Bel sekolah telah berbunyi menandakan selesainya pelajaran.
Aku bangkit dari tempat dudukku, berjalan menuju pintu.
"Eh... A-aray!" Seorang perempuan dengan teman-teman nya menahanku.
"Boleh kenalan? Aku melihat pertarunganmu tadi, dan kupikir itu sangat keren." Katanya malu-malu.
"Bukankah kau sudah tau namaku?"
"Tapi kau kan belum mengenalku ... "
Aku memalingkan wajah. "Itu tidak perlu." Ucapku tak peduli, pergi meninggalkannya.
"Dasar sombong! Kau pikir kau menarik?" teriaknya.
"Idiot ... " Gumamku kesal.
Aku tak peduli dengan mereka, karena mereka hanya akan menjadi pengganggu hari-hari yang damai saja nantinya.
Ketika aku berjalan dilorong kelas, seseorang memanggilku.
"Aray!" Alvarado memanggilku sambil berlari ke arah ku.
"Jangan mengikuti ku!"
"Ayolah ... Bukankah kita ini teman?"
"Aku tak ingat pernah berteman denganmu."
"Tapi aku ingat!" Dia mengatakannya sambil tersenyum. Uh ... Aku bisa trauma.
Benar-benar orang yang keras kepala.
"Aku tidak butuh teman dan tidak ingin berteman."
"Kau ini ... Setidaknya lihatlah mataku ketika sedang berbicara."
Aku berjalan cepat meninggalkannya, namun dia tetap mengikutiku.
Ketika tiba di depan gerbang sekolah, aku bertemu Alicia. "Kak Aray!!" Teriaknya sambil melambaikan tangan.
Aku berjalan mendekati nya.
"Oh ... Tidak biasanya kau berjalan bersama seorang? Dia temanmu?" tanya Alicia sambil melirik alvarado yang berdiri di belakangku.
"Tidak. Dia bukan temanku. Dia hanya–" Belum selesai aku menjelaskan, Alvarado memotong,
"Perkenalkan. Namaku Ryan alvarado, teman sekelas Aray." Jelasnya sambil mengulurkan tangannya.
"Aku Alicia Kenzie, adik perempuannya. Salam kenal."
"Jadi kau adiknya ya? Memang mirip sih ... Tapi sepertinya sifatmu berbeda, maksudku sangat berbeda."
"Ya ... Seperti itulah. Omong-omong, bolehkah aku tau apa kemampuan mu? Maaf, aku terlahir dengan rasa penasaran yang besar."
Rasa penasaran yang besar? Konyol sekali. Jika memang begitu seharusnya dia tau seberapa busuk dunia ini sehingga tidak sebegitu mudahnya berkenalan dengan seseorang.
"Tidak apa-apa. Aku mampu mengendalikan dan memanipulasi elemen api, tapi aku belum terlalu mahir .... " Alvarado tertawa kecil, mengusap belakang kepalanya.
"O, ya? Itu berarti kita sama. Aku juga pengendali api!" Aku bisa melihat Alicia pura-pura kaget, menutupi mulut dengan tangannya.
Palsu sekali. Padahal dia tahu manusia pengendali api adalah yang paling banyak di dunia ini. Sangat mainstream.
Tapi tidak serta-merta mereka semua berada pada tingkatan yang sama. Yang membuatnya berbeda adalah kekuatan dan kontrol yang tepat.
"Tapi seperti yang aku katakan, aku tidak bisa mengendalikannya dengan benar. Karena itulah aku ditempatkan dikelas Anfänger. Tapi aku heran dengan kakakmu yang memiliki kekuatan yang seperti itu, bukankah seharusnya dia masuk kelas stryke, bahkan unver mungkin? Kau melihat pertarungannya bukan?" Alvarado bertanya, mengangkat alisnya.
Memang benar. Karena setiap pertandingan yang ada di sekolah pasti akan di tayangkan secara langsung, seharusnya Alicia melihatnya.
Aku penasaran apa dia memang melihatnya. Jika iya, sayang sekali aku harus melakukan sesuatu kepadanya.
"Hm ... Entahlah. Memangnya kakakku sekuat itu ya? Yang aku tau, dia bahkan tidak bisa bertarung." Jelas Alicia.
Aku terdiam, mengalihkan pandangan dari keduanya.
