Pleton 1

Aray berjalan dengan langkah cepat di sepanjang lorong yang menghubungkan lobi istana dengan aula singgasana Raja Avanindra. Lorong itu dihiasi dengan lukisan-lukisan megah para raja terdahulu dan pahatan-pahatan rumit di

dindingnya yang terbuat dari marmer putih. Cahaya keemasan dari obor-obor yang terpasang di sepanjang dinding menciptakan suasana yang hangat namun juga agung.

Di sebelahnya, Abner berusaha menyamai langkah, meskipun baginya itu tidak sulit. Abner selalu serius dan mengerjakan segala sesuatu dengan cepat, ekspresinya tegang mencerminkan urgensi situasi yang mereka hadapi.

"Sebelumnya, aku minta maaf atas sikapku yang sempat meremehkanmu," kata Abner dengan nada menyesal, matanya memancarkan rasa bersalah yang tulus.

Aray meliriknya sekilas, wajahnya tetap tanpa ekspresi namun ada kilatan ketidaksenangan di matanya. Ia lalu menimpali dengan sedikit sindiran, "Hentikan. Kau terdengar seperti penjilat."

Abner memaksakan senyum, terlihat sangat canggung di wajahnya yang biasanya tegas. Rasa malu dan ketidaknyamanan terpancar jelas dari gestur tubuhnya yang kaku.

"Aku akan menjelaskan apa yang kudapatkan padamu. Kau yang akan melaporkannya kepada Raja," ucap Aray, suaranya datar namun ada nada final di dalamnya.

Berbicara langsung di depan raja bukanlah sesuatu yang Aray inginkan. Itu terlalu merepotkan, dan ketidaksukaannya terhadap formalitas terpancar jelas dari bahasa tubuhnya yang defensif.

"Kenapa aku? Bukankah kau yang mendapatkan informasi itu?" tanya Abner, terkejut. Keningnya berkerut dalam kebingungan.

Aray menghela napas panjang, sedikit kejengkelan terlihat di wajahnya yang biasanya tanpa ekspresi. "Aku tidak perlu menjelaskan alasannya. Kau yang harus bekerja sekarang. Sejak tadi, kau tidak membantu sama sekali."

Abner tersenyum kecut, tapi ia tidak bisa membantah. Rasa frustrasi dan penyesalan bercampur di wajahnya. "Meskipun kau berbakat, aku tetap atasanmu. Sedikit rasa hormat tidak akan melukaimu."

"Tidak ada kata senioritas dalam kamusku. Sudahlah, dengarkan saja," potong Aray dengan nada datar, matanya menyipit sedikit menunjukkan ketidaksukaannya pada argumen ini.

Aray lalu mulai menjelaskan semua yang ia lihat dan dengar dari ingatan sang pembunuh massal. Suaranya tetap tenang, namun ada intensitas di matanya yang menunjukkan betapa seriusnya informasi yang ia sampaikan. Saat sampai pada bagian mengenai jumlah korban yang menyerupai hitung mundur, Abner tiba-tiba terkejut, seolah baru menyadari sesuatu yang penting. Matanya melebar dan tubuhnya menegang.

"Kau benar. Angkka-angka itu terdengar sangat mencurigakan," gumam Abner, tampak merenung. Keningnya berkerut dalam, otaknya bekerja keras mencoba memahami implikasi dari informasi ini.

"Dan juga, kita harus lebih waspada terhadap negara Utara mulai sekarang," tambah Aray dingin, matanya menyiratkan kewaspadaan yang intens.

Sesampainya di aula singgasana, mereka disambut oleh pemandangan yang megah. Aula itu sangat luas dengan langit-langit tinggi yang dihiasi lukisan-lukisan indah tentang sejarah kerajaan. Pilar-pilar marmer yang kokoh berdiri di sepanjang sisi ruangan, sementara permadani merah membentang dari pintu masuk hingga ke

singgasana.

