Terluka di bagian tengkuk lehernya oleh tajamnya keris pusaka kebanggaan Nanang, tubuh harimau yang kembali menjadi wujud manusia itu terkapar tak berdaya di atas semak-semak setelah meraung kesakitan.
Nanang menarik udara sebanyak mungkin ke paru-parunya saat merebahkan tubuhnya di batang pohon tua. Kelelahan yang menderanya luar biasa membakar seluruh energinya menjadi keringat yang membasahi sekujur tubuh. Detak jantungnya berdetak sekencang mungkin. Nanang menyentuh dadanya sambil menebus rindangnya pepohonan untuk menatap langit kelambu yang jauh di sana.
Mas... Apa yang kau siapkan untuk putramu?
Nanang merunduk sewaktu anak panah melesat dari balik pepohonan. Dia menancapkan kerisnya di tanah lalu mendongak perlahan saat sepasang kaki pucat berkuku hitam dan bersisik bergeming di depannya.
Nanang menyeringai sewaktu matanya bertubrukan dengan mata entitas yang berwujud manusia setengah berkulit ular. Lidahnya terjulur keluar, dari pori-pori lidahnya yang merah pucat dan panjang berlendir, keluar anak panah beracun.
Nanang berguling ke depan bersamaan meluncurnya anak panah itu ke arahnya. Dia mencabut kerisnya dari tanah dan menggoresnya ke kaki entitas tak tentu itu sambil mengucapkan sepenggal doa.
Belum menyerah dalam melakukan penyerangan, suruhan Dewi Laya Bajramaya itu menjulurkan kedua tangannya yang bisa memanjang seperti ular untuk menarik Nanang.
Nanang menangkis dengan sabetan kerisnya dengan gerakan acak sembari melangkah mundur.
“Laa hawla wa laa quwwata illa billah.” Nanang menyambar satu tangan manusia ular itu dengan cepat, situasi tarik menarik untuk menguasai terjadi. Penuh sekuat tenaga Nanang menariknya dan memutarnya hingga membentur batang pohon dengan keras.
“Jangan buru-buru menyerangku. Saya tua, tapi saya tidak selemah itu.” Nanang mengambil botol air yang sudah ia ‘doakan’ dari kantong celananya sebelum mengucurkan ke wajah manusia ular itu.
Aroma kulit yang terbakar membuat Nanang menepi dengan merangkak, usia memang tidak bisa berbohong, badannya ngilu-ngilu setelah pertarungan singkat penuh extra energi.
“Aku datang dengan perlawanan, bukan datang sebagai negosiator. Jelas aku tidak akan membiarkan mereka-mereka yang menyambutku tanpa kematian dulu.” gumamnya sembari menatap jauh cahaya dari obor-obor yang temaram.
“Sebentar lagi.” Nanang meneguk sisa air mineral sebagai satu-satunya logistik yang bisa dia bawa sebelum rombongannya terpecah-pecah menjadi beberapa kelompok yang tersebar di jalur pendakian ketika ampak-ampak dan suara harimau meraung membuat siaga dan kewaspadaan pudar tergantikan oleh kekacauan dan kepanikan. Berbondong-bondong mereka berlarian menuruni jalur pendakian karena menganggap harimau-harimau yang di turunkan Dewi Laya Bajramaya adalah hewan sungguhan.
Pecahnya rombongan yang kembali ke basecamp dengan durasi yang berbeda dan berwajah panik itu jelas membuat Rinjani ketar-ketir, terlebih Nanang tidak bersama mereka. Rinjani jelas memberondongkan pertanyaan kepada Dalilah yang terengah-engah, lalu Mbah Mangku.
Mbah Mangku menggeleng, urusannya lebih serius rupanya sampai-sampai sulit dia mengira apa yang terjadi di gunung.
“Saya butuh waktu untuk mencerna. Kalian semua masuk dulu, ganti baju! Jangan sampai pada hipotermia dan sakit.”
Jalu Aji, bocah cilik pemberani itu mendengus sambil menggandeng tangan pengganti ibunya. “Budhe tenang saja, bapak pasti aman. Bapakku keren kok. Paling-paling sekarang baru jadi dalang di sana.”
“Ora lucu, Le!” sahut Rinjani.
“Tapi budhe tau bapakku toh? Bapakku gimana? Ganteng?”
Lirikan mata Rinjani menyorot bocah tengil setengil bapaknya waktu muda lalu menatap gunung yang tertutup kabut.
“Bapakmu pasti pulang, Le. Tenang!” ucap Rinjani seakan itu menenangkan dirinya sendiri.
