Doppelganger

“Kamu yakin Ndu kita bakal naik tanpa persiapan fisik?” sebut Dhanu setelah menghentikan mobilnya di basecamp.

“Yakin, dari kemarin kita sudah membulatkan visi dan misi dan izin dosen untuk cuti seminggu. Jangan ragu, Nu. Fisik udah sering di uji dosen kemarin!” Pandu mendorong pintu dan tergesa-gesa membuka bagasi mobil saat kabut tebal tiba-tiba merayap ke permukaan tanah. Pandu mengeluarkan perbekalan pendakian mereka. Dua tas keril dan tracking pole. Pandu mengamati sekeliling dengan perasaan aneh. Tadi cerah, sekarang mendung, batinnya sambil menggendong tasnya.

Laras mencebikkan bibir pucatnya. “Nyai Dasima ngawur, Ndu. Doanya salah. Aku tidak seneng di sini! Harusnya Nyai Dasima larang aku ikut! Aku takut.” Laras kontan minta di gendong Genta.

Genta mendengus. Riweh. Gerutunya meski tetap menggendong hacil-hantu kecil itu.

Pandu dan Dhanu melakukan simaksi lalu beristirahat di pos, mereka memesan makan dan ngopi sebelum melakukan pemanasan fisik dan menyewa ojek demi memangkas waktu menuju pos satu.

Alih-alih ikut menempel dalam boncengan Pandu melintasi jalan landai kebun kopi dan hutan pinus yang masih jarang. Genta menggendong Laras sambil berlari tanpa memijak tanah sejajar dengan motor yang di tumpangi Pandu dan Dhanu. Sejenak Laras dapat merasakan kesenangan, namun kesenangannya itu sirna tatkala mereka telah sampai di pos satu. Laras menciut. Dia mengeratkan lengannya di leher Genta.

“Hati-hati mas. Sekarang malam Selasa Kliwon. Banyak yang ritual di atas!” sebut tukang ojek. “Saya harus langsung turun, banyak yang mau naik ini!”

Berbalut jaket tebal, kupluk dan sarung tangan, rahang Pandu langsung mengencang. Selasa Kliwon konon menjadi malam yang lebih angker dari malam Jumat Kliwon. Malam dengan julukan Anggara kasih sebagai puncak laku spiritual setelah puasa 40 hari.

Nyali Pandu langsung goyah akan hari dalam tanggalan Jawa itu meledakan kesadarannya. Pandu menggigil cemas karena malam itu pula konon menjadi hari dimana roh-roh penasaran bergentayangan. Spontan Pandu langsung menyadari suasana mistis yang lebih besar dari biasanya.

Ki Pawiro? Ki Pawiro! Panggil Pandu dalam hati.

Angin berhembus kencang. Pandu sontak menarik Dhanu agar mengikutinya berlutut menghindari hantaman badai yang tiba-tiba menggoyangkan seluruh batang-batang pepohonan.

“Kita mau gimana sekarang, Ndu?” tanya Dhanu cemas. “Lagi di pos satu kita, gak ada salahnya kita turun dulu sampai cuaca damai.”

“Kamu turun duluan, Nu. Aku tak ke situs tempat pertapaan Naga Hyang Antaboga. Pumpung ojek belum pergi!” Pandu menatap tukang ojek yang ikut menghentikan motornya saat badai menumbangkan keseimbangannya.

Dhanu menggeleng. “Aku tetap sama kamu, ngawur ini kalo kamu solo hiking. Bahaya, syaratnya tadi jumlah gak boleh ganjil!”

Karena itu aku ngajak kamu, Nu. Aku bawa kamu ke bahaya!

Kedatanganmu di sambut. Sahut Genta. Ki Pawiro pernah ngomong wetonmu Sabtu Kliwon, auramu memancing perhatian mereka.

Samar-samar Pandu mengangguk tapi itu malah mengisyaratkan jawaban untuk Dhanu.

“Jadi kamu tetap mau naik, Ndu?” Dhanu melihat sekeliling, badai sudah berkurang tapi rintik gerimis berusaha menebus rindangnya pepohonan.

“Tapi sumpah aku naik sendiri aja Nu kalo tau gini cuacanya, karena aku mau bertapa, aku mau cari ketenangan batin.” Pandu berusaha mencegah Dhanu terlibat dalam urusan alam lain.

Dhanu berpikir keras sambil menatap Pandu, tukang ojek, dan Pandu lagi. “Aku tetap sama kamu. Tapi Ndu ini kan hari Senin, kok dia ngomong ini malam Selasa Kliwon?”

“Tanggalan Jawa beda sama nasional, sore-sore gini udah ganti hari kalo tanggalan Jawa.”

“Terus kenapa sama Selasa Kliwon?” tanya Dhanu heran sambil berdiri. Dari bawah terdengar suara motor, pertanda seseorang yang akan datang.