Raja Avanindra telah menunggu di singgasananya yang terbuat dari emas dan dihiasi batu permata, duduk dengan anggun dan penuh wibawa. Mahkota emasnya berkilau ditimpa cahaya dari jendela-jendela tinggi di belakangnya. "Bagaimana hasil penyelidikan kalian? Apakah ada sesuatu yang bisa dilaporkan?" Suaranya menggema di seluruh aula, penuh otoritas namun juga curiositas.

Tanpa sadar, Abner dan Aray meneguk ludah mereka. Terkadang, wibawa raja benar-benar membuat siapa pun merasa terintimidasi. Abner tampak gugup, sedikit keringat terlihat di dahinya, sementara Aray tetap tenang meskipun ada sedikit ketegangan di bahunya.

Abner akhirnya melaporkan segala temuan mereka, atau lebih tepatnya, temuan Aray. Suaranya sedikit bergetar di awal namun semakin stabil seiring ia berbicara. Sang raja mendengarkan dengan seksama, ekspresinya berubah serius saat mendengar tentang pembunuhan massal dan bahwa pelakunya berasal dari negara Utara. Matanya menyipit, menunjukkan keprihatinan mendalam.

"Jadi, kau melihat wajah pria itu?" tanya raja, kali ini langsung kepada Abner. Suaranya tenang namun ada urgensi yang tidak bisa disembunyikan.

"Tidak, Yang Mulia. Aray yang melihatnya," jawab Abner sambil melirik ke arah Aray. Ada sedikit kekaguman dalam nada suaranya saat menyebut nama Aray.

"Benar, Yang Mulia," sambung Aray dengan tenang, matanya menatap langsung ke mata sang raja tanpa rasa takut. "Saya juga menduga hitung mundur itu mengarah pada sebuah rencana besar yang akan dilakukan oleh negara Utara, kemungkinan serangan besar-besaran terhadap kita."

Meskipun opininya tidak diminta, Aray merasa perlu mengutarakannya. Ada sedikit ketegangan di udara saat ia mengucapkan kata-kata itu.

"Untuk saat ini, hanya informasi ini yang dapat kami sampaikan," Abner menundukkan kepalanya penuh hormat, rasa lega terlihat jelas di wajahnya karena telah menyelesaikan laporannya.

Raja Avanindra tersenyum tipis, matanya memancarkan apresiasi. "Kerja kalian patut dipuji. Ini bukanlah informasi kecil. Terima kasih," ucapnya dengan puas.

Mata Abner bersinar penuh kebahagiaan setelah menerima pujian raja, sementara Aray tetap tenang, seolah pujian itu tidak berarti apa-apa baginya. Namun, ada sedikit kelembutan di matanya yang menunjukkan bahwa ia menghargai pengakuan atas kerja kerasnya.

"Baiklah, Aray. Sudah saatnya aku mengenalkan para anggota pletonmu. Kalian, masuklah!" perintah raja sambil mengarahkan pandangan ke pintu masuk aula. Ada sedikit kilat kegembiraan di matanya, seolah ia memiliki kejutan yang menyenangkan.

Aray menoleh, sedikit penasaran meskipun wajahnya tetap datar. Ia melihat empat sosok—dua anak laki-laki dan dua anak perempuan—berjalan tergesa-gesa menuju aula kerajaan. Langkah mereka bergema di lantai marmer aula yang luas. Mereka segera berlutut di hadapan sang raja, wajah mereka menunjukkan campuran antara kegugupan dan kegembiraan.

"Baik, Yang Mulia. Kami di sini," kata salah satu dari mereka, suaranya sedikit bergetar karena gugup.

Raja tersenyum lebar, matanya berbinar-binar. "Perkenalkan, ini Letnan Aray, komandan baru kalian."

Seorang gadis dengan gigi tajam berteriak penuh semangat, matanya berbinar-binar penuh kekaguman, "Oh? Dia orang yang langsung menang melawan seorang Mayor pada hari pertamanya? Keren sekali!"

Tanpa menunggu, gadis itu melompat mendekat ke arah Aray, senyum lebar menghiasi wajahnya. Aray sedikit terkejut, tubuhnya menegang melihat antusiasme yang tak terduga ini.

