Berbaring di atas kasur empuk dan tak melakukan apapun. Hari Minggu yang sangat indah.
"Kak Aray! Kau tidak ingin pergi kemanapun?" tanya Alicia yang tiba-tiba bersender di pintu kamarku.
"Tidak terimakasih."
"Aku ingin pergi belanja dan menonton film yang sedang tenar-tenarnya saat ini. Kau tidak ingin menemaniku?"
"Tidak terimakasih."
"Jika kau tidak ingin keluar rumah, setidaknya lakukanlah sesuatu. Bukankah kau sudah menuliskan kegiatan yang ingin kau lakukan hari ini?" Alicia berjalan ke arah meja belajarku, mengambil kertas yang tergeletak di atasnya.
"Ini kan jadwalnya?" tanyanya, membaca isi kertas tersebut.
Wajahnya yang manis seketika terlipat, cemberut. "Apa-apaan ini? Disini tertera 20 kegiatan yang ingin kau lakukan hari ini. Namun semuanya ditulis 'tidak melakukan apapun'. Kalau seperti ini mengapa kau menuliskannya?"
Aku tidak menjawabnya, menatap kosong ke luar jendela kamar. "Cuaca nya cerah, ya?"
"Huh ... Jadi kau tidak akan melakukan apapun?" Dia menyerah untuk mengajakku ikut bersamanya.
"Karena kau tidak ingin menemaniku, aku akan pergi beberapa saat lagi dengan teman-temanku. Jangan lupa untuk mengunci pintu rumah, ya!" pinta Alicia, pergi dari hadapanku.
"Ya."
Tetapi, saat itu aku tidak menyadari bahwa keputusanku untuk tidak ikut bersamanya akan menimbulkan efek yang sangat besar.
[Keesokan harinya]
Mengapa hari Minggu terlewati begitu cepat?
Aku tidak benar-benar menikmati hari liburku karena suatu kejadian.
Tuhan! Aku mohon kembalikan liburanku!
Kini, pelajaran olahraga tengah berlangsung, Pak Roy berencana menguji kekuatan fisik kami semua.
Dan ini bagaikan neraka bagiku karena disuruh berlari keliling lapangan olahraga yang hampir sebesar stadium sepak bola ini.
Para murid dibagi menjadi beberapa kelompok beranggotakan 5 orang untuk tes lari ini.
"Aray, segera bersiap di posisimu!" teriak Pak Roy dari samping garis start.
Sepertinya giliranku telah tiba. Aku melangkah menuju garis start, melirik Pak Roy sekejap lalu bersiap bersama ke-5 orang lainnya, mengambil ancang-ancang.
"Bersedia ... "
Semuanya bersiap.
"Siap ... "
Kami mengangkat bokong pertanda siap berlari, memasang wajah serius.
"Mulai!"
Kami mulai berlari.
Murid lainnya yang berdiri di pinggir lapangan memperhatikan kami dengan saksama.
Jika seperti ini aku akan malu. Setidaknya aku harus berada di posisi ke-3. Namun, baru beberapa langkah berlari aku ngos-ngosan, terjatuh.
"Hah ... Hah ... Hah ... "
Lelah sekali.
Para murid perempuan yang melihatku terjatuh mulai berteriak, sedangkan Pak Roy segera berlari mendekatiku. "Oi, Aray! Kau tidak apa-apa?" tanyanya, mengguncang tubuhku.
Aku membuka mata perlahan.
"Ha? Ya. Aku baik-baik saja." Aku terkejut melihat para siswa berkumpul mengerumuniku, penasaran.
Pak Roy menatapku iba. "Aku tidak tau kau memiliki tubuh yang begitu lemah."
"Maaf. Aku tidak pernah berolahraga."
Wajah anak perempuan terlihat seperti sangat mengkhawatirkanku, berbeda dengan anak laki-laki yang malah tertawa terbahak.
Mereka tidak mengerti apapun.
"Jika kau memang sudah tidak kuat, beristirahatlah di pinggir lapangan."
"Baik, Pak."
Hari senin benar-benar hari yang menyebalkan.
Alvarado yang melihat kejadian barusan berlari menghampiriku yang duduk di pinggiran lapangan, menyapa, "Kau lemah sekali, ya?"
Kata-kata pembukaan yang sangat bijak.
"Apa kau bilang?" Aku tersinggung.
"Ah ... Maksudku itu tubuhmu. Tubuhmu sangat lemah." Melihat ekspresi tidak senangku, Alvarado memperbaiki kalimatnya, menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Aku sedikit lebih tenang sekarang.
"Eh, Aray. Kau sudah mendengar tentang 'The 10 Rulers'? Katanya, mereka adalah siswa paling berbakat di sekolah ini."
"Mereka menyebut diri mereka sendiri dengan nama aneh itu? Seharusnya mereka malu." Jujur aku tidak menyukainya.
