Pandu melongok ke luar, batu-bata merah setinggi dua meter yang melingkari kediaman Dewi Laya Bajramaya jauh dari penjagaan ketat prajurit jaga di akses keluar masuk gapura depan.
Pandu meraih tombak beracun di lantai seraya mengangguk kepada sahabatnya. Gegas mereka keluar dari kamar sang Dewi dengan perasaan waspada dan ketrampilan seorang pelari handal.
Mereka berlari menelusuri batu yang di susun serupa jalan setapak ke arah pintu gerbang.
Dua prajurit penjaga tersentak dengan penyerangan yang di lakukan Pandu secara mendadak dengan tombaknya.
Genta menurunkan Laras seraya membantu Pandu yang tidak pandai berkelahi.
Laras sendiri langsung berusaha meraih kunci gerbang yang bergelantung di tembok dengan melompat setinggi mungkin.
“Siap!” jerit Laras setelah terjerembab ke tanah dan berguling, berdiri.
Genta meraih tombak yang di pegang Pandu seraya menghujamnya ke perut penjaga. Pekikan rasa sakit mengudara. Luka dan racun arsenik yang menyebar ke seluruh tubuh sang prajurit membuatnya bertekuk lutut, sorot matanya menghilang sebelum terjatuh. Mati.
“Keluar!” Genta berteriak kepada Pandu karena dia masih menangani satu prajurit yang bertubuh besar.
Pandu meraih Laras ke dalam gendongannya sebelum keluar dari pintu gerbang. Berjarak sepuluh meter dari pintu gerbang, keduanya terpental seolah ada kaca transparan yang membungkus istana Dewi Laya Bajramaya. Tidak nampak, namun ada.
Pandu mendengus, dia mengucapkan sebait mantra seraya berusaha bersinergi dengan Tuhan di tengah kemelut detak jantung dan kejaran para prajurit yang diperintahkan Dewi Laya Bajramaya ketika dentuman tak bersuara menggema di benaknya..
Pandu kembali berusaha menebus dinding energi, dia kembali terpental. Ia melakukannya lagi dengan memanggil nama ibu dan ayahnya sampai bahunya terasa sakit namun kembali dia tersungkur. Tubuhnya bergetar.
Tidak ada cukup kekuatan, pikir Pandu ketika napasnya mulai surut dan prajurit penjaga menodongkan tombok ke arahnya. Pandu memalingkan wajah ke arah Genta saat Laras berteriak-teriak.
Prajurit Dewi Laya Bajramaya memegangi bahu Genta dengan sang Dewi Laya Bajramaya yang berdiri di belakangnya. Mukanya serius menatap Pandu. Sedikit cemberut kala Pandu memalingkan wajahnya seakan enggan menontonnya.
“Ki Pawiro di mana?” tanya Pandu.
“Kurungan!” Laras membantu Pandu berdiri. Ajaib, dia merasa kembali menjadi manusia, tidak bisa menembus benda padat lagi namun bisa menyentuh, makan dan berkaca dengan efek yang terasa. Tidak hampa.
“Aku ingin menemuinya, tapi bidadari demit itu sepertinya akan menyusahkan sekarang, Ras!” tukas Pandu.
Laras mengambil batu lalu melemparnya ke arah Dewi Laya Bajramaya yang mendekat.
Batu itu terpental tanpa sempat menyentuh kulit Dewi Laya Bajramaya.
Laras kembali melemparinya batu lalu bersembunyi di belakang Pandu. “Aku ingin melihat sosok yang sebenarnya, Ndu.” bisiknya.
Dewi Laya Bajramaya yang membawa nampan berisi cobek dan ulekan serta tanaman sakti dari kebun bersimpuh di depan Pandu. Dia menarik napas.
“Kau menyakiti hatiku dengan berusaha kabur dari sini, Pandu.” Dewi Laya Bajramaya berwajah sedih sambil menyentuh dadanya.