Alis Jalu Aji menyatu. “Aku slalu tenang, Budhe. Aku tau bapakku pasti pulang. Kalo tidak bisa pulang, nanti aku cari bapakku sendiri. Aku tahu mantranya.”
Rinjani dan Dalilah yang mendengarnya langsung menatap Jalu Aji dengan heran.
“Kamu gak perlu bercanda, Lu. Buka mantra portal dimensi perlu kemampuan khusus. Macam-macam! Bisa mati kamu.” Dalilah mendesis tapi langsung memeluknya ketika si tampan yang tidak pernah absen dari rumah bapak ibunya mecucu.
“Sekarang Pandu sama Om udah ada di sana. Setidaknya mereka berdua, mereka tahu jalan keluar. Kita tenang dulu, Mbak capek.”
Rinjani menganggukkan, meski ia tahu ada batas waktu pencarian dari tim SAR, ia menyuruh semua orang beristirahat dan membersihkan diri. Hal itu jelas berbeda dengan Nanang yang masih tunggang langgang berlari di kegelapan hutan setelah abu dari manusia ular itu berubah menjadi badai yang menyerangnya.
Nanang menyibak semak belukar setinggi dua meter sebelum tersandung tepat ke arah gerbang istana terakota Dewi Laya Bajramaya hingga membuat pintunya terbuka.
Dua prajurit penjaga menodongkan tombak ketika Nanang menggelepar di tanah. Badai abu menerpanya dalam sekali hentakan keras. Nanang tersengal-sengal, tapi ada seulas senyum di wajahnya.
“Laras, Genta...” panggilnya.
Laras yang sedang mengusik ketenangan Pandu di depan kamarnya melompat, wajahnya terlihat grusa-grusu.
“Suaranya mirip Nanang, Gen!”
“Lah iyo, budeg.” Genta menyeret tangan Laras agar mengikutinya.
“Ndu... Pandu, ommu datang!” teriak Laras. “Di depan, ayo-ayo...”
Pandu yang sedang mengawasi Dewi Laya Bajramaya di ranjang menoleh ke arah pintu.
“Om Nanang beneran datang.”
“Benar, datang.” sahut Dewi Laya Bajramaya. “Kami tetap akan melakukan negosiasi, kamu milikku!”
Pandu enggan menanggapi, sudah eneg dengan kelakuannya. Pandu memilih keluar dari kamar lalu mencabut obor. Tapi secepat mungkin dia berjalan, Dewi Laya Bajramaya mudah menjangkaunya.
Dengan gerakan anggun, hembusan angin mengikuti pergerakannya ke arah Nanang hingga membuat abu menghilang dari tubuhnya.
“Om...”
Pandu dan Nanang jelas langsung memandangi Dewi Laya Bajramaya yang tersenyum manis setelah memanggil Nanang dengan sebutan itu.
Nanang mengulas senyum geli. “Bantu ommu berdiri, cah ayu.”
Ih... Pandu menepis tangan Dewi Laya Bajramaya yang terulur. “Gak usah sentuhan sama omku!”
“Tidak apa-apa, Ndu. Tidak apa-apa.” Nanang menasihati kejengkelan Pandu. “Ayo bantu aku berdiri cah ayu. Kamu pasti akan memberikan bonus setelah aku melewati beberapa prajuritmu!”
Dewi Laya Bajramaya mengangguk, dia mendorong Pandu ke arah Genta agar bisa membantu negosiator ulung bangkit dari acara istirahatnya.
“Siapkan aku kamar terbaikmu, pelayanmu dan para cethi untuk melayaniku, Pandu dan teman-temannya!” tuntut Nanang setelah berdiri. “Tidak ada penolakan, Laya! Lakukan.”
Hembusan napas Dewi Laya Bajramaya mengawali persetujuannya.
Nanang sejenak menatap Pandu dari ujung kaki sampai rambutnya yang berantakan. Ia menyunggingkan senyum samar, Pandu tampak baik-baik saja, setidaknya dia tidak mengenaskan seperti bayangannya sebelumnya.
“Satu lagi Dewi Laya Bajramaya.”
Bidadari itu mendesah. “Apa?”
“Jangan menggoda Pandu Mahendra. Dia belum cukup umur.”
Pandu sebetulnya hendak protes dengan sebutan belum cukup umur itu, dia sudah dua puluhan tahunan. Tapi memang untuk menjadi seorang suami dia senang mengakui dirinya sendiri sebagai anak bawang.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
App Putri Chinar
strategi om oyen keren
2024-02-18
0
App Putri Chinar
anak bawang koe ndu
2024-02-18
0
App Putri Chinar
bikin drama nih om oyen
2024-02-18
0