"Selamat pagi semua. Mulai hari ini, saya adalah wali kelas kalian. Panggil saya Pak Roy," ucap pria bertubuh kekar itu dengan suara yang tenang namun tegas.
Pak Roy memiliki mata tajam, tubuh yang kokoh, dan aura yang membara. Ada sesuatu tentang kehadirannya yang langsung menarik perhatian seluruh ruangan. Kelas yang tadinya riuh perlahan hening di bawah tatapannya.
Di pojok kelas, Aray Kenzie memperhatikan dengan diam-diam. Dalam hatinya, dia bergumam, Semoga saja hari ini berlalu dengan tenang.
Pak Roy melanjutkan dengan suara yang semakin tegas, "Kalian tahu ini kelas apa? Kelas yang berisi orang-orang yang belum tahu cara memanfaatkan kekuatan mereka dengan benar. Kalian bukan lemah, hanya belum paham bagaimana menggunakan potensi kalian."
Tatapan tajamnya menyapu seluruh kelas, menyisakan rasa takut dan kagum dalam benak para siswa. "Mulai hari ini, saya akan membimbing kalian agar menjadi lebih kuat. Ingat ini baik-baik: yang kuat selalu berdiri di atas yang lemah. Dan yang lemah akan terus ditindas. Jangan mau jadi yang lemah, sekalipun itu benar. Berlatihlah, belajarlah, sampai kalian menjadi yang terkuat."
Di antara kerumunan siswa yang mulai tenang, seorang anak laki-laki bernama Alden Striker berdiri dengan kemarahan yang terlihat jelas di wajahnya. Alden bukan sembarang siswa. Dia berasal dari keluarga bangsawan yang memiliki tradisi panjang dalam sihir dan keturunan magus kelas atas. Namun, meski demikian, Alden selalu merasa tertekan karena standar tinggi yang diharapkan dari dirinya. Keluarganya adalah salah satu yang memiliki pengaruh besar di kerajaan, dan dia tak ingin mengecewakan mereka. Setiap kekalahan dianggap sebagai aib, dan setiap kelemahan adalah tanda kehancuran.
Bagi Alden, kekuatan adalah segalanya, dan dia dibesarkan dengan mentalitas bahwa mereka yang kuat akan selalu menang. Itulah mengapa ketika Pak Roy menyebut kata "lemah", Alden tak mampu menahan amarahnya. Kata itu menghantam egonya, membuatnya merasa terhina.
"Berengsek! Jangan seenaknya bilang kalau aku ini lemah!" Alden berteriak penuh amarah. Sebagai seseorang yang selalu ingin membuktikan dirinya, dia tak bisa menerima hinaan seperti itu, bahkan dari seorang guru.
Pak Roy menatapnya dengan senyum tipis. "Kau ingin melawanku?" tanyanya, kali ini dengan nada provokatif. Dia bisa merasakan ego besar Alden, dan sejujurnya, Pak Roy menikmatinya.
Alden mengangguk tanpa ragu. "Dengan senang hati!" Ia sudah siap bertarung, siap menunjukkan bahwa dirinya tidak selemah yang orang lain pikirkan.
Seluruh kelas seketika dipenuhi dengan ketegangan. Siswa-siswa mulai gelisah, suasana yang tadinya tenang berubah panas.
Di pojok ruangan, Aray tetap tenang. Dia tidak tertarik ikut dalam kekacauan itu. Namun, seorang anak laki-laki dengan aura misterius di sebelahnya mulai bicara, "Hei, kau. Aku lihat kau diam saja. Apa kau tidak tertarik dengan semua ini?"
Aray hanya melirik tanpa minat. "Jangan bicara denganku."
Dia merasa bahwa pria di sebelahnya ini adalah tipe manusia yang sangat menyebalkan—seperti racun yang perlahan-lahan menyusup ke dalam darahnya, mengganggu ketenangan yang ingin ia jaga. Menurutnya, menghindari interaksi dengan orang semacam ini adalah pilihan terbaik.
Anak itu tersenyum, seolah tidak terganggu oleh sikap dingin Aray. "Hm, sepertinya kau benci hal-hal merepotkan seperti ini, ya? Aku benar?"
Aray tak menjawab langsung, hanya mengangkat bahu. "Entahlah," gumamnya.
Anak itu tertawa kecil, lalu mengulurkan tangannya. "Ryan Alvarado. Salam kenal. Namamu?"
Aray memandang tangan Ryan sebentar, lalu berkata tanpa membalas uluran tangannya, "Aray."
Sementara itu, Pak Roy menggebrak meja, menarik perhatian semua orang. "Daripada ribut seperti ini, latih tanding sepertinya bukan ide buruk untuk hari pertama. Pilih seseorang sebagai lawanmu. Kalau menang, kau bisa bertarung denganku sepuasnya."
Alden yang tadi marah mengangkat dagunya dengan percaya diri. "Baiklah! Siapapun lawannya, aku tidak akan kalah!"
Pak Roy mengangguk. "Maka pilihlah."
Alden melihat sekeliling, mencari mangsa. Dia menatap semua siswa dengan tajam, hingga akhirnya matanya tertuju pada Aray. Tanpa ragu, dia menunjuk.
"Kau! Lawanlah aku!" katanya dengan penuh tantangan.
Aray mendengus pelan. Sial, apa memang keberuntunganku selalu seburuk ini?
"Merepotkan," kata Aray datar, tanpa menatap lawannya. "Pilih yang lain saja."
Alden tertawa mengejek. "Kau takut? Seperti yang dibilang orang, yang lemah selalu lari dari pertarungan."
