Dalam kereta kencana yang melaju mengikuti perintah Dewi Laya Bajramaya, Pandu menatap pemandangan luar dari jendela kereta yang hanya sebesar kertas A4. Pandu mengerjapkan mata, setapak jalur pendakian terlintas di samping kereta kencana.
Tiada pendaki yang dia temui sepanjang jalur meski tadi di seputar pos Jawa Dwipa nampak beberapa tenda yang berdiri di hantam badai dengan para pendaki yang memakai jas hujan dan mengepak barang-barang mereka ke dalam tas keril.
Pandu memalingkan wajahnya pada Dewi Laya Bajramaya yang tidak berbicara sejak mengungkapkan kekesalan hatinya karena Aisyah.
“Dewi...” Pandu memanggilnya dengan suara sayu. “Dewi.” ulangnya sekali lagi ketika bibir ranumnya menguncup dan matanya melengos. Dewi Laya Bajramaya memunggunginya.
Pandu masih memiliki perasaan yang sedingin puncak kala musim kemarau padanya. Namun melihatnya begitu Pandu menyesal sudah membahas Aisyah.
“Aku minta maaf.” Pandu menyentuh punggung tangannya dengan hati-hati seraya menggenggamnya.
“Aku gak maksud bikin kamu ngambek. Aku cuma terlalu jujur dan anggaplah itu memang kebaikanku hingga Dewata memberiku hadiah. Kamu hadiahnya.”
Lama tak terdengar suara Dewi Laya Bajramaya hingga membuat Pandu semakin terlatih merayu meski kondisinya terasa panas dan gelisah.
“Aku mau tahu setelah malam selasa kliwon itu terjadi apa di sini? Apa ada pendaki yang meninggal dan para peziarah yang gagal berkunjung di situs-situs sejarah? Jawab Dewi, katakan!”
Dewi Laya Bajramaya memutar kepalanya, memandang Pandu dengan ekspresi datar.
“Aku hanya menculikmu dan mengambil energi-energi yang terlepas dari para pendatang yang berada di sini. Ada pun yang mati karena kondisi mereka sendiri bukan karena diriku dan entitas lain!” ucap Dewi Laya Bajramaya dengan tegas.
“Slalu saja yang mati di gunung menyalakan dedemit, tapi tidak serta-merta memahami kesalahan-kesalahan apa yang dilakukan para pendaki sebelum naik gunung!”
Buset... kok malah jadi mrembet ke mana-mana.
Pandu menarik napas dan mengangguk-anggukkan kepala. “Terus menurutmu para pendaki yang hilang itu karena kesalahan mereka sendiri? Aku sempat mendengar kabar jika ada pendaki yang di sesatkan hanya karena menolong temannya yang hendak celaka ke dalam jurang.”
“Itu bukan urusan kita!” bentak Dewi Laya Bajramaya.
“Iya, jangan marah-marah terus toh. Aku jadi takut sama kamu.” keluh Pandu dengan wajah yang terlipat. “Ayo buat ini jadi lebih baik.”
“Tidak!” sambar Dewi Laya Bajramaya lebih cepat dari petir.
“Ooo... Yowes marahan aja lebih bagus. Jadi aku gak perlu baik-baik sama kamu, kalau perlu kamu ceraikan aku! Gampang toh, gak usah ribet.” Pandu melepas tangannya dan memunggunginya.
Dewi Laya Bajramaya langsung menghentikan kereta kudanya, pintu otomatis terbuka, dengan kesal ia mendorong Pandu keluar dari keretanya.
Sekonyong-konyong Pandu yang terkejut jatuh ke semak-semak dari ketinggian tiga meter. Pandu mengerang kesakitan sambil mencengkeram dedaunan.
“Semprul. Marah kok mainnya fisik, mending sini adu mulut sama aku!” tantang Pandu.
Dewi Laya Bajramaya langsung menghempaskan tubuhnya di atas Pandu Mahendra yang telentang. Pandu tersentak karena dadanya menahan berat badan bidadari itu.
“Adu mulut seperti apa yang kamu inginkan, Pandu?” tantangnya balik.
“Cekcok, ribut!”
“Kenapa tidak adu mulut yang seperti ini?” Bibir Dewi Laya Bajramaya mencium bibir Pandu kemudian sambil memejamkan mata. Sentuhannya yang maknyess membuat Pandu ternganga kemudian. Sayang untuk diakhir.
“Itu sudah seperti adu mulut bukan? Mulut yang beradu?” Dewi Laya Bajramaya tersenyum.
Pandu memegangi bibirnya yang tipis dan tidak lagi perjaka. Lalu menyingkirkan Dewi Laya Bajramaya seolah perempuan itu adalah saingannya dalam adi gulat semak-semak.