Tapi tentang 10 orang itu aku sudah mendengarnya baru-baru ini.
"Yah ... Bukan mereka sendiri yang menyebut diri mereka seperti itu. Para siswa lah yang melakukannya."
"Oh." Balasku singkat.
"Kudengar peringkat pertamanya adalah Devdan, anak kelas 1 sekaligus Ketua OSIS itu."
Aku tidak menyangkalnya. Jika memang ada peringkatnya, sudah jelas dia yang akan jadi yang pertama.
Kemampuan mengendalikan waktu.
Licik sekali.
"Dan kudengar lagi seluruh anggota 'The 10 Rules' juga bagian dari OSIS atau setidaknya mereka pernah menjabat sebagai OSIS, karena mereka tidak hanya dari kelas 2 saja, dari kelas 3 pun ada." Alvarado menarik napas, memenggal penjelasannya.
"Tapi katanya mereka hanya tinggal bersembilan saja, karena salah satu anggotanya dikeluarkan dari sekolah." Lanjutnya.
Aku mendengarkan dengan seksama.
Ini lumayan menarik, namun juga membuatku kesal pada saat yang bersamaan.
"Kesepuluh orang ini berada langsung dibawah wewenang kepala sekolah. Jadi sepertinya kepala sekolah sedang mencari anggota yang baru untuk menempati posisi ke-10."
Dan kurasa dia telah menemukannya.
[Hari Minggu, Malam hari]
Bunyi dering telepon terdengar nyaring di telingaku. Sangat ... sangat mengganggu.
Sebenarnya nada menjengkelkan itu telah berbunyi sejak 5 menit lalu secara terus-menerus, tetapi akibat kemalasan yang merajalela aku tak dapat mengangkatnya.
Mengacaukan aktivitasku saja.
Dengan presentase gerak 1% dan 99% kemampuan praktis, telepon genggam terbang melayang terangkat dari atas meja belajarku, bergerak lembut menuju atas kasur, tepatnya genggamanku.
Sesaat aku terpikirkan Alicia yang belum juga pulang. Apa panggilan ini darinya? Kulihat nama yang tertera di atas layar handphone.
Alicia.
Ternyata memang dia.
Suara telepon tersambung terdengar di telingaku hingga suara wanita paruh baya terdengar menjengkelkan,
"Halo, Aray."
Bahkan sebelum aku bersuara sedikit pun dia sudah berbicara, dan tentunya dia bukan Alicia.
"Siapa ini?" tanyaku sedikit waspada.
"Oh? Kau tidak mengingatku? Padahal beberapa hari yang lalu kita baru bertemu. Maaf untuk pertemuan yang sebelumnya, aku terlalu kasar." Suaranya agak tipis dan ringan. Seorang perempuan.
"Bu Daiva," lirihku pelan. Mungkin dia tak dapat mendengarnya.
"Benar sekali."
"Apa yang kau lakukan? Di mana Alicia?"
"Adikmu? Ah ... Dia baik-baik saja. Paling tidak hanya ada beberapa tali yang mengikatnya, membuatnya tidak bisa bergerak ... " Jelasnya santai.
Mendengarnya, emosiku tersulut. Tetapi sebuah pertanyaan muncul di dalam kepalaku. Mengapa Alicia tidak membakar talinya kemudian kabur?
" ... dan tali tersebut memiliki fungsi untuk menyegel kemampuannya."
Terjawab dengan sangat jelas.
"Hm ... lalu?" tanyaku dingin.
"Santai saja. Aku tidak akan melukainya jika kita sepakat akan beberapa hal."
"Ha? Aku tidak butuh hal seperti itu. Aku akan berada di sampingmu bahkan sebelum kau menyadarinya lalu meninju wajah bodohmu itu."
"Haha ... Kau bahkan tidak tau di mana aku berada, dan kau mengancamku? Bodoh sekali. Sebelum kau menemukanku, adikmu bisa terbunuh kapanpun."
Orang ini tidak tau siapa aku dan apa saja yang bisa aku lakukan. Padahal kemaren aku sudah memberitahu gambaran besarnya ... bodoh sekali.
Tidak bisa mencari keberadaannya? Jika aku memang tidak mampu, kemampuan imajinasi ini tak ayal hanya sebuah pajangan, dan lebih baik mati mengubur diri sendiri saja sekarang.
"Jika itu terjadi, kau yang akan terbunuh selanjutnya," lanjutku, memberi ancaman palsu, mencoba mengikuti alur permainannya.
"Percuma saja. Membunuhku atau membunuh berapa banyak pun orang tidak akan mengembalikan adikmu."
Aku terdiam. Seharusnya aku mengancam lebih baik dari itu.
"Huh ... " Aku menghela napas panjang, pura-pura menstabilkan emosi. "Jadi apa yang kau inginkan?"
"Aku ingin kau bergabung dengan pasukan kerajaan."
"Maksudmu?"
