Your Eyes

Semua tangan dan kaki Pandu di ikat di masing-masing pojok ranjang yang memiliki pentolan kayu dengan serat rotan yang di babat Dewi Laya Bajramaya dari tikar dengan kekuatannya.

“LEPAS!” teriak Pandu. Sekuat tenaga ia menggerakkan anggota tubuhnya. “LEPAS!” Pandu menggeram.

Dewi Laya Bajramaya merangkak ke atas tubuh Pandu lalu menghentakkan pinggulnya di atas perutnya. Pandu mengerang kesakitan. Napasnya tersengal. Dia tersedak-sedak begitu lama sampai tenggorokannya terasa kering.

Dewi Laya Bajramaya menyeringai, tangannya tertekuk ke atas, ia mencabut tusuk kondenya.

“Bilang pada saya kau suamiku, Pandu Mahendra!” desak Dewi Laya Bajramaya dengan mata mendelik.

Sadar nyawanya bisa melayang kapan saja di dimensi itu, Pandu memejamkan mata. Dia menarik napas, menahan sosok seperti Aisyah yang begitu besar menanamkan perhatian padanya di dunia nyata.

Gusti, masih pantaskah Pandu menjadi pendamping Aisyah jika sosok bidadari ini mengaku-ngaku menjadi istriku?

Pandu membuka matanya. Dia menatap mata seram sang bidadari yang menyorot tajam kepadanya.

“Yanda pernah berkata kepadaku, seorang istri patutnya menurut suami! Jika tidak ceraikan saja, tidak patut dipertahankan!”

Dewi Laya Bajramaya memasang wajah masam. Dia tahu bagaimana kerasnya ayah Pandu. Dia pernah mengunjunginya di bumi untuk menggoda pria berwibawa itu agar dijadikan teman perempuannya. Eh di tolak mentah-mentah. Dan untuk yang satu ini sama kerasnya tapi lucu. Jangan sampai gagal, mungkin begitu pikirnya.

Dewi Laya Bajramaya tersenyum, Pandu berteriak sejadi-jadinya. Dia menggerakkan tubuhnya, menyibukkan sang Dewi dengan gerakannya sambil berharap bisa mengumpulkan bantuan dari lingkungan sekitar.

Dewi Laya Bajramaya tertawa riang. “Teruskan saja Pandu, sampai tenagamu habis dan saya bisa menghabiskan waktu bersamamu tanpa penolakan.”

Pandu menggeram jengkel, semakin semangat mengganggu Dewi itu. “Turun!” teriaknya.

Dayang dan prajurit penjaga kamar sang Dewi saling pandang, senyum terbentuk di bibir-bibir mereka, tapi Laras dan Genta kocar-kacir mendekati mereka.

Pasti ada yang tidak beres, batin Genta. Dia mendorong Laras melewati kedua kaki prajurit yang berdiri mengangkang dengan mudah seraya menendang pintu sekuat tenaga.

Dewi Laya Bajramaya tersentak ketika kedua pintu terayun dengan keras. Dia menahan kembennya agar tidak terbuka.

Tersentak pula Laras dan Genta dengan apa yang terjadi di ranjang itu.

Pandu berseru, “Tolong, Ras!”

Dewi Laya Bajramaya melempar tusuk kondenya dengan cepat hingga mengenai bahu depan Laras. Hantu kecil itu menjerit, alih-alih diam, dia berlarian di dalam kamar itu seperti di kejar tawon ndas.

Dewi Laya Bajramaya beranjak dari tubuh Pandu, ia menyelipkan ujung kain batiknya ke dalam belitan kain yang membekap tubuhnya sebelum menangkap Laras.

“Akan saya habisi kau!” Dewi Laya Bajramaya membentak.

Laras tersentak, tubuhnya diam kakinya masih berlari.

“Jangan kau apa-apa temanku!” bentak Pandu saat mata ia melototi Laras sambil mencengkeram bahunya dan nyaris mengucapkan sebaris mantra.

Dewi Laya Bajramaya berpaling pada Pandu, lalu Genta yang berusaha melawan prajurit penjaganya.

“Dia mengganggu dan untuk apa kau memelihara bocah tidak berguna sepertinya!”

“Jika kau menghabiskannya, saya akan menghabisimu juga!” Ancam Pandu.

Dewi Laya Bajramaya tergelak sampai lehernya mendongak 90 derajat.

“Tidak ada suami yang bertindak kasar dengan istrinya, kakang. Dan apa yang saya lakukan hanyalah untuk membalas perlakuanmu tadi!”

Cengkeraman di bahu Laras mengencang. Laras menangis. Semakin lama durasi cengkeramannya semakin keras dia menjerit.

Dewi Laya Bajramaya mendorongnya, Laras terhempas. Dengan mimik sedih hacil itu memohon kepada Pandu. Tapi kemarahan di benak bidadari yang gampang tersulut emosinya itu tidak sirna, dia mencabut tusuk konde satunya lagi dari rambutnya.

