Aray berjalan dengan langkah cepat di sepanjang lorong yang menghubungkan lobi istana dengan aula singgasana Raja Avanindra. Lorong itu dihiasi dengan lukisan-lukisan megah para raja terdahulu dan pahatan-pahatan rumit di
dindingnya yang terbuat dari marmer putih. Cahaya keemasan dari obor-obor yang terpasang di sepanjang dinding menciptakan suasana yang hangat namun juga agung.
Di sebelahnya, Abner berusaha menyamai langkah, meskipun baginya itu tidak sulit. Abner selalu serius dan mengerjakan segala sesuatu dengan cepat, ekspresinya tegang mencerminkan urgensi situasi yang mereka hadapi.
"Sebelumnya, aku minta maaf atas sikapku yang sempat meremehkanmu," kata Abner dengan nada menyesal, matanya memancarkan rasa bersalah yang tulus.
Aray meliriknya sekilas, wajahnya tetap tanpa ekspresi namun ada kilatan ketidaksenangan di matanya. Ia lalu menimpali dengan sedikit sindiran, "Hentikan. Kau terdengar seperti penjilat."
Abner memaksakan senyum, terlihat sangat canggung di wajahnya yang biasanya tegas. Rasa malu dan ketidaknyamanan terpancar jelas dari gestur tubuhnya yang kaku.
"Aku akan menjelaskan apa yang kudapatkan padamu. Kau yang akan melaporkannya kepada Raja," ucap Aray, suaranya datar namun ada nada final di dalamnya.
Berbicara langsung di depan raja bukanlah sesuatu yang Aray inginkan. Itu terlalu merepotkan, dan ketidaksukaannya terhadap formalitas terpancar jelas dari bahasa tubuhnya yang defensif.
"Kenapa aku? Bukankah kau yang mendapatkan informasi itu?" tanya Abner, terkejut. Keningnya berkerut dalam kebingungan.
Aray menghela napas panjang, sedikit kejengkelan terlihat di wajahnya yang biasanya tanpa ekspresi. "Aku tidak perlu menjelaskan alasannya. Kau yang harus bekerja sekarang. Sejak tadi, kau tidak membantu sama sekali."
Abner tersenyum kecut, tapi ia tidak bisa membantah. Rasa frustrasi dan penyesalan bercampur di wajahnya. "Meskipun kau berbakat, aku tetap atasanmu. Sedikit rasa hormat tidak akan melukaimu."
"Tidak ada kata senioritas dalam kamusku. Sudahlah, dengarkan saja," potong Aray dengan nada datar, matanya menyipit sedikit menunjukkan ketidaksukaannya pada argumen ini.
Aray lalu mulai menjelaskan semua yang ia lihat dan dengar dari ingatan sang pembunuh massal. Suaranya tetap tenang, namun ada intensitas di matanya yang menunjukkan betapa seriusnya informasi yang ia sampaikan. Saat sampai pada bagian mengenai jumlah korban yang menyerupai hitung mundur, Abner tiba-tiba terkejut, seolah baru menyadari sesuatu yang penting. Matanya melebar dan tubuhnya menegang.
"Kau benar. Angkka-angka itu terdengar sangat mencurigakan," gumam Abner, tampak merenung. Keningnya berkerut dalam, otaknya bekerja keras mencoba memahami implikasi dari informasi ini.
"Dan juga, kita harus lebih waspada terhadap negara Utara mulai sekarang," tambah Aray dingin, matanya menyiratkan kewaspadaan yang intens.
Sesampainya di aula singgasana, mereka disambut oleh pemandangan yang megah. Aula itu sangat luas dengan langit-langit tinggi yang dihiasi lukisan-lukisan indah tentang sejarah kerajaan. Pilar-pilar marmer yang kokoh berdiri di sepanjang sisi ruangan, sementara permadani merah membentang dari pintu masuk hingga ke
singgasana.
Raja Avanindra telah menunggu di singgasananya yang terbuat dari emas dan dihiasi batu permata, duduk dengan anggun dan penuh wibawa. Mahkota emasnya berkilau ditimpa cahaya dari jendela-jendela tinggi di belakangnya. "Bagaimana hasil penyelidikan kalian? Apakah ada sesuatu yang bisa dilaporkan?" Suaranya menggema di seluruh aula, penuh otoritas namun juga curiositas.