"Intinya kau akan bekerja untuk raja. Untuk permulaannya, kau bisa bergabung dalam
'The 10 Rulers'."
"Kelompok bodoh macam apa itu?"
Aku bersungguh-sungguh dari lubuk hati terdalamku bahwa nama kelompok tersebut memang sangat sampah, tak ada seninya. Maksudku, apa ada makna di balik namanya?
"Jangan begitu ... karena kau akan bergabung, setidaknya kau harus berteman dengan mereka."
"Bergabung? Aku tidak bilang setuju."
"Oh? Kalau begitu aku akan melukainya sedikit demi sedikit."
Huh ... bahkan simpanse pun akan tau jika wanita munafik ini tengah berbohong. Namun, aku akan mengikuti permainannya lebih lama,
"Jangan berani-berani menyentuhnya sedikitpun."
"Jadi bagaimana? Mau bergabung? Atau .... " Ia menggantungkan kalimatnya.
Aku berpikir sejenak. Jika dia memintaku agar bergabung dengan pasukan kerajaan, itu akan sangat membantuku dalam beberapa hal yang tak bisa aku sebutkan.
Aku pun hidup selama ini menunggu saat-saat tertentu seperti ini datang kepadaku. Karena sedari awal aku memang ingin bergabung dengan pasukan kerajaan, cara nepotisme lebih cepat dibanding harus mengikuti ujian masuk militer, dan itu sangat merepotkan.
Jadi, setelah aku pikirkan matang-matang, inilah jawabanku, "Baiklah. Aku akan bergabung."
Daiva tersenyum, aku dapat merasakannya. Namun, di kemudian hari saat aku sudah bergabung dengannya, senyuman itu akan segera hilang dari wajah jeleknya itu. Meski sebenarnya dia tidak jelek, akan kupastikan senyuman tersebut akan sirna.
"Keputusan yang tepat. Untuk informasi lebih lanjut, besok kau akan kuhubungi." Setelah itu ia memutus panggilan.
Aku meletakkan telepon genggam ke atas meja lalu melemparkan badan ke atas sofa empuk, bersantai malas sebelum Alicia kembali.
Beberapa saat kemudian pintu rumah diketuk.
Tok! Tok! Tok!
Apa itu Alicia? Aku mengaktifkan mata tembus pandangku, menerawang ke luar rumah, dan ... ternyata benar.
Di depan pintu Alicia berdiri tampak gelisah karena sebab yang tak kuketahui dan tak ingin kuketahui tentunya. Membawa tas di sebelah tangannya, Alicia terlihat sangat lelah.
"Tunggu sebentar .... " Ucapku, berteleportasi ke depan pintu rumah.
Ketika membuka pintu, "Aku pulang!" ucapnya riang, berniat menutupi kegelisahan dengan kemunafikannya.
Kuperhatikan seluruh tubuhnya tanpa niat buruk, dan tidak ada luka sedikitpun. Aku pun pura-pura bertanya,
"Kau baik-baik saja?" Memasang ekspresi cemas.
"Ha? Bukankah seharusnya aku yang mengatakan itu padamu. Apa otakmu bergeser karena terlalu banyak tidur?" Ia menyenggol bahuku pelan, melewatiku begitu saja.
Baru kali ini dia tak punya akhlak.
"Bukannya tadi kau disekap atau semacamnya?" tanyaku kembali dengan sengaja.
"Apa maksudmu? Siapa yang berani melakukan itu?" Alicia menatapku tajam.
"Kepala sekolah?" Kuangkat kedua bahu tanda tak yakin.
"Kau tidak sopan. Dia itu orang yang baik. Aku memang bertemu dengannya tadi sehabis pulang dari bermain bersama teman-temanku. Aku juga sedikit kaget karena dia menyapaku, tetapi ternyata dia hanya mengajakku makan malam bersamanya," jelas Alicia panjang lebar.
Aku tersenyum namun tertawa terbahak dalam hati. Alicia yang menyadari perubahan ekspresiku segera bertanya,
"Kenapa kau tersenyum? Sangat tidak biasa," lirihnya kebingungan.
Dengan cepat aku menghapus senyum kecil dari wajahku, berjalan melewati Alicia sembari menjawab, "Tidak. Tak perlu kau pikirkan."
Aku ditipu? Oleh wanita tua? Jangan harap itu akan terjadi meski alam semesta dan seisinya dijungkir balikkan.
"Hahaha .... " Tanpa kusadari sebuah tawa kecil terlepas keluar dari mulutku.
Alicia pun menggeleng menatapku menuju kamar, berdoa pada Dewa,
"Kuharap dia tidak gila."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
IG: _anipri
Agak nyebelin sih kepala sekolah tuh
2022-07-21
0
Anak Puber
Biarkan saja katak itu tetap di dalam sumur,
kadang-kadang itu bisa jadi hiburan, pffttt..
2021-09-05
0
aqoe rinaldi
lemah
2021-04-13
2