Matahari terik seperti biasanya, tetapi tidak panas. Angin sepoi-sepoi menjadikan hari ini sangat tepat untuk bersantai.
Hembusan angin lembut menerpa wajahku.
Ah ... damainya.
"Kau sangat menikmati saat-saat seperti ini, ya?" Bu Daiva bertanya.
Yah ... Sebenarnya tidak begitu damai karena masih ada dia di sampingku, sedangkan Devdan pulang duluan, katanya ada urusan.
Kami juga masih berada di istana kerajaan, berkeliling sebentar di taman istana sambil mengirup udara segar.
Kalau dilihat lagi, taman ini sangat luas. Bentuk bulat, semak-semak yang sangat tinggi bahkan lebih tinggi dari tubuh manusia, dipotong dan disusun berpola menjadikannya tampak seperti labirin.
Apa ini memang labirin?
Aku harus menjernihkan pikiran karena akhir-akhir ini banyak sekali hal merepotkan yang terjadi. Salah satunya dan yang paling parah adalah hari ini.
"Jelas, aku hidup memang untuk saat-saat seperti ini." Aku menjawab pertanyaan Bu Daiva sambil menarik napas panjang.
"Hidup untuk saat-saat seperti ini? Lalu, apa yang akan kau lakukan jika momen seperti ini direnggut dari mu?"
"Akan segera kuhancurkan orang yang melakukannya dan segera kurebut kembali hari-hari damaiku." Tanpa sadar wajahku mengeras.
"Oh? Jika sebuah negara yang melakukannya?"
"Aku tak peduli, akan tetap kuhancurkan."
"Kenapa kau menjadi sangat sentimental hanya untuk alasan seperti itu?"
"Hanya? Jangan remehkan tujuan hidupku." Aku menatapnya tajam.
Dia sedikit tersentak.
"Ya, ya, maafkan aku. Tetapi, kupikir kau ini orang yang sangat berpendirian."
"Tentu saja."
"Ngomong-ngomong, sayang sekali, ya? Padahal kau belum mengenal ke-10 orang lainnya, tapi mereka sudah gugur, kecuali Devdan."
"Maksudmu 'The Ten Rulers' palsu yang ada di sekolah?" tanyaku, berjalan mengitari air mancur taman istana.
"Bisa dibilang begitu ... tetapi, sepertinya kau akan bertemu dengan mereka tidak lama lagi, tidak sebagai teman, tapi sebagai atasan dan bawahan." Katanya, meledekku.
"Jangan mengatakan hal bodoh, kau membuatku kesal." Aku memperingatinya.
Dia benar, masih 16 tahun dan memiliki bawahan, sebuah prestasi yang patut dibanggakan.
Tidak buruk, namun merepotkan. Apalagi jika aku juga masih memiliki atasan.
"Ingin kembali?" Akhirnya dia mengajakku pulang.
"Ya."
"Ingin naik mobilku lagi?" Sebuah pertanyaan sarkastik keluar dari mulutnya.
"Tidak terima kasih, akan lebih cepat kalau aku sendiri." Balasku cepat.
Dia tersenyum kecut.
"Kalau begitu, jangan sampai mati di jalan." Kubalas kalimat sarkastik miliknya dengan milikku, lalu segera berteleport ke rumah.
Ingin cepat-cepat mandi lalu tidur, aku lelah.
[Keesokan harinya, Minggu]
"Tadi malam, Sabtu dini hari, pukul 1:37, terjadi pembunuhan masal di gedung Central Electronic, markas perusahaan elektronik terbesar di negara kita.
Korban jiwa yang terlaporkan sampai saat ini berjumlah 98 orang, mereka semua mati mengenaskan.
Tubuh korban dimutilasi sehingga setiap bagian tubuhnya sulit untuk ditemukan .... " Suara pembawa berita di televisi terdengar mengerikan.
Aku yang sedang sarapan pagi bersama Alicia mau tak mau mendengar apa yang diberitakan stasiun televisi hari ini.
"98? Banyak sekali!!" Alicia tidak dapat menahan keterkejutannya.
Dia terlihat sangat ketakutan karena Itu bukan jumlah yang sedikit, terlebih sang pelaku pasti sangat ahli.
Sadis dan tak berperasaan.
"Akhir-akhir ini makin gila saja .... " Aku mengatakannya karena ini bukan yang pertama kalinya.
Sebelumnya juga ada berita tentang pembunuhan masal dengan 10 korban jiwa.
Jika yang melakukan ini orang yang sama, mengapa korbannya meningkat drastis?
Apa tujuannya?
Aku meletakkan sendokku di atas piring yang masih penuh dengan makanan. Mendengar berita seperti ini membuatku tidak nafsu untuk melanjutkan sarapan.
Tiba-tiba ponselku bergetar.
Aku meraih ponselku, melihat layar dan mendapati nama seorang perempuan menyebalkan terpampang di sana.
Daiva.
