Sialan.
Karena wanita itu aku harus bergabung dengan pasukan kerajaan.
Aku bisa saja menganggap perjanjian itu tidak ada.
Namun, laki-laki macam apa yang tidak menepati kata-katanya sendiri. Setidaknya aku masih mempunyai harga diri sebagai laki-laki.
Sekarang aku sedang berada di ruangan kepala sekolah, duduk di depan wanita yang sangat tidak ingin kulihat wajahnya.
"Jadi ... selamat bergabung." Wanita itu tersenyum.
Ucapan selamat yang sangat menyebalkan. Hanya perasaan kesal yang kudapatkan setelah mendengarnya.
"Tak usah basa-basi. Apa yang kau inginkan dari ku?" tanyaku cepat, benci berada dalam ruangan yang sama dengannya.
"Hei ... jangan dingin begitu. Itu salahmu sendiri karena tertipu." Ejeknya.
Aku tak tahan.
"Jika memang tidak ada urusan, aku akan pergi." Aku bangkit dari kursi.
"Tunggu sebentar! Ini untukmu." Dia melemparkan baju yang dilipat rapih dan dimasukkan kedalam plastik.
Aku menangkapnya.
"Apa ini?"
"Itu seragam militermu."
Oh ... simbol pertanda bahwa aku adalah anjing milik negara. Bagus sekali.
Aku benar-benar tidak menyukainya.
Seragam militer itu berwarna hijau tua, dengan segala pernak-perniknya, seragam itu sebenarnya tidak terlihat buruk.
"Setelah pulang sekolah, kenakan seragam itu. Kita akan pergi ke istana kerajaan. Kita harus melapor kepada Raja Avanindra."
Huh ...
Hari-hari damai ku benar-benar hilang sekarang.
Salah siapa ini?
Aku menatap Bu Daiva tajam pertanda tak suka.
Bu Daiva yang merasa dipandangi mulai mengancam, "Ingat kata-katamu. Kau laki-laki, kan?"
Ugh ... mengatakan itu membuatku semakin membencinya.
Sudahlah, daripada aku tidak bisa menahan amarah lalu menghancurkan sekolah ini, lebih baik aku pergi sekarang.
Aku berteleportasi keluar ruang kepala sekolah.
[Sepulang sekolah]
Ketika para murid berpulangan menuju
rumah mereka masing-masing, aku mengganti seragamku menjadi seragam militer di kamar mandi.
Aku melihat diriku sendiri pada cermin kamar mandi, bergaya. "Lumayan bagus .... "
Terlihat elegan.
Sesuai dengan yang diberitahukan Bu Daiva tentang tempat pertemuan setelah pulang sekolah, aku langsung berteleportasi ke mobilnya yang ada di parkiran sekolah.
"Akhirnya kau datang juga. Apa yang membuatmu begitu lama?" tanyanya curiga.
"Bukan urusanmu."
"Kalau begitu, kita berangkat sekarang. Para anggota lainnya telah menunggu di sana." Lalu dia menginjak gas perlahan.
Rute yang dilalui untuk sampai ke istana kerajaan semuanya berupa jalan besar. Mendapati jalan raya sangat padat, Bu Daiva menggerutu.
"Aku tidak menyangka jalanan akan sepadat ini."
Aku rasa dia pernah terlambat sebelumnya saat memenuhi panggilan raja.
Aku menatap jalanan yang kami lalui. Dia benar. Entah mengapa hari ini ramai sekali.
Jika begini terus, aku akan terjebak dalam situasi yang sangat menyebalkan. Duduk diam dalam mobil sebenarnya tidak buruk, tetapi jika terlalu lama juga bisa membuat pantatku keram.
"Kau butuh bantuan?" Aku bertanya padanya.
"Bantuan seperti apa yang kau tawarkan?"
Aku sudah lama mengetahui lokasi istana kerajaan dari buku-buku yang ada di perpustakaan kota. Jadi, akan lebih cepat sampai kalau aku membantu.
"Bantuan yang seperti ini."
Aku menjentikkan jari.
Ptak!
Gelembung berukuran sedang mulai menyelimuti seluruh badan mobil, dalam sekejap, mobil beserta isinya tersedot kedalam sesuatu yang tak dapat terlihat.
Plop!
Bunyi gelembung meletus terdengar di telinga kami, seketika mobil yang kami tumpangi muncul di depan istana kerajaan.
"Kita sampai."
Dia butuh waktu sebentar untuk menjawab karena agak kaget.