Tanpa sadar, Abner dan Aray meneguk ludah mereka. Terkadang, wibawa raja benar-benar membuat siapa pun merasa terintimidasi. Abner tampak gugup, sedikit keringat terlihat di dahinya, sementara Aray tetap tenang meskipun ada sedikit ketegangan di bahunya.
Abner akhirnya melaporkan segala temuan mereka, atau lebih tepatnya, temuan Aray. Suaranya sedikit bergetar di awal namun semakin stabil seiring ia berbicara. Sang raja mendengarkan dengan seksama, ekspresinya berubah serius saat mendengar tentang pembunuhan massal dan bahwa pelakunya berasal dari negara Utara. Matanya menyipit, menunjukkan keprihatinan mendalam.
"Jadi, kau melihat wajah pria itu?" tanya raja, kali ini langsung kepada Abner. Suaranya tenang namun ada urgensi yang tidak bisa disembunyikan.
"Tidak, Yang Mulia. Aray yang melihatnya," jawab Abner sambil melirik ke arah Aray. Ada sedikit kekaguman dalam nada suaranya saat menyebut nama Aray.
"Benar, Yang Mulia," sambung Aray dengan tenang, matanya menatap langsung ke mata sang raja tanpa rasa takut. "Saya juga menduga hitung mundur itu mengarah pada sebuah rencana besar yang akan dilakukan oleh negara Utara, kemungkinan serangan besar-besaran terhadap kita."
Meskipun opininya tidak diminta, Aray merasa perlu mengutarakannya. Ada sedikit ketegangan di udara saat ia mengucapkan kata-kata itu.
"Untuk saat ini, hanya informasi ini yang dapat kami sampaikan," Abner menundukkan kepalanya penuh hormat, rasa lega terlihat jelas di wajahnya karena telah menyelesaikan laporannya.
Raja Avanindra tersenyum tipis, matanya memancarkan apresiasi. "Kerja kalian patut dipuji. Ini bukanlah informasi kecil. Terima kasih," ucapnya dengan puas.
Mata Abner bersinar penuh kebahagiaan setelah menerima pujian raja, sementara Aray tetap tenang, seolah pujian itu tidak berarti apa-apa baginya. Namun, ada sedikit kelembutan di matanya yang menunjukkan bahwa ia menghargai pengakuan atas kerja kerasnya.
"Baiklah, Aray. Sudah saatnya aku mengenalkan para anggota pletonmu. Kalian, masuklah!" perintah raja sambil mengarahkan pandangan ke pintu masuk aula. Ada sedikit kilat kegembiraan di matanya, seolah ia memiliki kejutan yang menyenangkan.
Aray menoleh, sedikit penasaran meskipun wajahnya tetap datar. Ia melihat empat sosok—dua anak laki-laki dan dua anak perempuan—berjalan tergesa-gesa menuju aula kerajaan. Langkah mereka bergema di lantai marmer aula yang luas. Mereka segera berlutut di hadapan sang raja, wajah mereka menunjukkan campuran antara kegugupan dan kegembiraan.
"Baik, Yang Mulia. Kami di sini," kata salah satu dari mereka, suaranya sedikit bergetar karena gugup.
Raja tersenyum lebar, matanya berbinar-binar. "Perkenalkan, ini Letnan Aray, komandan baru kalian."
Seorang gadis dengan gigi tajam berteriak penuh semangat, matanya berbinar-binar penuh kekaguman, "Oh? Dia orang yang langsung menang melawan seorang Mayor pada hari pertamanya? Keren sekali!"
Tanpa menunggu, gadis itu melompat mendekat ke arah Aray, senyum lebar menghiasi wajahnya. Aray sedikit terkejut, tubuhnya menegang melihat antusiasme yang tak terduga ini.
"Bodoh! Kendalikan dirimu di hadapan raja!" temannya, yang tampak berasal dari keluarga bangsawan, segera memukul kepalanya dan mendorongnya untuk kembali menunduk. Wajahnya memerah karena malu atas kelakuan temannya.
Raja tertawa melihat interaksi mereka, suaranya menggelegar di seluruh aula. "Kalian sangat menarik... sangat cocok dengan Aray!" katanya, tampak sangat terhibur. Matanya berkilat jenaka saat menatap Aray.