"Bodoh! Kendalikan dirimu di hadapan raja!" temannya, yang tampak berasal dari keluarga bangsawan, segera memukul kepalanya dan mendorongnya untuk kembali menunduk. Wajahnya memerah karena malu atas kelakuan temannya.

Raja tertawa melihat interaksi mereka, suaranya menggelegar di seluruh aula. "Kalian sangat menarik... sangat cocok dengan Aray!" katanya, tampak sangat terhibur. Matanya berkilat jenaka saat menatap Aray.

Aray hanya bisa menatap mereka dingin, sedikit kerutan muncul di antara alisnya. "Di mana letak cocoknya?" pikirnya, sedikit kesal. Ah, merepotkan.

"Perkenalkan diri kalian!" perintah Raja Avanindra, suaranya penuh wibawa, namun ada jejak antusiasme di sana. Tatapan matanya tajam, mengamati setiap anggota pleton baru dengan minat yang jelas.

Gadis bergigi tajam itu menjadi yang pertama berbicara, tidak bisa menyembunyikan semangatnya. Matanya berbinar, senyumnya lebar dan ceria, seolah dunia adalah tempat bermainnya. "Namaku Alisa Lalita. Aku bisa membaca dan mengendalikan pikiran." Suaranya riang, hampir melompat bersama energinya, dan teman-temannya tampak sudah terbiasa dengan antusiasme yang meletup-letup ini.

Pria dengan postur tegap dan mata yang tajam maju selangkah. Ada kesan ketenangan dan kepercayaan diri yang

terpancar darinya. "Veer Vihaan," katanya tanpa tergesa-gesa, setiap kata keluar dengan mantap. "Aku ahli pedang." Matanya berbinar sejenak, seperti seseorang yang telah lama mengasah kemampuannya.

Selanjutnya, gadis berwajah tenang dan misterius membuka mulut. Suaranya lembut namun penuh keyakinan,

meski tidak seantusias yang lainnya. "Devika Kanaka. Kemampuanku, menghilang." Kata-katanya singkat dan langsung, namun dengan keheningan yang menyelimuti dirinya, ia tampak lebih mengintimidasi daripada yang lain.

Terakhir, seorang anak lelaki melangkah maju dengan wajah yang jelas menunjukkan ketidaksenangan. Nada

suaranya sedikit menantang, seolah sedang menilai Aray dengan tatapan penuh skeptis. "Aku Ramesh, ahli dalam mengendalikan energi alam." Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan suara lebih keras, "Tapi jujur saja, aku tidak percaya ini. Kau bahkan terlihat lebih muda dariku!"

Teman-temannya saling bertukar pandang. Ketegangan melingkupi udara saat mereka menunggu reaksi Raja. Akan tetapi, Raja Avanindra hanya tersenyum tipis. Tatapan matanya, yang seolah telah melewati banyak pertempuran dan intrik politik, tetap tenang. Dia tidak tampak terganggu oleh ocehan Ramesh, justru tampak lebih tertarik melihat bagaimana dinamika ini berkembang.

Devika, yang biasanya pendiam, berbicara dengan tenang. Namun ada kilatan tantangan dalam suaranya yang jarang muncul. "Jika kau tidak percaya, kenapa tidak langsung mencobanya? Bertarung dengannya." Pandangannya singkat namun menusuk ke arah Ramesh.

Ramesh, dengan bodoh dan penuh percaya diri, menerima tantangan itu tanpa pikir panjang. Matanya berkilat,

kombinasi antara semangat dan kesombongan. "Baik! Aku akan membuktikan kalau aku lebih kuat." Tangannya terkepal, wajahnya menunjukkan tekad yang membara.

Raja Avanindra tertawa terbahak-bahak, suaranya menggema di aula yang luas. "Hahaha! Kalian memang menarik! Aku tak sabar melihat bagaimana ini berkembang." Ada keinginan yang jelas dalam matanya, ia ingin menyaksikan pertarungan ini.

Aray menghela napas pelan, rasa malas yang sudah menjadi ciri khasnya tak dapat disembunyikan. Tatapannya

dingin dan tak berperasaan saat ia memandang Ramesh, matanya yang emas berkilauan sebentar sebelum menyipit. "Aku tidak punya waktu untuk bermain-main dengan orang lemah. Tapi jika kau benar-benar ingin mencoba, cobalah bertahan selama tiga menit. Kalau bisa, aku akan menyerahkan posisi Letnan padamu."

