Dinikahi Bidadari

Para prajurit mendorong Pandu agar bergegas di sepanjang koridor dihiasi lampu teplok menuju sebuah ruangan yang kaya akan wewangian.

Para prajurit meninggalkan puri keputren setelah melemparkan tas keril bersama pemiliknya ke dalam kamar yang memiliki kelambu nyamuk di ranjang kayu berlapis emas. Mereka membawa Ki Pawiro, Laras, dan Genta ke kurungan.

Pandu mendekap tas kerilnya di samping kursi bersandaran tinggi dengan wajah mengerut. Memang situasi di sana tidak jauh berbeda dengan rumah yang mendadak ia rindukan semua isinya. Cuma paras ayu sang bidadari yang memanifestasikan segala keindahan dan kecantikan seorang wanita yang ia idam-idamkan mengguncang penglihatan dan benaknya.

Tidak mungkin aku dinikahi bidadari, jelas dia ini mahluk halus yang bisa mengubah perwujudannya sesuka hati.

Pandu spontan bergidik ngeri lalu bersembunyi di balik tas kerilnya. Entitas asli dalam wujud bidadari itu mungkin lebih cantik atau bahkan lebih seram dari perwujudannya sekarang. Dan wanita itu mengangkat alisnya ketika melihatnya begitu.

“Ada apa dengan kau, suamiku?” Dewi Laya Bajramaya menaikkan selendangnya yang menuruni bahu lalu melipat tangannya di pangkuan. Semua gerakannya tampak luwes dan terlatih. Hanya sorot matanya yang sekali-kali tampak kosong.

Pandu menggeleng. “Lepaskan saya, Nyai! Saya bukan suamimu.”

Dewi Laya Bajramaya berdecak sambil menggelengkan kepalanya samar-samar.

“Kedatanganmu sudah saya tunggu-tunggu, Pandu. Tidakkah kau bersikap lebih tenang? Kenapa takut dengan saya?”

Pandu semakin memeluk erat tas kerilnya dan menggeleng. “Saya jelas ingin menikahi manusia bumi, manusia asli, bukan seperti nyai!” katanya berani.

Sorot mata Dewi Laya Bajramaya memerah mendengar sebutan Nyai. Ia tidak terima. Ia masih muda, memiliki dagu runcing, hidung mancung, alis simetris, dada yang sempurna dan kulit halus selembut sutra yang terpampang jelas di mata Pandu karena ia menggunakan kemben dari kain jarik. Dia sempurna sebagaimana mestinya seorang bidadari dari kahyangan. Hanya di bagian bawah hidungnya tidak memiliki filtrum/lekukan.

Pandu gemetar saat Dewi Laya Bajramaya mengusap kepalanya seperti seorang ibu. Wanginya menggetarkan seluruh pori-pori kulitnya.

“Kau terluka, mandilah dulu baru saya obati lukanya, suamiku.”

Pandu menggeleng kuat-kuat, dalam benak ia berusaha merapalkan doa tapi sayangnya usapan lembut di kelapanya terus mengacaukan serangkaian kalimat penenang dan pengusir mahluk halus.

Pintu terayun. Lima dayang Dewi Laya Bajramaya masuk membawa nampan berisi bokor emas dengan beragam isian. Lima pelayan mengikuti mereka dengan membawa kendi besar berisi air. Mereka menyiapkan pemandian di kamar itu untuk Pandu.

Seorang dayang memberi informasi jika semuanya sudah siap sebelum keluar dan menutup daun pintu.

Dewi Laya Bajramaya menghentikan usapan lembutnya lalu meraih tas keril Pandu yang ingin sekali ia lenyapnya. Ada pusaka yang di bawa Pandu, sebuah keris.

“Pergilah bersih-bersih, saya tidak akan melihatnya.”

Pandu jelas tidak percaya sebab setelah tasnya lenyap dalam dekapan, sudut ruangan yang memiliki gentong besar dengan ciduk dari batok kelapa di atasnya itu terpampang di matanya, jelas kamar mandi itu tanpa sekat pelindung.

Pandu mendengus. Apa aku harus meniru ketegasan ayahanda sebagai seorang suami? Halah, kecut. Suami apa! Akad saja tidak, bidadari ini cuma ngunduh aku. Enak banget, udah matang langsung di unduh tanpa perlu jadi ibuku yang susah-susah rawat aku dari lahir. Semprul.

Dewi Laya Bajramaya tersenyum gemas pada sosok yang duduk di lantai kamarnya. Menggunakan jaket gunung, celana cargo coklat, kaus putih dan sepatu gunung yang semuanya telah ternodai oleh tanah dan keringat tetap membuat Pandu rupawan di matanya.