Aray hanya bisa menatap mereka dingin, sedikit kerutan muncul di antara alisnya. "Di mana letak cocoknya?" pikirnya, sedikit kesal. Ah, merepotkan.
"Perkenalkan diri kalian!" perintah Raja Avanindra, suaranya penuh wibawa, namun ada jejak antusiasme di sana. Tatapan matanya tajam, mengamati setiap anggota pleton baru dengan minat yang jelas.
Gadis bergigi tajam itu menjadi yang pertama berbicara, tidak bisa menyembunyikan semangatnya. Matanya berbinar, senyumnya lebar dan ceria, seolah dunia adalah tempat bermainnya. "Namaku Alisa Lalita. Aku bisa membaca dan mengendalikan pikiran." Suaranya riang, hampir melompat bersama energinya, dan teman-temannya tampak sudah terbiasa dengan antusiasme yang meletup-letup ini.
Pria dengan postur tegap dan mata yang tajam maju selangkah. Ada kesan ketenangan dan kepercayaan diri yang
terpancar darinya. "Veer Vihaan," katanya tanpa tergesa-gesa, setiap kata keluar dengan mantap. "Aku ahli pedang." Matanya berbinar sejenak, seperti seseorang yang telah lama mengasah kemampuannya.
Selanjutnya, gadis berwajah tenang dan misterius membuka mulut. Suaranya lembut namun penuh keyakinan,
meski tidak seantusias yang lainnya. "Devika Kanaka. Kemampuanku, menghilang." Kata-katanya singkat dan langsung, namun dengan keheningan yang menyelimuti dirinya, ia tampak lebih mengintimidasi daripada yang lain.
Terakhir, seorang anak lelaki melangkah maju dengan wajah yang jelas menunjukkan ketidaksenangan. Nada
suaranya sedikit menantang, seolah sedang menilai Aray dengan tatapan penuh skeptis. "Aku Ramesh, ahli dalam mengendalikan energi alam." Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan suara lebih keras, "Tapi jujur saja, aku tidak percaya ini. Kau bahkan terlihat lebih muda dariku!"
Teman-temannya saling bertukar pandang. Ketegangan melingkupi udara saat mereka menunggu reaksi Raja. Akan tetapi, Raja Avanindra hanya tersenyum tipis. Tatapan matanya, yang seolah telah melewati banyak pertempuran dan intrik politik, tetap tenang. Dia tidak tampak terganggu oleh ocehan Ramesh, justru tampak lebih tertarik melihat bagaimana dinamika ini berkembang.
Devika, yang biasanya pendiam, berbicara dengan tenang. Namun ada kilatan tantangan dalam suaranya yang jarang muncul. "Jika kau tidak percaya, kenapa tidak langsung mencobanya? Bertarung dengannya." Pandangannya singkat namun menusuk ke arah Ramesh.
Ramesh, dengan bodoh dan penuh percaya diri, menerima tantangan itu tanpa pikir panjang. Matanya berkilat,
kombinasi antara semangat dan kesombongan. "Baik! Aku akan membuktikan kalau aku lebih kuat." Tangannya terkepal, wajahnya menunjukkan tekad yang membara.
Raja Avanindra tertawa terbahak-bahak, suaranya menggema di aula yang luas. "Hahaha! Kalian memang menarik! Aku tak sabar melihat bagaimana ini berkembang." Ada keinginan yang jelas dalam matanya, ia ingin menyaksikan pertarungan ini.
Aray menghela napas pelan, rasa malas yang sudah menjadi ciri khasnya tak dapat disembunyikan. Tatapannya
dingin dan tak berperasaan saat ia memandang Ramesh, matanya yang emas berkilauan sebentar sebelum menyipit. "Aku tidak punya waktu untuk bermain-main dengan orang lemah. Tapi jika kau benar-benar ingin mencoba, cobalah bertahan selama tiga menit. Kalau bisa, aku akan menyerahkan posisi Letnan padamu."
Suaranya tenang, namun sarat dengan ketidaktertarikan.
Ramesh menyeringai, merasa tertantang. "Tiga menit? Mudah."
