Suami Dewi Laya Bajramaya

Di pos, Dhanu menatap situasi yang lebih ekstrim dari yang dialaminya tadi. Kabut tebal mengepung keseluruhan gunung hingga sejauh mata memandang tak terlihat adanya kemegahan gunung dengan ketinggian 3.339 mdpl itu.

“Ndu... Pandu.” Dhanu berusaha menghubunginya lewat handy talking berulang kali dengan perasaan gelisah.

Mbah Mangku menyahutnya. “Percuma mas, Pandu sudah di bawa ke alam lain!” cecarnya tidak sabar. Kerutan di kening kuncen itu nampak semakin berlipat-lipat.

“Anak itu sudah sampai di alas lali jiwo bersama teman-temannya dari dunia gaib. Anak itu istimewa mas, sampean tidak tahu?”

“Maksudnya?” Dhanu membeliak.

Mata kuncen yang tegas dan setengah tertutup itu mengamati wajah anak baik-baik di depannya sambil menggelengkan kepala. Takjub akan rahasia yang disimpan rapat Pandu Mahendra pada orang yang mengaku sahabatnya itu.

“Temanmu masih memiliki keturunan darah biru. Dia memiliki keistimewaan dari leluhurnya. Sekarang dia akan menikah dengan kaum Hapsari, seorang bidadari.”

“Pandu, bidadari?” Dhanu tiba-tiba pusing tujuh keliling seakan satu peristiwa menarik ke peristiwa lain.

Dhanu tidak mengatakan apa-apa. Sepertinya tidak ada yang perlu dikatakan sebab ia sukar mencerna penjelasan Mbah Mangku lebih detail dari sebelumnya.

“Sekarang kamu hubungi keluarganya, mereka memiliki mantra untuk membuka portal dan menjemput Pandu.”

Di antara pilihan yang membingungkan, Dhanu justru berjongkok sambil memegangi kepalanya.

“Apa gak bisa kita jemput Pandu sekarang, Mbah? Ayahnya belum lama meninggal. Ibumu bakal tambah menderita kalau sampai tahu Pandu menikah dengan bidadari!”

“Makanya itu kamu pulang, secepatnya hubungi keluarganya. Mbah jamin dia tidak akan kenapa-kenapa!”

“Berdasarkan fakta apa Mbah bisa jamin?” sahut Dhanu setengah ngegas.

Mbah Mangku terpaksa berjongkok di depannya. Dia mengamati Dhanu dengan senyum tenang. “Saya lebih tahu apa yang tidak kamu ketahui, cah bagus. Sudah beruntung kamu saya bawa ke bawah karena jika kamu tetap naik bersama Pandu tadi, kamu akan menjadi tumbal.”

Dhanu terjengkang. “Menjadi tumbal?”

“Ya!” Mbah Mangku berdiri. “Atau kamu menjadi pengganti Pandu.”

Jantung Dhanu langsung berdebar kencang. Sekuat tenaga ia menyangkal fakta itu. Pandu tidak akan melakukannya. Pandu justru pernah menyelamatkannya dari pelet dari pengagum rahasianya.

Mbah Mangku membantunya berdiri. Prihatin. “Selama ada pamong ayahnya, dia akan aman. Mereka akan habis-habisan menjaga Pandu Mahendra!”

Siapa lagi pamong ayahnya? batin Dhanu, lemah dia mengikuti Mbah Mangku ke dalam pos jaga. Dhanu melaporkan kejadian yang dialaminya tadi. Secara logis, petugas jaga belum akan melakukan pencarian jika Pandu berniat untuk menyepi dan menelusuri jejak-jejak bersejarah di sana, sebab sudah ada yang menyepi selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan di petilasan dan situs bersejarah yang tersebar di berbagai pos pendakian.

Jantung Dhanu langsung mencelos, ia sontak mencegah petugas simaksi membuat kesimpulan yang sama seperti mereka dengan membujuk Mbah Mangku menjelaskan apa yang dilihatnya.

“Pandu tadi berpesan hanya akan menyepi selama tiga hari!” ucapnya separuh cemas. “Tolong lakukan pencarian jika di hari ke empat dia belum turun gunung, Pak.” Dhanu sampai mengatupkan kedua tangannya, memohon.

“Dia tidak mungkin menikah dengan bidadari, Pandu menyukai Aisyah.”

Mbah Mangku mengangguk-angguk lalu membawa Dhanu keluar pos.

Dhanu melakukan pemberontakan lalu menatap kabut yang masih tebal.