Ya ... aku tidak memperingatinya juga sih.
Jadi wajar saja jika dia begitu.
"Teleportasi ya? Aku kira kau hanya bisa menggunakannya untuk dirimu sendiri." Dia menarik napas panjang.
"Tidak juga."
"Ya sudahlah. Ayo turun. Raja sedang menunggu."
Kami menuruni mobil bersamaan dan langsung disambut seseorang yang tidak aku kenal.
"O, Nyonya Daiva! Cara datang yang tidak biasa sekali. Apa ini berkat anak kauceritakan itu?" katanya sambil membungkukkan badan. Suaranya agak serak seakan kehabisan nafas.
Dia sudah tua, tapi dengan tuxedo dan jas panjang sebagai luarannya ia terlihat gagah.
"Siapa dia?" Aku bertanya pada Bu Daiva.
"Namanya Wastu. Dia adalah pelayan setia kerajaan. Keluarganya telah melayani keluarga kerajaan di istana selama ratusan tahun. Kau lihat kan? Dia sudah tua begitu."
Jadi begitu ....
"Salam kenal. Saya merasa terhormat diperkenalkan sendiri oleh Nyonya Daiva.
Mari saya antar kalian berdua ke hadapan
Raja Avanindra."
"Selamat siang, Bu Daiva, Aray! Lama tak bertemu." Lagi-lagi seseorang menyapa kami.
Tapi aku kenal yang satu ini. Devdan si Ketua
OSIS. Dia juga memakai seragam militer yang sama denganku.
"Ah ... Devdan. Kau datang bersama yang lainnya?" tanya Bu Daiva sembari mencari kesembilan anggota lainnya.
"Ya. Mereka semua sudah di dalam. Aku kemari karena kudengar kau akan datang bersama anggota baru, dan aku yakin orang itu adalah Aray. Sepertinya aku benar."
"Aku kagum tebakanmu selalu tepat."
Yang dikatakan Bu Daiva benar. Aku juga merasa ia bisa memprediksi segalanya.
Kami bersama-sama memasuki istana kerajaan dengan Wastu sebagai pemandu jalan.
Setelah melewati lorong panjang nan besar yang banyak dipajang lukisan-lukisan aneh, kami menaiki tangga yang juga dipenuhi oleh foto anggota keluarga kerajaan, hingga akhirnya kami sampai di aula kerajaan.
Singgasana raja kosong. Beliau belum datang?
Aku melihat banyak sekali orang-orang yang tidak kukenal sedang berkumpul di satu tempat.
Aku tidak ingin mencolok, jadi aku akan diam seperti biasanya.
Ketika kami berjalan kearah kerumunan tersebut, mereka mulai berbisik-bisik akan sesuatu.
"Jadi dia calon pasukan kerajaan yang paling muda? Berapa umurnya?"
"Aku dengar 16 tahun."
Oi, oi ... siapa yang memberitahu hal itu? Sekarang aku terlihat sangat mencolok.
"Hm ... Kau sangat terkenal rupanya." Bisik Devdan, tersenyum.
Aku curiga kalau dia yang menyebarkan hal ini.
Ketika kami sampai di tengah aula kerajaan, tiba-tiba seseorang muncul dari belakang kerumunan, berjalan ke arahku.
Badannya besar dan kekar, wajahnya bisa dibilang menakutkan karena ada bekas luka bakar menggores matanya, meninggalkan bekas luka yang sangat jelas terlihat.
Siapa dia? Bukannya di sini semua anak SMA?
Tapi seragam militernya berwarna biru, berbeda dengan yang lainnya.
"Laksamana Madya, Badhra .... " Sapa Bu Daiva.
"Yo, Daiva! Apa ini anak didikmu yang katanya akan menjadi pasukan kerajaan dalam umur 16 tahun?"
"Ya."
Badhra tertawa. "Jangan bercanda! Bocah seperti dia ingin menjadi pasukan kerajaan? Kau yakin tidak salah memilih, Daiva?"
"Tentu saja."
Oh? Aku tersentuh oleh jawaban penuh keyakinannya itu.
"Lihatlah dia! Badannya sangat kurus, mukanya juga sangat lemas. Apa orang tuamu tidak memberikan makanan 4 sehat 5 sempurna?" katanya sambil menempelkan jari telunjuknya di kepalaku.
Orang ini terus terang sekali, aku tidak membencinya, tapi entah kenapa dia membuat kesal saja. Mungkin karena wajahnya jelek?