Suaranya tenang, namun sarat dengan ketidaktertarikan.

Ramesh menyeringai, merasa tertantang. "Tiga menit? Mudah."

Namun, saat telekinesis Aray mulai bekerja, Ramesh langsung terhenti. Tubuhnya mendadak terasa berat seperti

diikat oleh gravitasi bumi yang berkali lipat lebih kuat. Dia mencoba melangkah, namun kakinya seolah tertanam ke lantai. Matanya melotot, wajahnya yang penuh percaya diri perlahan berubah tegang. Dalam hitungan detik, lututnya mulai gemetar, dan akhirnya dia jatuh berlutut, tak berdaya di bawah tekanan yang tak terlihat itu.

Keringat mengucur deras dari dahinya, membasahi seluruh wajahnya yang kini merah padam. Ramesh berusaha

keras untuk melawan, otot-ototnya tegang sampai wajahnya memerah karena usaha yang sia-sia. Namun, tak peduli seberapa keras dia berusaha, tubuhnya terus dipaksa menempel ke lantai.

"A–aku menyerah!" Ramesh akhirnya berteriak, tangannya memukul lantai aula dengan frustrasi. Suaranya menggema di antara pilar-pilar megah di aula kerajaan. Napasnya terengah-engah, dan seluruh tubuhnya basah oleh keringat.

Aray hanya mengangkat satu alis, tak tampak terkesan sedikit pun. Dia melepaskan telekinesisnya, membuat tubuh

Ramesh kembali normal, meskipun tetap lunglai dan tak bertenaga. "Nak, ada kalanya kau harus mengetahui tempatmu sebelum melakukan sesuatu yang bodoh." Ada jejak ejekan dalam suaranya yang datar.

Teman-teman Ramesh menatapnya dengan cemas, sementara Raja Avanindra kembali tertawa, kali ini dengan lebih puas. "Sungguh pemandangan yang menarik! Kalian benar-benar cocok sebagai tim."

Ramesh berdiri perlahan, menghapus keringat di dahinya dan membersihkan debu dari pakaiannya. Meski malu, matanya masih menyimpan tekad. Sementara itu, Alisa, Veer, dan Devika berusaha menahan tawa melihat kegagalannya.

"Sudah kubilang, dia bukan lawan sembarangan," kata Alisa sambil menyeringai.

"Kau benar-benar keras kepala, Ramesh," tambah Veer sambil menepuk bahunya dengan penuh simpati.

Ramesh hanya mendengus, masih menahan rasa malunya. Tapi satu hal jelas—Aray telah membuktikan dirinya sebagai komandan yang tak bisa diremehkan.

Namun, sebelum Aray sempat menarik napas lega, seorang prajurit datang tergesa-gesa memasuki aula. Wajahnya pucat, napasnya tersengal-sengal, dan setiap langkahnya seolah menambah ketegangan di udara. Suasana aula yang semula tenang mendadak berubah mencekam.

"Yang Mulia!" serunya dengan suara penuh kepanikan. "Ada serangan di tengah kota! Korban sudah mencapai lebih dari 500 orang, dan pelakunya masih belum teridentifikasi!" Suaranya bergetar, memancarkan kengerian yang jelas dirasakan semua orang di sana.

Raja Avanindra segera berdiri dari singgasananya, ekspresinya berubah serius. Matanya menyala dengan ketegasan seorang pemimpin yang tahu betapa gentingnya situasi. "Kerahkan semua unit yang tersedia!" ujarnya dengan nada tegas, penuh otoritas. "Lindungi warga dan musnahkan para penyusup!"

Aray dan tim barunya langsung bergerak. Wajah mereka memancarkan campuran antara ketegangan dan determinasi. Meski baru saja membentuk ikatan, mereka tahu bahwa tanggung jawab besar ada di pundak mereka—nyawa ratusan warga kini bergantung pada kemampuan mereka untuk bersatu dan bekerja sama.