Mbah Mangku mengiyakan. “Kamu sabar dulu. Percuma ngotot, sekarang kamu ikut saya ke rumah saja. Saya yakin kamu takut pergi dari sini sendiri!”

Dhanu berjuang melawan sesuatu dalam dirinya yang menegaskan kebenaran itu. Dengan gontai ia mengikuti Mbah Mangku yang menggunakan pakaian serba hitam dengan ikat kepala batik ke rumahnya.

***

Gerimis menghujani wajah Pandu seperti panggilan untuk terbangun dari alam mimpi. Dalam kegelapan yang tidak pudar, Pandu mengerjapkan mata. Pikiran pertamanya adalah bahwa ia hampir mati. Matanya berkunang-kunang, sesak napas dan seluruh badannya terasa remuk.

Pikiran keduanya adalah sepasang mata indah dari wajah ayu menaungi wajahnya. Cantik sekali seperti bidadari dan perkiraannya dia akan masuk surga.

Pandu memejamkan matanya, bibir pucatnya menyunggingkan senyum lega. “Nyusul ayahanda!”

Jengkel, Laras menendang kakinya. Hantu cilik itu rasanya ingin mengguyur air kendi yang di bawa bidadari bangsawan dari kahyangan para Hapsara-Hapsari ke wajah Pandu.

“Kamu belum mati, Ndu. Bangun, cepat!”

“Mosok sih belum mati? Sudah ada bidadari lho, mosok cuma khayalan.”

Senyum di bibir ranum tanpa lipstik di sebelah Ki Pawiro terangkat. Tangannya yang selembut sutra membelai rambut lepek Pandu.

“Saya memang bidadarimu. Bangunlah, suamiku.”

“Suamiku?” Pandu membuka matanya lebar-lebar lalu menoleh, di atas rumput ia terbaring. Tangannya terikat dan ia di kelilingi sahabat gaibnya yang menapak tanah.

“Aku jomblo dari lahir, tidak mungkin langsung menikah!”

Bidadari itu menyentuh pipi Pandu. “Kamu jangan menolaknya.”

“Ya jelas aku tolak to, aku tidak kenal kamu! Aneh.”

Ki Pawiro memalingkan wajahnya ke arah hutan belantara. Perutnya kencang menahan tawa. Sementara Laras dan Genta bergeming tanpa ekspresi, jelas mereka tahu di mana mereka sekarang sementara Pandu tidak.

Pandu menggerakkan tangannya yang di ikat dengan serat debok kering. “Ki, lepaskan tanganku, Ki. Ki... kenapa aku di ikat to?” serunya ketika semua diam.

Bingung harusnya menjadi keadaan yang cocok untuk Pandu sekarang, tapi jelas dia tidak memperhatikannya karena ia terlalu kaget dengan sebutan dari sang bidadari.

Pandu memejamkan mata. Ingatannya mengorek beberapa kejadian yang masih segar namun terasa jauh bagai mimpi. Perasaan cemas itu seketika muncul.

“Di mana kita, Ras?” tanyanya setelah duduk.

Laras langsung bersembunyi di balik tubuh Genta. “Aku tidak tahu. Tanya Ki Pawiro saja!” ucapnya rikuh.

“Ki...” Pandu memohon. “Di mana kita sekarang?”

Dewi Laya Bajramaya berdiri, keanggunan langsung menyita perhatian Pandu di atas situasi paling tidak ia sukai karena wajah Ki Pawiro tidak menyenangkan.

Cantik sekali, seperti perempuan idamanku.

Dewi Laya Bajramaya menatap Pandu dengan senyum sebal yang tetap nampak anggun dan cantik.

“Bawa Pandu Mahendra ke Puri, kamar saya!”

Empat prajurit membopong Pandu yang tampak terperangah dengan instruksi itu.

“Ya Allah Gusti. Bunda. Yanda...” teriaknya sambil susah payah memberontak. Ada rasa enggan untuk mengikuti perintahnya, namun seolah ada dorongan dari energi lain untuk menurut saja ke dalam bangunan yang terbuat dari batu-batu merah dan sedang di penuhi bunga-bunga segar dan janur kuning.

...***...

Terpopuler

Comments

may

may

Jomblo ekslusip

2024-10-21

0

may

may

Sangking kangennya ya😭

2024-10-21

0

App Putri Chinar

App Putri Chinar

biarpun horor,ndu tetep aja kocaknya keluar

2024-02-17

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!