Aku segera mengangkatnya.
"Ada apa?" tanyaku.
"Kau sudah melihat beritanya?" Suaranya terdengar serius.
"Maksudmu pembunuhan masal itu? Aku sudah melihatnya, apa hubungannya dengan telpon ini?"
"Raja Avanindra memanggilmu."
"Untuk apa?"
"Sepertinya dia ingin kau bekerja dalam kasus ini."
Oi, oi ... aku juga harus mengurus hal-hal seperti ini?
Tetapi tugas pasukan kerajaan memang ada yang seperti ini sih ....
"Kau serius? Hanya aku saja?"
"Ya, tapi kau hanya akan menemani seorang Laksamana Madya. Kurasa dia ingin memberimu pengalaman pertama sebagai pasukan kerajaan."
Hm?
"Kau tidak ikut?"
"Tidak, aku hanya akan menemanimu di istana untuk menemui raja sebelum kau bekerja."
"Jadi begitu ... baiklah, sampai jumpa di istana." Aku memutus telepon, merasa agak muak.
"Ada apa, Kak? Kau terlihat kesusahan." Alicia ternyata diam-diam memperhatikanku.
"Tidak apa-apa, aku akan keluar sebentar."
"Tumben sekali ... kau punya urusan atau semacamnya?"
"Seperti itulah."
Setelah menghabiskan sarapan dengan cepat, aku mengambil jaket berwarna hitam yang digantung dekat pintu dan memakainya.
"Aku berangkat."
"Hati-hati di jalan!"
Gelembung kecil mulai menyelimuti tubuhku.
Plop
Lalu aku menghilang bersamaan dengan meletusnya gelembung tersebut.
[Di istana]
Aku muncul tepat di tengah aula kerajaan.
Raja duduk di singgasananya dengan dua orang yang tengah berlutut di hadapannya.
Bu Daiva dan seseorang yang belum kukenal.
"Ah ... Aray, selamat datang! Cara muncul yang sangat fantastis." Raja Avanindra menyapa.
Aku berlutut dan memberi salam.
"Selamat pagi, Yang Mulia, senang bertemu dengan anda." Aku hanya basa-basi.
"Hahaha ... dari wajahmu terlihat kalau kau tidak menyukai panggilan mendadak ini, lho!"
Aku menunduk, tak menanggapinya.
"Aku memanggilmu untuk melakukan suatu pekerjaan ... kau tau pembunuhan masal itu, kan?"
"Ya, saya tau."
"Aku ingin kau menyelidikinya kemudian menangkap pelakunya, juga gali informasi sebanyak mungkin. Kau akan ditemani oleh Laksamana Abner."
Aku menangkap sosok berambut hitam, kacamata hitam dengan wajah yang sangat serius dan terlihat kaku dari ujung mataku.
"Baik, Yang Mulia."
"Dan kalian bertiga tidak harus selalu berlutut setiap bertemu denganku, itu membuatku terlihat seperti orang yang membosankan." Dia tertawa.
Aku melirik Bu Daiva, ia mengangguk, lalu kami bertiga berdiri.
"Kalau begitu, tolong bimbing Aray!" pinta Raja Avanindra pada Abner.
"Baik, Yang Mulia." Jawab pria itu tegas.
Tipe orang yang selalu mengikuti peraturan. Itulah kesan pertamaku padanya.
Ketika Raja Avanindra telah meninggalkan aula kerajaan, Abner berbicara kepadaku.
"Kau! Aku dengar umurmu baru 16 tahun, aku penasaran apa yang bisa bocah sepertimu lakukan. Jika tidak bisa membantu, jangan menghalangi!" teriaknya kepadaku, memuncratkan air liurnya, lalu pergi meninggalkanku.
Muncul lagi orang yang menyebalkan.
Aku heran mengapa orang-orang selalu meremehkan orang yang baru mereka temui.
"Tak usah dihiraukan, di kerajaan ini memang banyak yang sepertinya." Bu Daiva memegang pundakku, menenangkan.
"Aku memang tidak peduli, kuyakin dia akan terkena sialnya sendiri."
"Yah ... aku yakin kau akan baik-baik saja. Aku rasa pembunuhan masal ini ada hubungannya dengan serangan dari negara Utara, jadi sebaiknya kau gali informasi sebanyak mungkin dari sang pelaku."
"Itu mudah." Balasku singkat.
Tanpa banyak bicara lagi, aku langsung berteleportasi ke TKP, Central Electronic.
Aku muncul tepat di depan gedung CE.
Gedung ini sangat tinggi, dengan fasilitas lengkap yang memanjakan karyawannya, tak heran bila banyak yang bekerja disini.
Tapi karena kejadian semalam, gedung ini sudah seperti rumah hantu saja.
Sama sekali tidak ada orang.
Aku berjalan memasuki lobi gedung CE, menoleh kesana-kemari, memeriksa keadaan.
Aku rasa aku harus mulai dari sini.
"Tracking."