Tanpa perlu banyak bicara, hanya dengan anggukan singkat satu sama lain, mereka bergegas keluar dari aula, siap menghadapi ancaman mematikan yang menanti di kota.

Terpopuler

Comments

IG: _anipri

IG: _anipri

Pleton baru... keren! Nih novel semakin banyak bab semakin menarik aja.

2022-10-25

0

Z3R0 :)

Z3R0 :)

woh gg pas lagunya Carol of the bel Ama suasananya

2022-05-08

0

Noor Izzat Ahmadi

Noor Izzat Ahmadi

ya iyalah tanpa sadar. orang tiap hari kok kita nelen air liur tanpa sadar

2022-05-05

0

lihat semua
Episodes
1 Prolog
2 Upacara pembukaan
3 Perkenalan
4 Devdan Bayanaka
5 Kemampuan & kekuatan
6 Penyerangan
7 Penyerangan 2
8 Ancaman
9 Imajinasi & hal yang nyata
10 Ekspektasi & Realita
11 Wanita Menyebalkan
12 Militer
13 Seleksi
14 Pembunuhan masal
15 Kenangan si pelaku
16 Pleton 1
17 Kebenaran yang tak terduga
18 Penyelamatan
19 Reuni
20 Reuni 2
21 Anggota baru
22 Kejadian yang sama
23 Terlambat
24 Sangat terlambat
25 Masa kecil
26 Rapat
27 2 serangan terakhir
28 Junior yang malas
29 Kesombongan level dewa
30 Pemalas yang jenius
31 Kecurigaan Alicia
32 Pulau Andalas
33 Pulau Andalas 2
34 Pulau Andalas 3
35 Ruang hampa
36 Harapan
37 Pelarian
38 Andai aku
39 Sandiwara
40 Firasat
41 Survival
42 Legenda
43 Dunia Ini Rusak
44 Makhluk Mitologi
45 Peliharaan
46 Keluar
47 Hari-hari terakhir
48 Ujian Penempatan 1
49 Ujian Penempatan 2
50 Ujian Penempatan 3
51 Sadar Akan Diri
52 Sebuah Persiapan
53 Raja?
54 1 Vs 10,000,000
55 Tujuan
56 Eadred
57 Tak Perlu Khawatir
58 Berita Mengejutkan
59 Badan Kepolisian Negara
60 Kamera
61 Kediaman Bayanaka
62 Cilukba
63 Matahari
64 Pulang
65 Meliburkan Diri
66 Diriku Yang Lain
67 Meth
68 Ada Lagi?
69 Rak Hitam
70 Festival Alles 1
71 Festival Alles 2
72 Festival Alles 3
73 Mythomania
74 Kejutan Hart?
75 Akhir Dari Dunia
76 Akhir Dari Dunia 2 - Gavin & Cerberus
77 Akhir Dari Dunia 3 - Kembang Api
78 Akhir Dari Dunia 4 - Zand & Elax
79 Akhir Dari Dunia 5 - Pengetahuan
80 Akhir Dari Dunia 6 - Dewa Imajinasi
81 Akhir Dari Dunia 7 - Janji
82 Akhir Dari Dunia 8 - Timelapse Rewind
83 Akhir Dari Dunia 9 - Devdan Vs Edzard
84 Akhir Dari Dunia 10 - Teh & Biskuit
85 Nomor Telepon
86 Goddin
87 Tamasya
88 Berangkat! - Zand Kingdom
89 Maria Ocean
90 Fellow City
91 Altar
92 Visual
93 Broken House
94 Dandelion City
95 Mata Uang
96 Celah Peraturan
97 Kesalahan
98 Mawar Di Tengah Neraka
99 Evolusi
100 Mata Biru
101 Canggung
102 Laksanakan!
103 Psikis
104 Gagal
105 Hakim Agung
106 Hak-Hak
107 Tak Ada Yang Mustahil
108 Isi Hati
109 Garden Of Death
110 Selanjutnya
111 Visual
112 Psikopat Dermawan
113 Pindah Rumah
114 Denza, Kota Para Dewa
115 Sudut Pandang Yang Berbeda
116 Pertarungan Pembuka
117 Barie Sang Naga Putih
118 Satu Goresan Kecil?
119 Senyuman
120 Rumah Kayu Di Bawah Rembulan [S1-END]
121 Pengumuman yang kemungkinan ga ada yang baca
122 Volume II: Kehidupan Pertama
Episodes