Pandu memutar mata. Cuek.
Laras berbisik. “Dia bersandiwara!”
“Pandu!” potong Dewi Laya Bajramaya kesal. “Saya bisa bertindak lebih jahat dari ini. Itu temanmu Genta bisa saya binasakan sekarang!” Dewi Laya Bajramaya menatap wajah Pandu dengan menyesal.
Pandu menggelengkan kepalanya. “Kamu cantik, penggoda, tapi saya tidak suka dengan caramu yang jahat itu.” kritiknya dengan lugas.
“Maka dari itu baik-baik padaku, Pandu!” tuntut Dewi Laya Bajramaya.
Sesuatu dalam diri Pandu terpelintir. Bermain-main dengan mahluk sepertinya harus pandai-pandai berakal sehat dan tegas, iya-iya, tidak-tidak, tidak boleh ragu. Dan selama belum ada bantuan datang, Pandu tidak ingin sahabat-sahabatnya binasa apalagi dirinya sendiri meski harus oh Gusti menuruti bidadari tengil itu.
“Sudah kamu obati saja lukaku dan lepaskan temanku. Saya salah berusaha kabur. Maafkan saya.”
“Kau paham akhirnya.” Dewi Laya Bajramaya tersenyum lalu menumbuk tanaman sakti pengobat luka. Dengan gemati dia mengolesi luka Pandu dengan daun-daun hijau berair.
Pandu mendesah, matanya berputar, dia tidak seyakin itu langsung mengalah untuk Dewi Laya Bajramaya. Dia hanya ingin balik mempermainkannya dengan perhatian dan welas asih sebelum menjebaknya. Tapi apa semudah itu?
Pandu menelan ludah. Rasa perih itu menjalar ke mana-mana. “Cukup!”
Dewi Laya Bajramaya menghentikan usapan daun di pergelangan kaki Pandu lalu menuangkan air kendi ke dalam gelas tanah liat.
“Minumlah.” Suara Dewi lembut, mendesak. “Garis-garis di wajahmu terlihat berkerut. Ini bisa membantumu pulih—”
“Terus berusaha kabur lagi dari sini.” timpal Laras.
Sekilas rasa terkejut melintasi wajah Dewi Laya Bajramaya. “Kalau begitu tidak perlu minum!” Ia membuangnya.
Dewi Laya Bajramaya mengira Pandu akan mengomel dan memarahinya. Tapi pemuda itu hanya berkata, “Bawa saya ke kamar saja dan kau bisa memberikan pelayanan dari rumahmu untuk laki-laki yang kau anggap suamimu secara sepihak ini!”
Dewi Laya Bajramaya tergelak. Dia menyilangkan kedua lengannya di depan dadanya.
“Apakah ada alasan lain kau tidak ingin pergi dan menolak saya?”
“Kau tahu sebabnya!” Pandu senewen.
Mata bidadari itu bercahaya dan sedih. Hening. Lalu bayang-bayang berisik. Angin datang, Dewi Laya Bajramaya beranjak. Dengan kekuatan tak terduga ia menyeret tubuh Pandu ke dalam kamarnya.
Pintu-pintu tertutup rapat, kewaspadaan dini ditingkatkan. Pandu merasa rasa sakit di pergelangan tangan dan kakinya sembuh. Namun sikap waspada sang Dewi membuatnya penasaran.
“Kenapa?”
Dewi Laya Bajramaya tidak bisa bergerak, nyaris tidak bisa bernapas seperti tercekik ketika seluruh energinya ia gunakan untuk melambatkan waktu dan menutup dimensinya lebih tebal.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
App Putri Chinar
bala bantuan datang
2024-02-17
0
Ariani81Desi
Bagus deh si dedemit nggak bisa nafas😤😤😤😤
2023-10-03
0
ise ruby
go Pandu Go! hehehe
semoga segera bantuan datang
kasihan tenaganya ntar habis
2023-09-28
0