Udara-udara tipis keluar dari tubuhku, bergerak secara terpisah, berpencar ke seluruh bagian dalam gedung ini, bahkan sampai bagian yang tak dapat dijangkau oleh manusia.
Dengan udara-udara itu aku dapat melihat, merasakan dan menemukan apa yang ingin kucari.
Aku merasakan hawa pembunuhan yang terjadi tadi malam, rasa takut para korban, teriakan mereka ketika disiksa dan dipermainkan oleh sang pelaku.
"Toloooong .... " Teriakan mereka terdengar jelas di telingaku.
Aku pun bisa merasakan kesenangan, rasa bahagia si pelaku ketika membunuh para korban.
Sayangnya semua yang kurasakan saat ini adalah apa yang para korban rasakan tadi malam.
Aku tidak bisa menolong mereka.
Biasanya aku tidak peduli, namun entah mengapa aku merasa kesal kali ini.
Udara-udara tersebut telah bekerja dengan baik, bergerak kembali kepadaku.
Dengan kemampuan pencarianku, tempat pembunuhan dan lokasi mayat yang belum diketahui keberadaannya berhasil ditemukan dalam waktu yang sangat singkat.
"Kau! Bagaimana bisa kau sampai sini lebih dulu? Padahal aku sudah mengendarai sepeda motor lebih cepat dari biasanya." Abner berlari masuk ke lobi gedung dan langsung berteriak.
Aku menoleh mendengar ocehan itu dari orang bodoh yang banyak bicara.
"Tak usah banyak bicara, aku tidak ingin mendengar bacotanmu, kerjakan saja apa yang ingin kau kerjakan." Tatapku sinis.
"Huh ... Aku tidak peduli kalau kau datang lebih dulu daripadaku, palingan kau juga belum melakukan apapun."
"Terserah kau saja, aku duluan."
"Kau mau kemana? Jangan berlagak seperti kau mengetahui lokasinya saja."
Benar-benar orang yang penuh dengan iri dan dengki.
"Search." Tiba-tiba dia menggunakan kemampuannya.
Udara terasa sangat ringan, benda-benda yang ada disekitar ku mulai bercahaya, mengeluarkan energi misterius.
Tapi itu hanya terjadi sesaat.
"Aku menemukannya, tempat para korban yang belum ditemukan."
Oh? Hanya dalam hitungan detik?
Ternyata dia tidak terlalu buruk.
Dia langsung berlari melewatiku. Karena lift tidak bisa digunakan, dia berputar, berlari menaiki anak tangga.
Dia melakukan hal merepotkan seperti itu dengan sangat bersemangat.
Tapi maaf saja, aku tidak akan melakukan hal semacam itu.
Ketika dia sampai TKP, aku telah berada di sana, menatap tubuh para mayat yang terpisah-pisah.
Sungguh mengenaskan.
"Bagaimana–" Kata-katanya tertahan melihat tubuh para mayat yang tenggelam oleh lautan darah.
"Ini adalah tubuh para korban yang belum ditemukan. Karena ini berada di ruangan yang sangat tidak terlihat oleh orang biasa, kau tadi membuka pintu itu menggunakan kekuatan, kan?" Tanyaku.
"Ya, karena memang ruangan ini tidak terlihat dari luar. Pelaku menggunakan jurus penangkal, jadi aku menggunakan jurus pembalikan untuk menetralkan sihirnya. Melihat pintu itu, maka bisa dipastikan kalau pelaku adalah seseorang yang juga memiliki kemampuan." Dia menarik sebuah kesimpulan.
"Memang begitu, dan dengan ini aku sudah mengetahui tempat persembunyian pelaku." Aku tersenyum.
"Ha? Bagaimana bisa kau melakukannya? Lagipula darimana kau datang? Tiba-tiba kau sudah ada disini saja." Abner terlihat bingung.
"Kau terlalu banyak bertanya. Diam dan ikuti aku. Ah... Kau tidak akan bisa mengikuti ku, jadi aku akan memberitahukan lokasinya."
"Jangan meremehkanku. Apa yang bisa bocah sepertimu lakukan?"
Aku tidak memperdulikan ocehannya.
"Lokasinya adalah ruang bawah tanah."
"Ruang bawah tanah? Jangan bercanda, tidak ada tempat seperti itu dalam gedung ini!"
"Berisik."
Lalu aku berteleportasi meninggalkannya sendirian dalam ruangan penuh darah itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
IG: _anipri
kayaknya Aray mulai serius nih
2022-08-21
0
re_tacky
btw ada yang bisa menjelaskan konsep teleportasi nya? kan kekuatan dia itu imajinasi, tapi kalau saat teleportasi ga ada syaratnya ya?
misalkan ingin ke bulan, nah dia harus seenggaknya pernah menginjakan kaki atau melihat foto tanah di bulan, seperti itu
2022-06-25
0
yang baca anak tolol
aku aku aku
2021-05-01
0