas, lembut dan hati-hati.

Pandu memandangi tangannya yang resmi menggandeng tangan bidadarinya. Tangan halus yang seolah tidak akan pernah sanggup melukai hati seseorang apalagi membunuhnya. Sebuah tangan dengan jemari lentik dan bersih dari entitas yang kadangkala ingin dia anggap tidak ada di muka bumi ini.

Pandu menghela napas, anggap aja gandengan sama Mbak Lilah. Low pleasure. Dan lebih menyegainya.

“Masih banyak yang kamu sembunyikan dariku?” Pandu bertanya.

Dewi Laya Bajramaya membiarkan selendangnya terbawa angin. Pandu memandang para dayang berlomba-lomba memastikan selendang tuannya tidak jatuh ke tanah. Meriah. Para dayang tertawa-tawa setelah mendapatkannya.

“Dewi Laya kebingungan. Tidak bisa menolak kakang Pandu.” seloroh salah satu dayang.

Pandu lantas mengalihkan perhatiannya. Wajah Dewi Laya Bajramaya tambah cantik dengan pipi yang merona.

“Jangan mikir yang tidak-tidak. Tolong. Ini cuma gandengan tangan, Dewi.”

“Kamu ada kemajuan. Aku senang.”

“Kamu memangnya tidak merasa aku berubah apa?”

Dewi Laya Bajramaya menghentikan langkahnya. Mereka sedang menuju sebuah kereta kencana dengan empat kuda yang akan menariknya di pelataran.

“Aku bisa menggodamu dengan licik, Pandu. Tapi aku lebih suka kamu yang maju.”

“Bukan itu jawabannya!” Pandu mendesis, tangannya berkeringat, ingin melepasnya. Tapi sekonyong-konyong Dewi Laya Bajramaya enggan menerima permintaannya.

“Aku lebih pintar dari kamu, Nanang juga tidak sehebat aku.” katanya lembut meski nada jumawa terasa pekat.

“Aku hanya melaksanakan tugasku, Pandu. Aku ingin kamu tahu hal itu. Terima aku sebagai hadiahmu atau kamu melewati banyak tantangan berujung maut!” Dewi Laya Bajramaya mendekat. Mata beningnya menyelami sorot mata Pandu.

“Aku malu kepada para Dewata, Pandu. Seorang Dewi Laya Bajramaya di tolak bocah mentah sepertimu. Malu aku. Kecantikanku tiada guna dan kesaktianku semakin cela gara-gara kamu!”

Pandu memutar matanya. Di mana-mana cewek slalu benar! Di rumah Mbak Lilah dan ibu, sekarang Dewi ini. Apa cowok itu tempatnya salah terus? Seperti Yanda?

Pandu berusaha tidak keberatan saat Dewi Laya Bajramaya mendaratkan kepalanya di dadanya.

Nanang dan Genta nyengir di atas pohon seolah kemesraan Pandu sama seperti lelucon hari Senin.

Pandu menghela napas. Tubuhnya kaku. “Makanya ayo kita cerita-cerita sambil jalan-jalan, jangan buat aku seperti tahanan asmara lain dunia. Coba buat aku tidak sebal karena hal ini, Dewi. Dia buat asik aja begitu kalo bisa.”

Dewi Laya Bajramaya mengurai tangannya dari pinggang Pandu.

“Aku ingin sekali melakukannya, Pandu. Tapi jika nanti kamu jatuh cinta padaku bagaimana? Kamu mau membawaku ke bumi? Kamu mau memadu kasih denganku?”

“Belum apa-apa mintanya itu, kok kamu gak paham-paham sih aku gak suka cewek genit. Aku sukanya seperti Aisyah, jual mahal. Cuek-cuek gemesin tapi perhatian!”

“Halah, Aisyah lagi, Aisyah lagi. Pandu bikin sakit hati.” Dewi Laya Bajramaya melaju dengan wajah sebal.

Pintu kereta kencana terbuka, ketika ia sudah duduk manis di dalamnya, Dewi Laya Bajramaya menarik Pandu dengan energinya hingga pemuda itu tidak sempat meminta pertolongan apalagi menggunakan kakinya sebagai rem.

Kereta kencana bergerak tanpa seorang kusir yang mengendalikannya. Semua Dewi Laya Bajramaya yang mengatur termasuk seberapa jauh Pandu duduk di sampingnya. Satu jengkal. Marahan.

...***...

Terpopuler

Comments

Lusi Ratnasari

Lusi Ratnasari

𝘥𝘶𝘩𝘩 𝘢𝘬𝘶 𝘬𝘰𝘲 𝘬𝘦𝘵𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢𝘭𝘢𝘯 𝘤𝘦𝘳𝘪𝘵𝘢 𝘪𝘯𝘪..𝘬𝘱𝘯 𝘰𝘮 𝘯𝘢𝘯𝘢𝘯𝘨 𝘫𝘥 𝘥𝘶𝘥𝘢 𝘺𝘢?🤭 𝘥𝘪 𝘫𝘶𝘥𝘶𝘭 𝘺𝘨 𝘮𝘢𝘯𝘢? 𝘵𝘭𝘰𝘯𝘨 𝘺𝘨 𝘵𝘢𝘸 𝘣𝘢𝘯𝘵𝘶 𝘫𝘢𝘸𝘢𝘣

2024-11-06

0

App Putri Chinar

App Putri Chinar

sopo gen.....naksir yo

2024-02-18

0

App Putri Chinar

App Putri Chinar

hahahahaha ..ngono toh om

2024-02-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!