Setelah mengantar Dhanu ke pelataran rumah, Nanang menatap kertas di tangannya, lalu kepada Rinjani yang menyipit mata melawan matahari siang ia menggeleng berat seolah menggambarkan situasinya.
“Kita harus ke sana langsung!”
Rinjani mencegah Nanang pergi dengan memegangi kemejanya. “Apa isinya?”
“Hanya permintaan tolong dan peringatan. Pandu masih baik-baik saja di sana. Percayalah!”
“Mana mungkin aku percaya!” sahut Rinjani setengah asam. “Pamitnya hanya camping di camping ground, dia malah niat bertapa dan nikah dengan bidadari. Yungalah, tole. Nasibmu kok lebih ekstrim toh.” keluh Rinjani lalu meremas bunga melati yang tertanam di dekatnya.
Nanang berdehem, “Daripada kamu remes-remes begitu, mending di petik saja dan bawa ke tempat Pandu nanti!”
Rinjani mencelos, dengan kemrungsung dia masuk ke kamar putranya. Lalu menatapi foto-foto anaknya yang tersenyum menawan.
“Kalo sekelas bapakmu yang cuek bebek dan menyebalkan saja digandrungi banyak wanita, apalagi kamu Le yang friendly dan ketampananmu melebihi bapakmu.” Rinjani mendengus. Teringat suami. “Ibu pasti jemput kamu, kamu jangan macam-macam sama bidadari itu, ribet urusannya!”
Pandu mengerjapkan mata seraya memejamkan matanya erat-erat. Bagian belakang tubuh Dewi Laya Bajramaya yang putih resik dan tanpa terlihat adanya tulang belakang yang menonjol terlihat jelas di matanya. Basah oleh air kembang yang di siram ke tubuhnya.
Gimana caranya lolos dari sini? Ki Pawiro, Genta?
Di kurungan sempit dan berbau rokok klobot tanpa makanan dan minuman. Laras rewel. Lapar. Acara jalan-jalannya yang harusnya ia pikir menyenangkan berubah menjadi kekacauan.
“Ki Pawiro kok diam saja toh?” Protes Laras. “Ayo bawa kita pulang. Kasian Pandu.”
“Tempat saya sejatinya di sini.” gumam Ki Pawiro.
Genta menyentakkan kepala ke samping, setengah melupakan kesan pertama di kurung di dimensi lain oleh kuasa yang membuat energinya lenyap. Dia tidak bisa menebus mata batin Pandu.
“Apa maksud Ki Pawiro?” tanya Genta dengan suara dingin. “Apa Ki sengaja menjebak Pandu agar bertapa di tempat Ki Pawiro?” tukasnya dengan suara laki-laki dewasa, marah.
Ki Pawiro yang duduk bersila seperti seorang pertapa membuka matanya. Menatap Genta.
“Lebih baik kau simpan saja tenagamu sampai bala bantuan datang! Kunci itu ada di Pandu.”
Ada hening. Kemudian Genta menggoyang-goyangkan teralis besi sekuat tenaga sampai prajurit penjaga mendatanginya.
“Diam!” ucapnya sambil menudingkan tombak.
Dengan ngeyel, Genta tetap membuat gaduh kurungan hingga membangkitkan rasa penasaran tahanan lainnya. “Beri kami makan atau lepaskan kami. Kami tidak akan kabur, tuan kami masih tertahan di kamar bidadari!” serunya gak gentar.
Dua prajurit penjaga yang perawakannya mirip Ki Pawiro dan kostumnya nyaris sama mengangguk. Mereka menunjukkan izinnya dengan membuka kurungan. Sebuah ayunan tangan dan todongan tombak mencegat larinya Laras dari kurungan.
“Tidak boleh keluar dari pagar rumah, dan tidak boleh mengganggu tuanmu dan sang Dewi!”
Genta yang cerdas, seksi, dan penuh sensasi mengangguk. Ia menggapai tangan Laras. Ada ketajaman dalam suara saat menasihatinya.
“Nurut! Atau kau akan binasa di sini.”
Laras yang berusia seratus tahun lebih memutar mata karena harusnya ia lebih tua dari Genta terhitung sejak tanggal kematiannya. Hanya saja usia mati tak wajarnya yang tergolong lebih muda dari Genta membuatnya terperangkap dalam tubuh bocah kecil memperihatinkan. Rambut kusut, mata sayu, dan badan membungkuk.
“Ki Pawiro tidak ikut?” tanya Laras.
“Saya sedang berusaha menebus dinding dimensi.”
Genta menarik Laras untuk mengikuti prajurit penjaga keluar dari ruangan yang sama sekali tidak di masuki cahaya. Mereka di bawa ke sebuah koridor. Suasana sepi seakan penduduk desa masih di ladang.
Berhawa tenang meski tiada cahaya matahari di sana. Genta dan Laras duduk-duduk di sana sambil mengamati sekeliling. Kereta kuda seliweran, Laras termangu.
