Pandu menyerah pada tatapan Ki Pawiro yang terdiam saat ia membeberkan banyak pertanyaan penting mengenai keadaan saat ini. Kekecewaannya kian tebal saat Ki Pawiro hanya menjura seakan meminta maaf atas apa yang terjadi.
Pandu mengepalkan tangannya. “Ki Pawiro mengkhianati ku setelah ayahanda tiada? Apa itu menyakitkan setelah puluhan tahun ayahanda berkata Ki lah yang memberi petuah bijak mengenai hubungan Yanda dan Bunda? Apakah Pandu tidak cukup mahir menggantikan posisi Yanda hingga Ki Pawiro memilih mengantarku ke dimensi ini?”
“Kau cerewet seperti ibumu!” keluh Ki Pawiro.
“Benlah, ben wae aku cerewet seperti Bunda. Kalo Ki bermasalah harusnya Ki protes saat Yanda melepas Ki kepadaku. Tidak perlu seperti ini. Ibu pasti tambah sedih, tambah nangis terus gara-gara aku hilang!”
Dewi Laya Bajramaya mengelus punggung Pandu, berusaha menenangkan. Sayang usaha itu langsung di kritik Pandu dengan ketus.
“Kamu juga nempel-nempel terus, tidak tahu diri. Tidak sadar kamu berasal dari mana! Seorang hapsari seharusnya anggun sikapnya serupa anggun statusnya. Bidadari kok ganjen, genit, kemayu... Jahat lagi. Opo kui, ra beres!” sembur Pandu menjadi-jadi.
Kakang. Bibir Dewi Laya Bajramaya bergetar, kesulitan ia mengungkapkan balasan atas cibiran Pandu yang terasa seperti semburan api, tepat di wajahnya lagi.
Dewi Laya Bajramaya menatap Ki Pawiro. “Pergilah, tuanmu sedang tidak ingin berteman dengan pengkhianat sepertimu.”
Ki Pawiro berdiri. Dengan perangai tenang serupa awan-awan tanpa pergerakan yang membungkus dimensi itu. Dia memberikan hormat pada Pandu yang cuek bebek kepadanya.
“Belajarlah di mana pun kau berada, kau akan mengerti betapa sulitnya menjadi ayahmu!” Ki Pawiro menyentuh kepala Pandu. Mengusapnya, usapan lembut yang nyaris sama seperti milik ayahnya. Bertahun-tahun Ki Pawiro berlatih melakukan hal itu agar pewaris tahta kebanggaan Kaysan itu tidak kehilangan sentuhan ayahnya.
“Ki tidak mempunyai maksud apapun dengan membawamu ke sini, bertahanlah. Keluargamu bakal jemput!”
Yanda!
Pandu berusaha melepaskan dirinya dari ikatan selendang Dewi Laya Bajramaya. Keluarga yang hampir menjemputnya memberikan satu aksi yang menggemaskan bagi Ki Pawiro dan Dewi itu sendiri.
“Hentikan ikatanmu atau kamu bakal menerima kemarahanku lagi!” Ancam Pandu dengan mata mendelik.
“Coba saja, Pandu. Saya sudah menerimamu dengan segala kurang dan lebihmu.”
”Gendeng!”
Pandu menginjak kaki Dewi Laya Bajramaya yang setiap harinya berjalan tanpa alas kaki.
Dewi Laya Bajramaya jelas menjerit, di luar nalar, jeritannya masih merdu, tidak menyakiti kuping Pandu apalagi membuat pemuda itu semakin marah. Pandu justru berdecak dan menyuruhnya menjadi sinden atau panduan suara.
Dewi Laya Bajramaya memukul dadanya, gemas sekali pada pemuda satu itu.
“Sakit kakang! Bukankah kemarin kakang bilang lelaki tidak kasar? Ah, kakang jahat sekali. Kakinya jadi sakit ini!”
Pandu memutar mata, sakti kok diinjak saja mengeluh. Aleman. Kebangetan. Gini kok mau jadi istriku!
Pandu menarik napas, tapi ucapan Ki Pawiro sepenuhnya telah menyita perhatiannya dari wajah ayu yang cemberut itu.
Bunda dan Om Nanang pasti datang, dua insan itu pasti mumet banget aku hilang dan tiba-tiba nikah. Dhanu pasti juga stress ini dan memutuskan tali silaturahmi. Kasian mereka, tapi lebih kasian aku.
Pandu berwajah lesu, sampai kapan aku di sini, Dewi ini pasti tidak membiarkan aku lepas dengan mudah. Dia pasti menurunkan bala bantuan pengganggu untuk mengacaukan pencarianku.
Dewi Laya Bajramaya melepas ikatan selendang di tubuh mereka. Namun itu tidak serta-merta membuat Pandu langsung kabur. Cowok itu justru hanya pergi untuk duduk-duduk di emperan puri yang menghadap ke kolam pemandian.
