Pandu merangkak mundur dengan badan yang tetap menghadap sosok tinggi besar dengan tangan menjuntai ke tanah itu sampai membentur batang pohon. Pekikan rasa sakit terlontar dari mulutnya. Badan-badannya pun yang terluka tak ia hiraukan, Pandu justru terpukau pada entitas yang menatapnya dengan mata kosong.
Doppelganger model apa ini, Gusti. Kenapa dia niru ayahanda. Sekujur tubuhnya merinding. Mereka tahu aku merindukan ayahanda, kok bisa?
Genta menurunkan Laras, Laras kocar-kacir mencari persembunyian dan ia menemukan batu besar yang menjadi tempat pemujaan. Ada dupa dan sesajen di sana. Laras meringkuk di tanah.
Nyai Dasima. Ibu. Laras takut.
Sayup-sayup suara cekikikan terdengar melengking dari atas pohon. Takut-takut Laras mendongak, wajah berdarah wanita berambut panjang dengan gaun putih kusut terpampang di depannya.
Laras menjerit, cepat-cepat ia merangkak mundur ia ke arah Pandu. “Kuntilanak itu mau culik aku, Ndu. Dia jahat!”
Laras bersembunyi di dalam tas keril. Tapi sembunyi pun tak ada gunanya, tiga energi yang memancar dari tamu itu telah memancing entitas dasar mendekat, mengintip dari balik pohon, melongok dari atas dahan pohon atau terang-terangan melihat siapa mahluk istimewa yang datang di malam Selasa Kliwon itu seperti mahluk hitam besar yang mulai mengendus energi Pandu.
Genta berdiri di depan Pandu, menghalau energi sang tuan.
“LARI!” teriak Genta sebelum tangan sosok itu melibas mereka dalam satu kibasan tangan. “Kamu tutup mata batinmu, Ndu!” seru Genta.
Pandu terseok-seok berlari ke sembarang arah dengan membawa tas keril dan menggendong si Laras, beban di jalan menanjak itu membuatnya ngos-ngosan dan lututnya melemah. Langkah Pandu pun kian surut, dia tertatih-tatih menapaki jalan setapak di bawah kegelapan sambil mencari cerih-cerih pertolongan.
Pandu menarik napas tipis-tipis sambil menoleh ke belakang. Sosok besar itu menghilang, tergantikan dengan sosok-sosok kuntilanak yang berterbangan dari celah-celah dahan pohon. Mereka mengincar Laras yang bisa mereka anggap sebagai anak!
“Aku sudah keluar jalur terlalu jauh dan aku tidak bisa menutup mata batinku. Aku bisa kehilangan kalian!”
Pandu menarik botol mineralnya dari kantong tas lalu merapalkan doa, Pandu menyemburkan air itu ke arah mereka yang bergantian terbang rendah untuk menculik Laras.
Beberapa kuntilanak terbakar sambil menjerit keras, mengeluarkan aroma sangit seperti rambut yang terbakar, beberapa lagi kabur dengan seringai lebar. Gigi-gigi merah kehitaman dan runcingnya membuat Laras ngeri.
Nyai Dasima sering makan sirih pinang tapi giginya tidak seperti itu!
Laras mengurai pelukannya dari kaki Pandu setelah kondisi sekeliling perlahan tenang.
Laras duduk termangu sementara Genta mewaspadai sesuatu yang lebih tenang dan berwibawa tapi sanggup membuat keberaniannya surut. Genta berlutut, ia percaya dari zaman dahulu mereka-mereka yang melakukan moksa masih menjaga tempat-tempat sakral yang tersebar di sana. Konon, sejarah mengatakan gunung itu berasal dari nama tokoh pewayangan dari Kerajaan Hastinapura, Arjuna. Anak Raja Pandu yang melakukan tapa brata di gunung itu.
Pandu mengamati gerak-geriknya hingga membuatnya ikut was-was.
“Ada apa, Gen?”
Dalam hitungan sepersekian detik. Pandu ambruk seketika tanpa menurunkan tas keril sesaat setelah kabut mengepungnya. Staminanya berkurang drastis, seluruh pakaian yang dikenakan basah kuyup oleh keringat. Pandu memandangi sekeliling dengan dada yang kembang-kempis. Vegetasi pohon lebih besar dan lebih rapat hingga menutupi langit dari matanya.