“Suasananya seperti hidupku dulu!”
“Kamu malah nostalgia. Pikirkan itu Pandu sekarang!” sergah Genta.
Laras menengok ke bangunan tersendiri yang ada di belakang bangunan utama yang terbentuk seperti candi kecil dari batu-bata merah.
“Paling-paling dia pusing!”
Di kamar, Pandu memunggungi Dewi Laya Bajramaya yang sedang berpakaian sambil mendendangkan kidung dengan merdu. Wewangian yang tidak pernah surut dari kamar itu membuat Pandu terbatuk-batuk.
“Sudah bangun?” Dewi Laya Bajramaya mengelus punggung Pandu yang tidur di lantai beralaskan tikar rotan.
Pandu merinding, tanpa berusaha melihat sang bidadari, tangannya terjulur ke belakang, berusaha menepis tangannya.
“Pulangkan saya ke ibu. Saya niatnya ke sini hanya bertapa, tidak nikah, apalagi datang di acara ngunduh mantu keluargamu!”
“Alah, kakang.” Bidadari itu bergelayut di punggung Pandu, mendekapnya dari belakang sementara kepalanya berada di atas kepala Pandu.
Sekujur tubuh Pandu langsung merinding. Jantungnya hampir kolaps saking detaknya sangat lama.
“Tapi kamu datang memenuhi panggilan keluargaku. Itu sudah betul, kamu memang anak pintar, Pandu!”
“Saya kamu tipu!” sergah Pandu. Tangannya berusaha menyingkirkan rambut sang bidadari dari mengenai wajahnya pun dekapan di dadanya yang membelit pernapasannya.
“Pokoknya saya tidak berminat menjadi suamimu, saya manusia normal! Jadi lepaskan saya.”
“Alah kakang...” Dewi Laya Bajramaya merajuk, dia mengendorkan dekapannya namun tetap sisi tubuhnya menempel di tubuh Pandu yang meringkuk “Saya memang memancingmu untuk datang dengan memanfaatkan kesedihanmu. Terbukti kamu gampang terperdaya.”
“Licik!”
Dewi Laya Bajramaya tertawa dengan malas. “Sejak kamu dilahirkan ibumu dan pamong ayahmu berkata kamu sangat istimewa, saya menunggumu dengan sabar.”
Dewi Laya Bajramaya menepuk bahu Pandu dengan ringan. “Ki Pawiro membelot.”
“Pamong ayahku tidak membelot, Ki Pawiro tidak mungkin mengkhianati dirinya sendiri. Dia sudah bersumpah!” seru Pandu seraya bangkit. Ia memberanikan diri menatap Dewi Laya Bajramaya yang berbaring, lagi-lagi kecantikannya membuat Pandu mendengus.
“Saya tidak akan percaya denganmu.”
Dewi Laya Bajramaya balas menentang tatapan Pandu. Warna wajahnya menghilang. “Jadi kau tidak ingin mengakui saya sebagai istrimu. Apa saya kurang cantik?”
Pandu mengepalkan tangannya lalu mengesot mundur saat wajah dan bentuk tumbuh Dewi Laya Bajramaya mendadak berubah-ubah dengan begitu lentur. Dan ia menjelma menjadi sosok ayu Aisyah, bermata hitam, bertumbuh ramping, wajah teduh dan senyum manis menyenangkan.
“Kau menginginkan saya yang seperti ini? Aisyah Rani?”
Pandu ragu-ragu, sebelum dia bisa menjawab, dia menelan ludahnya lalu memalingkan wajah.
“Aisyah tidak akan menggangguku, Aisyah gadis baik-baik anak pak Kyai. Berbeda denganmu!”
Dewi Laya Bajramaya membungkukkan badannya lalu merangkak ke arah Pandu. Dalam kecepatan itu, Pandu tidak bisa ke mana-mana selain hanya terpaku terpojok di dinding.
Wajah Dewi Laya Bajramaya mendekat, dia mengendus aroma Pandu dan menyerap energi yang keluar dari tubuhnya karena ketakutan.
“Kau sangat lezat, Pandu.” Lidah Dewi Laya Bajramaya menjilat pipi Pandu lalu meraup wajahnya. Matanya mendelik. Kuku-kukunya menancap di kulitnya.
“Terima saya atau saya akan bertindak kasar?”
Pandu meludahi wajah sang bidadari dengan tubuh yang gemetar. Dewi itu tersentak lalu menyeret tubuh Pandu ke ranjangnya seringai jelek.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
App Putri Chinar
hebat Ndu....berani banget
2024-02-17
0
Ida Miswanti
Ojo ngundang moloh Kuwi Ndu sakke Bunda
2023-11-27
1
Ida Miswanti
Waspada Ndu khawatir serangan Jantung 🤭😅
2023-11-27
0