Sama-sama berusaha, Pandu tidak menyerah dalam membebaskan dirinya dari ikatan rotan. Sementara Genta sedang beradu fisik dengan lima orang prajurit langsung.

Bak membalas dendam salah sasaran, Genta dapat meraih salah satu tombak yang di pegang prajurit setelah menendangnya dalam sekali terjang. Dia meludahkan air liurnya yang beracun imbas dari kondisi akhirnya sebelum mati di ujung tombak lalu menodongkan ke arah prajurit.

Di saat prajurit penjaga dan dayang mundur teratur, Pandu berhasil meloloskan diri dari ranjang nestapa meski pergelangan kaki dan tangannya lecet dan berdarah.

Dia terseok-seok ke arah Laras yang mulai kehilangan serparuh energinya, sementara Genta menodongkan tombaknya ke arah kepala Dewi Laya Bajramaya.

“Hentikan atau saya habisi!”

“Kakang.” rayu Dewi Laya Bajramaya dengan mimik sedih sebelum bersimpuh. Dengan lemah lembut dia berkata, “Saya hanya ingin berdekatan dengan kau!”

“Keparat!” Genta menaikkan tombak seakan hendak menghujam sang Dewi. Pandu mencegahnya sebelum terjadi hal-hal yang lebih parah dari kemarahannya tadi.

“Cukup, Genta! Aku ra popo.” Pandu memberitahu.

Genta memberikan tombak itu ke Pandu sebelum menarik tubuh Laras yang terkulai di lantai.

“Kembalikan energinya!” bentak Pandu dengan suara tajam. Matanya berkilat.

Dewi Laya Bajramaya menguncupkan bibir. Kombinasi tidak biasa yang dilakukan Pandu tampak memporak-poranda kemarahannya.

“Iya, suamiku. Dan kau tidak bisa menceraikan saya karena saya sudah menurut.”

Halah, demit. Kamu itu penuh tipu muslihat!

“Lakukan!” bentak Pandu, menggerakkan tombaknya.

Dewi Laya Bajramaya menyentuh pundak Laras dengan kedua bahunya. Dari telapak tangannya memancar energi kekuningan.

Perlahan, pucat di kulit Laras menghilang dan ia mendekap Genta.

Pandu pun tidak membuang tombak itu, ia tahu racun arsenik dalam ludah Genta masih berfungsi untuk melindungi.

“Minta para dayang dan prajuritmu membubarkan diri!” Pandu menodongkan tombaknya ke tubuh belakang Dewi Laya Bajramaya.

Dengan merangkak pelan, Dewi itu mengutus pelayannya pergi dari ambang pintu.

“Sudah. Jangan hukum saya, Pandu.” katanya mengiba, “buang tongkatnya! Kita bisa berdua saja sekarang. Tidak ada yang mengganggu.”

“Your eyes!” sahut Pandu.

Dewi Laya Bajramaya meraung, tingkahnya mendadak seperti remaja patah hati. Kakinya menendang-nendang udara lalu menangis, histerisnya melebihi Laras.

Terpaksa Pandu membuang tombaknya ke lantai. Baru setelah bunyi kayu terjatuh terdengar, Dewi Laya Bajramaya terdiam.

Pandu menatapnya sambil berjongkok. “Obati lukaku, Dewi Laya Bajramaya. Lakukan sekarang juga dengan tanganmu, tanpa bantuan dayangmu!” tandasnya dengan serius.

Seperti terhipnotis akan perangai Pandu yang satu itu, Dewi Laya Bajramaya mengiyakan. Dia beranjak seraya menghapus air matanya di pipi.

“Saya masih cantik?”

“Kamu jelek, kamu jahat!” sahut Laras.

Dewi Laya Bajramaya jelas ingin menendang bocah itu sebagaimana bocah itu mengganggunya tadi. Tapi perintah Pandu adalah perintah yang harus dia kerjakan.

“Tunggu sebentar, suamiku. Saya Carikan dulu tanaman sakti di kebun.”

“Ya, lakukan dengan baik. Jangan lupa di cuci mata air suci biar afdol bersihnya!”

“Ah kakang, saya tahu. Istrimu kan pintar!”

Hoex....

Pandu mengiyakan agar bidadari itu cepat berlalu dan ia bisa kabur..

...***...

...**...

Terpopuler

Comments

may

may

😭😭😭Demit mancanegara

2024-10-21

0

🪴🍓🌟💫sangdewi💫🌠💐🏵️

🪴🍓🌟💫sangdewi💫🌠💐🏵️

hhhhhh sumpah ngakak, mengumpat bahasa Inggris 👍👍👍👍👍

2024-02-18

1

App Putri Chinar

App Putri Chinar

Hoek mu Ra ilang2 Ndu🤭🤭

2024-02-17

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!