“Segeralah atau kau bersedia saya membantu?”

“Gak usah!” sergah Pandu seraya merapatkan jaketnya sampai meringkuk ke dekat kursi.

Dewi Laya Bajramaya tersenyum dengan anggun lalu melepas mahkota dan selendangnya.

“Kalau begitu saya dulu saja yang mandi. Suamiku kakang Pandu tunggu saja sampai selesai.”

“Gak mau! Lama dan apa sampean tidak malu mandi di depan saya? Saya mau keluar.” protes Pandu.

“Silakan. Pintu terbuka untukmu kakang.”

Dengan semangat empat lima, Pandu keluar dari kamar sang bidadari. Tapi badannya langsung terhempas ke tembok. Lima dayang dan lima pelayan yang berjaga-jaga di luar kamar langsung membuat formasi pertahanan menyerang.

Pandu mengangkat kedua tangannya, jantungnya berdetak cepat. Di bawah cahaya pucat, wajahnya kelihatan mendung. Menjadi korban penculikan entitas dimensi lain tidak terlampau mengagetkan baginya karena ia telah melalui banyak portal retrokognisi dari berbagai entitas yang mengajaknya menjelajahi sebuah peristiwa ke masa lalu sejak kecil melalui mata batin dan ruhnya. Laras dan Genta hanya dua dari mereka yang pernah Pandu selami, hanya saja kendalinya tidak sebesar biasanya. Dia tidak bisa mengendalikan dirinya. Ada energi yang lebih besar dari dan di negeri kahyangan. Pun alam yang ia datangi adalah gunung, tempat wingit dan pusat kekuatan yang menghubungkan manusia dengan leluhur yang memiliki kekuatan gaib oleh kepercayaan tertentu.

Nu, moga-moga kamu sampai ke rumahku. Bilang sama ibu dan om Nanang buat jemput aku. Aku akan Ikhlas melepas Yanda, aku akan lebih baik dari kemarin dan aku tidak sembrono.

Pandu menarik napas, udaranya lebih segar dari alamnya, kabut masih terpampang di sekelilingnya. Pandu menatap sepuluh orang di sana yang pastinya akan menyuruhnya ke dalam kamar sang bidadari.

“Di mana teman-temanku?”

“Kurungan.”

“Lepaskan, mereka tidak menganggu!”

Tidak ada jawaban lain karena pintu di belakang Pandu perlahan terbuka hingga membuat Pandu terjatuh ke belakang.

Dewi Laya Bajramaya menangkapnya lalu tersenyum. Pandu gegas berdiri lalu berdehem-dehem, hampir salah tingkah karena bidadari itu menggunakan jarik kemben dan wangi sekali. Aromanya manis, sentuhannya melebihi lembutnya kain sutra atau bisikan pelan.

“Masuklah, saya sudah selesai kakang.” ucap sang bidadari.

“Kalo saya mandi, kamu tunggu di luar seperti saya!” sahut Pandu dengan penekanan di nada suaranya.

Dewi Laya Bajramaya mengangguk. Entah betul-betul setuju atau menipu seperti sejatinya para bidadari yang di utus para dewa untuk mengacaukan pikiran para pertapa di sana, Pandu menutup pintu setelah Dewi itu keluar.

Gegas ia membuka tas kerilnya lalu mengeluarkan semua isinya. Pandu mencari-cari di mana keris sakti pemberian ayahnya, tidak ada! Pandu menjerit dalam hening, dia berusaha mencarinya di tempat-tempat yang biasa digunakan untuk menyembunyikan benda penting sampai kamar sang bidadari berantakan. Tidak ada. Pandu menendang kaki ranjang lalu menatap pintu dengan marah.

Dewi itu mengetahuinya! Yungalah, Gusti. Kenapa to cobaanku tidak selesai-selesai.

Pandu mengambil logistiknya yang berupa jajanan supermarket dan nasi rendang. Sejenak ia mengendus nasi rendang itu, nyaris basi, namun daripada menyantap makanan sesajen yang berada dalam bokor emas yang tampilannya lebih enak, dia menyantap dengan rakus perbekalannya sendiri.

Bunda pasti lagi masak sayur lodeh, dan tempe goreng sekarang. Bunda...

...***...

Terpopuler

Comments

may

may

Kecut nduuu🤣

2024-10-21

0

App Putri Chinar

App Putri Chinar

yuuhh sakne Ndu....maem nasi rodok basi

2024-02-17

0

Ida Miswanti

Ida Miswanti

Si Bungsu yg biasanya di Sayang-sayang Bubu Baba malah di bikin melayang di Kahyangan 🤭🫣

2023-11-27

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!