“Pandu.” Dewi Laya Bajramaya memanggilnya dengan tubuh yang bergeming di tempat Pandu menginjak kakinya tadi. “Pandu, kemarinlah.”
“Ono opo meneh?”
“Bawa istrimu ke kamar.” jawab cethi yang menerangi Pandu dengan obor.
Pandu jelas mendesah lelah, ada-ada saja kelakuan Dewi Laya Bajramaya itu. Kelakuannya sudah seperti istri sungguhan. Apa ia tidak berpikir, ia adalah mahluk gaib yang sejatinya slalu bisa bertindak di luar nalar, tidak perlu manja seperti itu. Tidak seharusnya ia jatuh cinta dengan manusia dan merusak batasan-batasannya. Meski Pandu sejatinya juga memahami hal seperti ada.
Tapi kenapa harus diriku?
“Pandu.” Dewi Laya Bajramaya memanggilnya lagi dengan intensitas sering. “Istrimu memanggil, swami. Tidakkah kamu menjawabnya?”
Pandu menggaruk rahangnya lalu beranjak. Lama-lama bisa stress dia di panggil terus-menerus seperti itu.
“Apa ada?” tanyanya ketus.
“Bawa aku ke kamar, kakiku sakit.” Dewi Laya Bajramaya mengangkat kedua tangannya. Parasnya yang ayu memang terlihat menggemaskan, tapi bagi Pandu yang secuil pun tidak mau mengakui kecantikannya. Keadaan itu justru menjengkelkan lagi dan lagi.
“Bukannya kamu bisa terbang? Bisa turun kahyangan? Mbokyo usaha ke kamar sendiri gitu, punya pelayan juga kok. Minta di tandu sana.”
“Aku meminta pertanggung jawabanmu, swamiku. Kamu telah menginjak kakiku!” tuntut Dewi Laya Bajramaya dengan murka.
Pandu menatap kaki resik di depan kakinya yang bahkan merah pun tidak. Kaki itu tetap cantik dan bagus seperti tidak pernah melakukan perjalanan berat apalagi terinjak kakinya yang tidak sebesar raksasa.
“Yowes, biar urusan kakimu cepat selesai aku antar kamu ke kamar. Tapi jangan ngelunjak! Paham?”
“Paham, kakang.” Dewi Laya Bajramaya menyaksikan Pandu yang sedang membopongnya dengan ekspresi kecut.
“Harusnya besok istriku di bumi yang aku perlakuan seperti ini, kok malah sama demit.” Pandu menendang pintu kamar.
Dewi Laya Bajramaya tidak peduli, selamanya dia tidak akan peduli dengan ejekan Pandu. Dia bidadari, mahluk gaib yang kecantikannya tak bertepi. Dia unggul di atas para entitas demit dasaran yang sering berinteraksi dengan Pandu dan hal itu tidak akan mengubah apa pun kendati Pandu terus menolaknya.
Pandu meletakkan Dewi Laya Bajramaya di ranjang. “Sudah to? Minta para cethi untuk melayanimu, aku mau nunggu keluargaku datang!”
Sontak pintu tertutup seakan tertiup angin. Selendang yang tadinya hanya sepanjang dua meter memanjang, berjalan dengan sendirinya hingga membelit tubuh Pandu, menjadikannya kepompong. Hanya wajahnya yang terlihat.
Sebal, Pandu memejamkan mata. Susah di tebak Dewi ini. Habis di manja-manja bukannya senang masih aja senewen.
Dewi Laya Bajramaya meringis, dia gantian membopong Pandu dan menidurkannya di ranjang.
Dewi Laya Bajramaya membelai pipi Pandu dengan ujung jarinya. “Saya telah menurunkan lima prajurit untuk menghalau keluargamu. Nanang? Om kamu? Ayahmu membencinya.”
Pandu menjulurkan lidahnya dengan sikap tak acuh. “Mahluk sepertimu penuh tipu muslihat, aku tidak akan pernah percaya apapun yang kamu katakan tentang keluargaku! Terlebih katamu hanya menjelek-jelekkan mereka.”
Dewi Laya Bajramaya masih membelai pipi Pandu meski terang-terangan lelaki itu enggan di sentuh olehnya.
Pandu menghela napas. “Apa yang kamu inginkan dariku?”
“Kamu dan cakra yang ada di dalam tubuhmu!”
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
App Putri Chinar
itu udah berapa hari Ndu ga makan minum ya,aq jadi kepikiran.kan kasihan 🤣
2024-02-18
0
App Putri Chinar
idep2 latihan Ndu🤭
2024-02-18
0
App Putri Chinar
hhhhhhhhhhhhhh...aleman Yo ndu
2024-02-18
0