Di atas semak-semak dan lumut tumbuh dengan subur. Sayup-sayup suara gamelan mengikuti gerak sang bangsawan yang menggunakan pakaian kebesaran raja bermahkota emas seperti yang sering Pandu lihat. Pandu memejamkan mata dalam keadaan nyaris pingsan sambil tersenyum.
Yanda...
Genta dan Laras cepat-cepat memberi hormat tanpa berani menatap sesosok bangsawan dari entitas asing yang membawa rombongan prajurit. Pakaian mereka terlihat seperti film-film kolosal kerajaan Jawa di Nusantara zaman dulu.
Tanpa ada suara atau nada perintah, Pandu nyaris tidak punya kuasa melawan para prajurit yang menodongkan tombak dan menyuruhnya bangkit untuk mengikuti mereka setelah memberikan sumber mata air suci dari sendang Dewi Kunti-pos dua.
Tertatih-tatih Pandu mengikutinya dengan pandangan nanar tanpa bantuan pencahayaan, headlamp-nya jatuh entah di mana. Pandu menapaki jalan setapak seakan tak memperdulikan dengan apa yang ia pijak dan ia lewati. Pandu pun melupakan wejangan dari Mbah Mangku. Dengan tanpa tongkat yang Mbah berikan, hitungannya menjadi ganjil. Pandu menyalahi aturan pendakian.
Pandu melewati undakan yang memiliki dua arca dwarapala di bagian depannya. Sebuah patung yang biasanya menjaga pintu gerbang sebuah tempat keramat. Napasnya kembang-kempis namun tenaganya seakan tidak terkuras mengikuti sang entitas ke sebuah alas yang di tumbuhi semak-semak dan pohon cantigi.
Pandu tergeletak tak sadarkan diri setelah suara gamelan berakhir. Laras dan Genta pun terlihat sama, meski entitas itu kehilangan energi dan ketakutan, mereka sanggup memahami yang terjadi di sana.
Banyak bangunan rumah semi permanen dengan atap rumbia yang mengepulkan asap pembakaran kayu di dapur. Ada peristiwa jual-beli, tapi yang membuat Genta bergidik. Ada sebuah pernikahan tanpa pengantin pria!
Genta mendadak menatap orang-orang yang memahami kehadirannya, Genta menarik tangan Laras. Hacil itu merepotkan, serius. Agaknya Nyai Dasima, nenek yang saban harinya berkebaya dan mengunyah sirih pinang mencegah Laras ikut. Dirinya terlalu imut dalam bentuk wajar hingga menyita perhatian.
“Pandu di bawa ke sini untuk menjadi tamu pernikahan?” tukas Genta.
Gelengan kepala Laras membuat Genta merespon ke arah yang di tuju hacil itu.
“Ki Pawiro di sana! Tangannya di ikat!” urai Laras.
Dengan pertimbangan entitas yang mati muda, Genta tidak yakin sepuh itu jadi tahanan dunia yang tidak lagi sama. Mereka berada di sebuah pemukiman lain yang keberadaannya tak kasat mata. Karena di sana, di sana, dan di sana terlihat tenda-tenda pendaki lain yang nampak sepi. Tidak ada yang terganggu dengan apa yang ia lihat sekarang seolah hal itu terpisahkan oleh kabut.
Ki Pawiro mendekat diikuti prajurit tadi yang melepasnya setelah incaran berhasil di undang ke dimensi itu. Tatapannya tertuju pada bocah yang salah kaprah mengenai sarannya. “Harusnya Pandu tidak naik malam Selasa Kliwon!”
“Memangnya kenapa, Ki?” sahut Genta. “Pandu lupa dengan tanggalan Jawa, dia hanya mengikuti cuti hari libur kampusnya.” jelasnya sebelum terjadi salah paham.
“Saya mengerti!” Ki Pawiro menatap ke arah pernikahan yang tergolong mewah untuk entitas asing itu.
“Pandu mendatangi acara ngunduh mantu sebagai pengantin pria! Pengantin yang ditunggu-tunggu mereka karena keistimewaan bocah ini. Sekarang hanya satu yang bisa meloloskan dirinya dari sini! Dhanu dan keluarganya.”
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
may
Lupa nyai dasima ini yg mana
2024-10-20
0
App Putri Chinar
ayo Danu....balik lagi ke atas,tolongin ndu
2024-02-17
0
App Putri Chinar
waduuuhhh....jangan² ndu mau dijadiin pengantin nya
2024-02-17
0