Alvarado melihatku seakan tidak mengerti. Bagaimana mungkin Alicia yang telah hidup lama denganku, tidak mengetahui kekuatanku yang sebenarnya.
Aku melihat seorang pria berambut putih lurus bermata biru berjalan ke arahku dengan beberapa orang di sebelahnya, berjalan beriringan mendampingi..
"Yo, anak baru!" Ia menyapaku.
Aku menatapnya datar.
"Hei, hei ... Jangan begitu. Aku hanya ingin menyapa adik kelasku. Kau yang namanya Aray Kenzie bukan? Apa aku salah?"
"Tidak, kau benar." Aku menjawab malas.
"Aku melihat pertarungan tadi, hebat sekali kemampuanmu itu."
Dia melihatnya? Dalam badai angin besar itu?
"Jangan kaget begitu. Kau mungkin bisa menipu yang lain, tapi kau tidak bisa menipu mataku ini." Katanya sambil menunjuk matanya sendiri.
"Aku tidak peduli. Lalu apa urusanmu?" Aku mencoba mempercepat pembicaraan.
"Sebelumnya biarkan aku memperkenalkan diri. Namaku Devdan Bayanaka, aku Ketua OSIS di sini."
Kini aku mengerti.
"Lalu?" tanyaku.
"Karena sepertinya kau akan berguna bagi OSIS, maukah kau bergabung dengan kami?"
"Aku menolak." Aku menjawab dengan cepat.
"Brengsek! Beraninya kau menolak ajakan Devdan!" teriak anak laki-laki yang terlihat bagai berandalan meski menutupinya dengan kacamata palsu untuk membuatnya seperti anak teladan.
Mungkin dia salah satu bawahannya?
"Apa maksudmu? Kau menawarkan bukan? berarti aku mempunyai hak untuk bergabung atau tidak, dan aku menolak."
Berandalan tadi sepertinya siap untuk maju menyerang, namun ditahan oleh Devdan.
"Sabar!" Ia berkata kepada berandalan tersebut.
Devdan diam sejenak, menatapku tajam. "Tampaknya kau sangat berhati-hati. Baiklah, kalau begitu, akan kuubah kalimatku. Bergabunglah dengan OSIS!"
"Kalau aku tidak mau?"
"Hmm ... Bagaimana kalau begini. Kau bisa melawan salah satu bawahanku. Dan jika kau menang, terserah kau saja. Namun jika kau kalah, kau harus bergabung dengan osis." Ia mengajukan penawaran.
Lagi-lagi hal yang merepotkan.
"Huh ... Kalian terus-menerus berdatangan mengganggu hidupku. Aku jadi penasaran, apakah pertumpahan darah disekolah diperbolehkan?" Aku berkata dingin.
"Entahlah." Devdan tersenyum.
"Kau tidak akan membiarkanku lewat bukan?"
Devdan melipat kedua tangannya, mengangkat dagunya. "Aku selalu mendapatkan apa yang kuinginkan."
"Manja sekali. Baiklah, aku menerimanya."
"Siapapun lawannya kau tidak keberatan kan?" Ia bertanya.
"Tentu."
Lalu ia menunjuk satu orang dari bawahannya untuk maju melawanku.
Ternyata seorang perempuan cantik dengan rambut pendek berwarna perak dengan tubuh agak pendek maju ke depan.
"Kau tidak akan berkata tidak akan melawannya karena dia perempuan bukan?"
"Jangan khawatir, aku penganut kesetaraan gender."
"Namaku Avara Amrita, salam kenal. Mohon untuk tidak menahan diri." Avara membungkuk kecil.
Sepertinya dia cukup tenang. Ketika dilihat dari dekat ternyata dia kecil sekali.
Tapi aku tak peduli.
Selama sudah masuk medan perang, maka dia musuhku, dan aku tak akan mengampuninya.
"Aku tidak akan menahan diri, tenang saja."
"Kalau begitu, aku akan membuat arenanya.
creation: battlefield." Devdan mulai membaca mantra, membuat arena.
Bisa membuat arena menandakan bahwa ia telah menguasai kemampuannya.
Dia patut diwaspadai.
Secara perlahan, tanah tempatku dan Avara berdiri mulai menggelap, partikel-partikel kecil muncul membentuk dunia buatan yang disebut arena.