"Bu Daiva ... apa orang ini kuat?" tanya Devdan, berbisik.
"Aku pernah bertarung melawannya sekali, dan pedangku patah karena badannya yang sangat keras. Tetapi ... hm ... " Bu Daiva berpikir sejenak. "Bagaimana aku menyebutnya? Dia memang kuat, tapi terlalu bodoh."
Aku tertawa dalam hati.
Tidak perlu bertarung terlebih dahulu untuk mengetahui betapa bodohnya orang ini, bahkan sejak pertama kali dia berbicara aku sudah mengetahuinya.
"Hei, bocah! Kau ingin bertarung denganku? Ini sekaligus akan menjadi ujian masuk pasukan kerajaan." Dia mendongak, menatapku remeh.
Ah ... Aku mulai kesal sendiri.
"Baiklah. Dengan senang hati. Sudah lama aku tidak bertarung."
Peserta pertemuan lainnya mulai terlihat mencemaskanku.
"Bukankah dia akan babak belur? Lawannya kan seorang Laksamana Madya .... "
"Aku kasihan kepadanya. Hari pertama datang ke kerajaan, langsung dihajar habis-habisan."
Bisikan demi bisikan makin ramai terdengar.
Namun berbeda dengan mereka yang tidak mengenalku, Bu Daiva dan Devdan tersenyum, seakan mereka akan melihat seseorang dijadikan badut di istana hari ini.
Dan tentunya itu bukan aku.
"Oh? Kau cukup berani untuk seorang bocah yang lemah." Dia mengejekku lagi.
"Kau ini banyak sekali bicara ... kenapa tidak langsung mulai saja?" Aku sudah muak mendengar bacotannya, memutuskan untuk mempercepat pertarungan.
Badhra tersenyum jahat. "Jika itu maumu, akan kuhancurkan kau dengan cepat."
"Ah ... berisik." Tanganku bergerak sendiri, mengorek-ngorek kuping, mengeluarkan kotoran yang tercipta dari bacotannya.
Dia terlihat agak kesal, mulai berteriak seperti orang bodoh,
"Petrification!"
Tubuhnya membesar dan mengeras seperti batu. Otot-ototnya menonjol hebat, seakan hendak merobek seragamnya sendiri.
Badhra berlari lurus tepat ke arahku. "Hyaaa!" berteriak.
Dia benar-benar bodoh.
Ketika dia mendorong tangannya untuk memukul wajahku,
"Reversal."
Jurus yang sama saat aku melawan Bu Daiva. Tubuh kami bertukar posisi, membuat pukulannya mengenai udara kosong
"Ap–"
Aku segera menyentuh punggungnya untuk memberikan serangan kedua.
"Restructure."
Satu kata itu merubah struktur aliran darah dalam tubuhnya, menyegel beberapa titik vitalnya tempat sihir mengalir sehingga dia tidak bisa bergerak.
Tubuhnya seketika kaku, benar-benar seperti batu, jatuh tergeletak di lantai aula kerajaan.
Aku berjalan mendekatinya, meletakkan ujung jari telunjukku di jidatnya dan berkata,
"Kau ini... Sangat membosankan."
"Ba–Bagaimana mungkin?" tanyanya bersusah-payah saat membuka mulutnya.
"Sekarang kau bisa melihat siapa yang lebih lemah di sini." Aku tersenyum.
Tiba-tiba aula kerajaan bergetar dikarenakan teriakan para peserta yang melihat pertarunganku.
"Gila! Dia menang! Laksamana Badhra malah terlihat seperti badut!" teriak salah satu dari mereka.
Seluruh peserta tertawa mendengar lelucon tersebut. Begitu juga dengan Bu Daiva dan Devdan yang terbahak mendengarnya.
Yah ... Aku kira itu bukan lelucon yang buruk.
"Raja Avanindra datang!" teriak Wastu.
Seluruh peserta yang hadir segera berbaris dan berlutut di hadapan sang raja, dan entah mengapa aku juga langsung berlutut.
Aku merasakan tekanan yang sangat hebat darinya.
Sang raja berjalan menaiki tangga kecil, duduk anggun di atas singgasananya, menatap kami penuh perhatian.
Raja Avanindra.
Aku penasaran orang seperti apa dia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Wahyu agung Maulana akbar
sedikit kecewa sih dengan mc nya yang mau jadi anjing negara
2023-02-22
1
IG: _anipri
Cool bet si Aray
2022-07-24
0
re_tacky
mirip gigantification ya...
2022-06-25
0