Namun, saat telekinesis Aray mulai bekerja, Ramesh langsung terhenti. Tubuhnya mendadak terasa berat seperti
diikat oleh gravitasi bumi yang berkali lipat lebih kuat. Dia mencoba melangkah, namun kakinya seolah tertanam ke lantai. Matanya melotot, wajahnya yang penuh percaya diri perlahan berubah tegang. Dalam hitungan detik, lututnya mulai gemetar, dan akhirnya dia jatuh berlutut, tak berdaya di bawah tekanan yang tak terlihat itu.
Keringat mengucur deras dari dahinya, membasahi seluruh wajahnya yang kini merah padam. Ramesh berusaha
keras untuk melawan, otot-ototnya tegang sampai wajahnya memerah karena usaha yang sia-sia. Namun, tak peduli seberapa keras dia berusaha, tubuhnya terus dipaksa menempel ke lantai.
"A–aku menyerah!" Ramesh akhirnya berteriak, tangannya memukul lantai aula dengan frustrasi. Suaranya menggema di antara pilar-pilar megah di aula kerajaan. Napasnya terengah-engah, dan seluruh tubuhnya basah oleh keringat.
Aray hanya mengangkat satu alis, tak tampak terkesan sedikit pun. Dia melepaskan telekinesisnya, membuat tubuh
Ramesh kembali normal, meskipun tetap lunglai dan tak bertenaga. "Nak, ada kalanya kau harus mengetahui tempatmu sebelum melakukan sesuatu yang bodoh." Ada jejak ejekan dalam suaranya yang datar.
Teman-teman Ramesh menatapnya dengan cemas, sementara Raja Avanindra kembali tertawa, kali ini dengan lebih puas. "Sungguh pemandangan yang menarik! Kalian benar-benar cocok sebagai tim."
Ramesh berdiri perlahan, menghapus keringat di dahinya dan membersihkan debu dari pakaiannya. Meski malu, matanya masih menyimpan tekad. Sementara itu, Alisa, Veer, dan Devika berusaha menahan tawa melihat kegagalannya.
"Sudah kubilang, dia bukan lawan sembarangan," kata Alisa sambil menyeringai.
"Kau benar-benar keras kepala, Ramesh," tambah Veer sambil menepuk bahunya dengan penuh simpati.
Ramesh hanya mendengus, masih menahan rasa malunya. Tapi satu hal jelas—Aray telah membuktikan dirinya sebagai komandan yang tak bisa diremehkan.
Namun, sebelum Aray sempat menarik napas lega, seorang prajurit datang tergesa-gesa memasuki aula. Wajahnya pucat, napasnya tersengal-sengal, dan setiap langkahnya seolah menambah ketegangan di udara. Suasana aula yang semula tenang mendadak berubah mencekam.
"Yang Mulia!" serunya dengan suara penuh kepanikan. "Ada serangan di tengah kota! Korban sudah mencapai lebih dari 500 orang, dan pelakunya masih belum teridentifikasi!" Suaranya bergetar, memancarkan kengerian yang jelas dirasakan semua orang di sana.
Raja Avanindra segera berdiri dari singgasananya, ekspresinya berubah serius. Matanya menyala dengan ketegasan seorang pemimpin yang tahu betapa gentingnya situasi. "Kerahkan semua unit yang tersedia!" ujarnya dengan nada tegas, penuh otoritas. "Lindungi warga dan musnahkan para penyusup!"
Aray dan tim barunya langsung bergerak. Wajah mereka memancarkan campuran antara ketegangan dan determinasi. Meski baru saja membentuk ikatan, mereka tahu bahwa tanggung jawab besar ada di pundak mereka—nyawa ratusan warga kini bergantung pada kemampuan mereka untuk bersatu dan bekerja sama.
Tanpa perlu banyak bicara, hanya dengan anggukan singkat satu sama lain, mereka bergegas keluar dari aula, siap menghadapi ancaman mematikan yang menanti di kota.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
IG: _anipri
Pleton baru... keren! Nih novel semakin banyak bab semakin menarik aja.
2022-10-25
0
Z3R0 :)
woh gg pas lagunya Carol of the bel Ama suasananya
2022-05-08
0
Noor Izzat Ahmadi
ya iyalah tanpa sadar. orang tiap hari kok kita nelen air liur tanpa sadar
2022-05-05
0