Updated 122 Episodes

1
Prolog
2
Upacara pembukaan
3
Perkenalan
4
Devdan Bayanaka
5
Kemampuan & kekuatan
6
Penyerangan
7
Penyerangan 2
8
Ancaman
9
Imajinasi & hal yang nyata
10
Ekspektasi & Realita
11
Wanita Menyebalkan
12
Militer
13
Seleksi
14
Pembunuhan masal
15
Kenangan si pelaku
16
Pleton 1
17
Kebenaran yang tak terduga
18
Penyelamatan
19
Reuni
20
Reuni 2
21
Anggota baru
22
Kejadian yang sama
23
Terlambat
24
Sangat terlambat
25
Masa kecil
26
Rapat
27
2 serangan terakhir
28
Junior yang malas
29
Kesombongan level dewa
30
Pemalas yang jenius
31
Kecurigaan Alicia
32
Pulau Andalas
33
Pulau Andalas 2
34
Pulau Andalas 3
35
Ruang hampa
36
Harapan
37
Pelarian
38
Andai aku
39
Sandiwara
40
Firasat
41
Survival
42
Legenda
43
Dunia Ini Rusak
44
Makhluk Mitologi
45
Peliharaan
46
Keluar
47
Hari-hari terakhir
48
Ujian Penempatan 1
49
Ujian Penempatan 2
50
Ujian Penempatan 3
51
Sadar Akan Diri
52
Sebuah Persiapan
53
Raja?
54
1 Vs 10,000,000
55
Tujuan
56
Eadred
57
Tak Perlu Khawatir
58
Berita Mengejutkan
59
Badan Kepolisian Negara
60
Kamera
61
Kediaman Bayanaka
62
Cilukba
63
Matahari
64
Pulang
65
Meliburkan Diri
66
Diriku Yang Lain
67
Meth
68
Ada Lagi?
69
Rak Hitam
70
Festival Alles 1
71
Festival Alles 2
72
Festival Alles 3
73
Mythomania
74
Kejutan Hart?
75
Akhir Dari Dunia
76
Akhir Dari Dunia 2 - Gavin & Cerberus
77
Akhir Dari Dunia 3 - Kembang Api
78
Akhir Dari Dunia 4 - Zand & Elax
79
Akhir Dari Dunia 5 - Pengetahuan
80
Akhir Dari Dunia 6 - Dewa Imajinasi
81
Akhir Dari Dunia 7 - Janji
82
Akhir Dari Dunia 8 - Timelapse Rewind
83
Akhir Dari Dunia 9 - Devdan Vs Edzard
84
Akhir Dari Dunia 10 - Teh & Biskuit
85
Nomor Telepon
86
Goddin
87
Tamasya
88
Berangkat! - Zand Kingdom
89
Maria Ocean
90
Fellow City
91
Altar
92
Visual
93
Broken House
94
Dandelion City
95
Mata Uang
96
Celah Peraturan
97
Kesalahan
98
Mawar Di Tengah Neraka
99
Evolusi
100
Mata Biru
101
Canggung
102
Laksanakan!
103
Psikis
104
Gagal
105
Hakim Agung
106
Hak-Hak
107
Tak Ada Yang Mustahil
108
Isi Hati
109
Garden Of Death
110
Selanjutnya
111
Visual
112
Psikopat Dermawan
113
Pindah Rumah
114
Denza, Kota Para Dewa
115
Sudut Pandang Yang Berbeda
116
Pertarungan Pembuka
117
Barie Sang Naga Putih
118
Satu Goresan Kecil?
119
Senyuman
120
Rumah Kayu Di Bawah Rembulan [S1-END]
121
Pengumuman yang kemungkinan ga ada yang baca
122
Volume II: Kehidupan Pertama

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!