Sebenarnya dunia buatan bukan untuk arena saja, namun paling sering digunakan untuk itu.
Arena kali ini bukan berbentuk Colosseum, ini lebih seperti tanah yang luas tanpa tembok dan atap. Benar-benar lapangan luas tanpa adanya satu benda pun terlihat sejauh mata memandang.
"Jadi, apa kemampuanmu?" Avara memulai pembicaraan.
"Memberitahukan informasi penting kepada lawan? Aku tidak sebodoh itu."
"Kukira kau benar. Kalau begitu, mari kita mulai!" Avara memasang kuda-kuda, memposisikan dirinya bagaikan sedang memegang sebuah katana,
"Create: calya!"
Dari udara tempatnya berdiri, partikel-partikel kecil mulai bergerak menuju genggaman tangannya, merajut dirinya perlahan, membentuk sebuah katana yang sangat kuat dan tanpa cacat.
Dengan gerakan yang sangat cepat, ia menghilang dan muncul di depanku, mengayunkan pedangnya.
Aku menghindar dengan tenang.
Ia terus-menerus mengayunkan pedangnya ke segala arah, mencari titik-titik vital, mencari kesempatan saat aku terlihat lengah.
Namun, aku terus menghindarinya tanpa terluka sedikitpun, melompat mundur beberapa langkah darinya.
"Kau tidak buruk." Pujiku pada Avara.
"Harusnya aku kan yang bilang begitu?"
"Tapi maaf, aku akan segera mengakhirinya."
Kemudian aku menghilang dan muncul persis di wajahnya, mencoba memukul namun ia menghindar.
"Ternyata larimu cepat juga ya?" Ia mengembalikan pujian.
Dengan sebuah kemampuan unik, aku muncul
di belakang punggung Avara dan memukulnya
pelan, namun entah bagaimana mampu menerbangkannya, terpental jauh.
Dengan teknik yang sama, aku menghilang dan muncul berdiri sejajar dengannya, menendang Avara ke langit dengan santai.
Avara terlempar, mengambang beberapa puluh meter di atas permukaan tanah. Beberapa tulang rusuknya patah.
Sebuah gelembung menyelimuti tubuhku.
Plop
Bersamaan dengan suara letusan gelembung terdengar, aku berpindah tempat secara instan ke atas tubuh Avara lalu menghempaskan tubuhnya menghantam bumi, menghancurkannya, menciptakan sebuah lekungan besar.
"Tidak mung-" Avara terbatuk, memuncratkan darah keluar dari mulutnya, mengotori seragam sekolah yang ia kenakan.
Aku muncul di hadapannya kemudian berkata,
"Kau salah. Berlari bukan gayaku. Itu teleportasi."
.
.
.
Battlefield perlahan mengilang dan kemudian kembali menjadi halaman depan sekolah dengan banyak murid yang menonton kami.
Lagi-lagi aku menarik perhatian.
Orang-orang yang menyaksikan pertandingan tadi mulai berkerumun untuk melihatku lebih dekat.
"Haha! Sungguh mengesankan! Sepertinya aku terlalu meremehkanmu." Devdan tertawa puas seakan mendapat hasil pancingan yang sangat besar.
"Boleh aku pergi sekarang?"
"Benar. Sesuai kesepakatan, kau menang, maka aku akan membiarkanmu lewat."
Setelah menatap Devdan risih, aku berbalik kemudian berjalan menjauh dari kerumunan.
"Kak Aray! Kau baik-baik saja? Aku mengkhawatirkanmu tau!" tanya Alicia cemas.
"Itu tadi hebat sekali Aray! kau terus-menerus berpindah tempat seperti itu!" Alvarado berteriak senang.
"Aku baik-baik saja."
"Benarkah?!" Wajah Alicia terlihat semakin cemas.
Melihatmu begitu semakin membuatku tidak ingin menunjukkan kemampuanku kepadamu.
"Ya, aku baik-baik saja." Jawabku, sedikit tersenyum.
"Ternyata kau bisa tersenyum juga." Goda Alvarado.
"Berisik."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
IG: _anipri
Ceritanya manarik
2022-07-14
0
re_tacky
noice
2022-06-24
0
Eros Lovera
mantapp
2022-06-07
0