Pandu memegangi bibirnya lalu menuding bibir istrinya. “Kok gitu toh, aku gak mengizinkan kamu cium-cium aku yoo. Aku gak siap. Kalo ibuku sampai tahu gimana, habis aku!”
Dewi Laya Bajramaya mengamati Pandu yang melengos pergi meninggalkannya. Sementara suaminya itu meninggalkannya, mengikuti jalan setapak jalur pendakian dalam entitas gaib. Dewi Laya Bajramaya menyentuh bibirnya. Perasaan bahagia berbaur dengan sensasi geli.
“Begitu ya rasanya. Pandu, aku sudah tidak marah dengan permintaanmu. Kita tidak bisa bercerai karena kamu tidak mengakui pernikahan kita. Kamu harus mengakui dulu kita sudah menikah baru bisa bercerai.”
Pandu dapat mendengarnya seolah Dewi Laya Bajramaya sangat dekat dengannya meski dia sudah berjalan jauh bahkan berlari darinya.
Pandu memandangi kedua lututnya sambil mengatur napas. Beberapa jenak yang tenang lenyap ketika suara berisik dari semak-semak dan balik pohon-pohon tua berlari mendekat ke arahnya.
Pandu menoleh ke belakang, pocong-pocong setinggi pohon dengan kain putih kusut dan jelek melayang menatapnya dengan penasaran.
Pandu bergidik ngeri sambil melangkahkan kakinya yang teramat sigap memijak tanah yang tertutup dedaunan kering dan lembap. “Biasanya gak gitu setinggi itu, Ibu...”
Terbirit-birit Pandu melompati beberapa semak-semak dan terguling ke jurang sedalam lima meter ketika kakinya tidak menapak tanah dengan baik dan tidak mengetahui kondisi wilayahnya.
“Asu!” Tubuh Pandu menghantam bebatuan. Beberapa kulitnya tergores hingga menimbulkan sayatan berdarah.
Pandu menarik tubuhnya ke dinding jurang yang menitihkan air sesampainya gerombolan pocong-pocong itu berdiri di atasnya dengan muka cemas.
“Jangan sampai meludah! Amit-amit. Jangan sampai. Dewi, Dewi...” teriak Pandu. Suaranya tenggelam dalam hembusan angin yang menggoyang kain mori si pocong.
“Wi, Dewi... Tolong!”
Satu pocong membungkukkan badannya, wajahnya hitam terbakar, matanya merah menyala, air liur di bibirnya keluar seperti nanah. Konon jika terkena bisa membusuk kulit yang terkena.
Pandu menahan napas sewaktu wajah pocong itu mendekat, mengeluarkan aroma anyir dan amis yang menjijikkan hingga Pandu tak kuasa menyemburkan isi perutnya.
Beuhhhh... Pocong itu langsung menjulang kembali di antara dahan-dahan pohon dengan wajah yang semakin buruk rupa.
Pandu pun membuang sisa muntahannya ke tanah.
“Habis di cium Dewi Laya Bajramaya malah apes! Semprul.”
Pandu memegangi sikunya yang terluka seraya berusaha pergi dari jurang sebelum pocong-pocong yang sedang berdiskusi entah apa sadar ia telah pergi.
Pandu meniti bebatuan dengan setiti, lukanya tidak cukup parah tapi serangan dari entitas itu menyurutkan energinya. Pandu tidak bisa bersembunyi, yang ia bisa hanyalah kembali berlari sekencang mungkin ketika suara-suara raungan dadi para dedemit menggema.
Bak melakukan sebuah balapan tanpa rival, Pandu berusaha kembali pada Dewi Laya Bajramaya sebagai koentji perlindungannya.
“DEWI LAYA BAJRAMAYA!” panggilnya dengan putus asa. “Jangan menghukumku seperti ini. Tolong, aku masih mau pulang ke pangkuan ibuku!” seru Pandu sambil berputar, pocong-pocong mengelilinginya, berputar, berlawanan dengan arah Pandu.
Yang di panggil datang bersama kereta kencana yang menabrak salah satu pocong hingga membuat entitas itu menabrak pohon dengan keras.
Dewi Laya Bajramaya mengulurkan selendangnya dari pinggir kereta dengan posisi berdiri. Menarik Pandu agar segera masuk ke dalam kereta kencana.
“Kamu di luar wilayahku!”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
App Putri Chinar
laahh....koq Karo pocong we Wedi Ndu,kan bolomu
2024-02-18
0
App Putri Chinar
wadidaw.....
2024-02-18
0
Ida Miswanti
Sang Dewi bathi akeh🤗
2023-12-19
0