Pandu menatap sekeliling, melakukan pertimbangan yang matang. “Selasa Kliwon temannya Jumat Kliwon, cuma lebih senior.”

“Maksudmu lebih angker?” seru Dhanu dengan wajah tercekat.

Iya, Ngger. Baru paham dia, cah kuto. Jawab Laras.

Pandu terpaksa terbatuk kecil untuk meredam keinginannya tertawa. “Sudah gak usah mikir aneh-aneh selagi kita niatnya cuma riset situs-situs bersejarah. Kita naik ke situs pertama.”

Pandu dan Dhanu merapalkan doa bersama sebelum melangkah dan langkah mereka terhenti ketika seseorang berteriak kenceng sambil berlarian ke arahnya.

“Kowe rasah munggah!” ( Kamu tidak usah naik! ) ucap Mbah Mangku sambil membeliakkan mata. “Kowe lan kanca-kancamu dadi inceran!” ( Kamu dan teman-temanmu jadi incaran! )

“Inceran sopo, Mbah?” ( Incaran siapa, Mbah? ) sahut Dhanu resah.

Pandu mengerjapkan mata lalu menghalangi Dhanu agar tidak mengulik lebih banyak.

“Kulo sampun ngertos, Mbah. Nyuwun sewu, niat kulo sampun genep.” ( Saya sudah tahu, Mbah. Tapi maaf, niat saya sudah genap. )

Mbah Mangku menghela napas. Tergopoh-gopoh sudah ia mengikuti jejak Pandu setelah badai dan kabut datang secara tiba-tiba seolah pertanda marabahaya. “Ini peringatan terakhir dari saya, Pandu Mahendra! Kamu bawa pulang-pulang teman-temanmu.”

Mbah Mangku menatap Laras dan Genta yang bersembunyi di belakang Pandu. Tapi

Pandu menatap Dhanu lalu mendorongnya ke Mbah Mangku.

“Kamu pulang, bilang sama ibuku aku bertapa. Jangan tanya kenapa-kenapa sekarang!”

“Tapi, Ndu...”

Mbah Mangku menyeretnya ke atas motor. “Kamu selamatkan nyawamu, dia sudah di temani teman-temannya.”

Sambil bertanya-tanya siapa teman Pandu, Dhanu menoleh ke belakang sambil memegangi pundak tukang ojek yang sudah menggeber motornya menjauh dari Pandu.

“Bapak itu siapa mas?”

“Kuncen!”

Dhanu merinding seketika. Sementara itu

Pandu memberi hormat setelah diizinkan naik dengan syarat. Membawa tongkat dan dilarang bermalam di alas lali jiwo atau pasar setan. Pandu setuju. Bersama Laras dan Genta ia justru bertanya-tanya dimana Ki Pawiro sekarang.

“Paling-paling Ki Pawiro menipumu, Ndu. Dia tidak jaga kita!”

Pandu terus bergerak sebelum gelap semakin pekat. Jantungnya semakin berdebar ketika suara alam dan hewan-hewan beradu dalam kabut yang membuatnya harus berhati-hati dalam melangkah.

Tiba di situs yang ia maksud, Pandu menapaki jalan konblok ke arah mulut goa yang di sebagian tempatnya diletakkan beberapa sesaji. Gegas ia memfoto mulut gua di tengah semerbak aroma dupa sebelum melanjutkan perjalanan dengan napas yang kian sesak.

Memasuki alas nggombes, hutan yang masih sangat lembab. Laras berhenti seraya nemplok ke badan Genta ketika sekelebat bayangan hitam berpindah-pindah dari pohon ke pohon tapi lain halnya Pandu, dia justru mengibaskan ampak-ampak yang mengurangi jarak pandang sambil bergerak seolah tertarik pada suatu entitas yang bergerak menyerupai ayahnya.

Pandu terjerembab ke tanah, tapi penglihatannya yang menyelami kehadiran siluet sang ayahanda kembali menguatkannya. “Yanda, Ayahanda.” teriaknya.

Genta berusaha mencegahnya, tapi seolah tidak mendengar dan enggan merespon peringatannya. Pandu terus berlari mengejarnya keluar dari rute pendakian.

“Itu bukan bapakmu, Ndu!” teriak Genta bertepatan dengan Pandu yang terus kesetanan berlari tanpa henti sebelum ia berhenti ketika siluet itu berubah menjadi sesosok entitas tinggi besar dengan tangan menjuntai ke tanah.

...***...

Terpopuler

Comments

may

may

Pandu kangen bgt sama ayahanda ya? 😌

2024-10-20

0

૦ 𝚎 ɏ ꄲ 𝙚 ռ

૦ 𝚎 ɏ ꄲ 𝙚 ռ

lanjut baca ne sesuk mawon lah,
wedi aku mbakVi..

2024-02-20

0

App Putri Chinar

App Putri Chinar

fixs....awan2 mocone gae mrinding, apalagi nek wengi🙈

2024-02-17

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!