Aray tersenyum tipis, akhirnya memutuskan untuk meladeni provokasi itu. "Lemah? Tong kosong nyaring bunyinya. Baiklah, aku ingin tahu seberapa kosong tong yang satu ini."
Seluruh kelas terdiam, menunggu dengan antisipasi. Pak Roy tersenyum puas. "Kalau begitu, aku akan menciptakan arena."
Pak Roy mengangkat tangannya, mengucapkan mantra dengan nada tenang namun penuh kekuatan.
"[Creation: Battlefield]!"
Ruang kelas mulai berubah. Partikel magi tersebar di udara, menciptakan sebuah arena dalam sekejap. Arena berbentuk Colosseum muncul di depan mata semua siswa, memukau mereka dengan keajaiban sihir yang terlihat nyata.
Di sekolah ini, tidak sembarang orang bisa menciptakan sebuah arena. Meskipun sihir arena [Creation: Battlefield] terdengar sederhana, kenyataannya, itu adalah sihir tingkat tinggi yang hanya bisa diakses oleh magus berpengalaman. Proses menciptakan arena tak hanya melibatkan mantra dan pengendalian magi, tapi juga penggunaan alat sihir khusus yang dikenal sebagai Catalyst Gem.
Catalyst Gem adalah batu sihir yang dirancang khusus untuk menyimpan dan memperkuat magi. Alat ini hanya dapat dimiliki oleh mage tingkat tinggi atau mereka yang diakui sebagai ahli dalam sihir ruang dan waktu. Alat ini digunakan oleh Pak Roy untuk menciptakan arena yang mampu menahan kekuatan besar, bahkan jika digunakan dalam pertarungan antar murid.
Saat Pak Roy mengangkat tangannya dan merapalkan mantra [Creation: Battlefield], dia juga menyentuh Catalyst Gem yang tergantung di lehernya. Batu sihir itu berkilauan sebentar sebelum memancarkan cahaya yang memenuhi ruangan. Dengan bantuan alat ini, Pak Roy mampu menciptakan arena berukuran besar dengan mudah dan presisi. Sebuah dunia virtual mulai terbentuk, menciptakan ilusi arena Colosseum yang kokoh dan terlihat nyata.
Alat seperti Catalyst Gem ini sangat mahal dan hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki otoritas dalam sistem sihir. Bahkan di kalangan bangsawan seperti Alden, alat ini adalah barang langka. Para mage tingkat tinggi menggunakan alat ini untuk membantu mereka dalam mengendalikan sihir-sihir yang memerlukan pengendalian energi yang kompleks, seperti menciptakan arena atau memanipulasi ruang.
Pak Roy, sebagai seorang guru dan mantan magus medan perang, memiliki kendali penuh atas alat ini, memungkinkan dia untuk menciptakan arena yang tidak hanya aman untuk digunakan, tapi juga membatasi dampak sihir yang digunakan murid-muridnya, sehingga mereka tidak saling melukai secara fatal. Sihir ini juga memantau kekuatan magi yang dilepaskan oleh setiap peserta, memastikan keamanan dalam setiap duel yang berlangsung.
Teknologi virtual yang ada di sekolah ini juga berfungsi untuk menyiarkan pertarungan di dalam arena kepada siswa dan guru. Sistem ini menggunakan jaringan sihir dan teknologi canggih untuk mobilisasi, membatasi, serta mencatat kemampuan dan potensi para siswa. Data yang terkumpul selama pertarungan akan dimasukkan ke dalam database sekolah untuk analisis lebih lanjut. Dengan cara ini, setiap siswa dapat dipantau perkembangannya, dan strategi pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing individu.
Dalam siaran yang ditampilkan di ruang kelas, para murid melihat angin sepoi-sepoi dan debu halus menerpa wajah Aray ketika dia berdiri di tengah arena, berhadapan dengan lawannya. Anak itu tersenyum sombong, mengangkat dagunya sekali lagi. "Tidak baik jika kita bertarung tanpa saling mengenal. Namaku—"
"Tak usah banyak bicara. Langsung saja," Aray memotong dengan dingin, melambaikan tangan, menunjukkan bahwa dia tidak tertarik.
Anak itu tersentak, tapi kemudian berkata, "Jangan sombong. Kau tidak akan bisa mengalahkanku, seorang bangsawan!"
Aray hanya menggeleng kecil, mengangkat bahu tidak peduli. "Omong kosong. Apanya yang anak bangsawan."
Pertarungan pun dimulai. Alden segera menggerakkan tangannya, mengucapkan mantra,
"[Wind Blaze]."
Badai angin muncul di tengah arena. Langit menjadi gelap, angin berputar kencang, mengangkat pasir dan menghancurkan beberapa bagian arena. Tornado besar terbentuk, siap menghancurkan apa pun yang ada di hadapannya. Murid-murid dan guru-guru menyaksikan dengan mata terbelalak, terkesima oleh kekuatan yang ditunjukkan Alden.
Alden tersenyum lebar, penuh keyakinan. "Bagaimana? Apa kau menyerah sekarang?"
Aray menatap datar, merasa bosan dengan pertarungan itu. "Payah," katanya pelan.
Badai yang semula mengguncang arena mulai berubah. Angin yang kencang dan debu halus menjadi semakin deras, menciptakan tirai visual yang sempurna untuk menyembunyikan gerakan Aray. Para murid dan guru tak menyadari bahwa di balik kekacauan badai, Aray sedang bergerak menuju Alden.
Dengan tenang, Aray mulai memusatkan magi di tubuhnya. Langkah kakinya nyaris tak terlihat ketika ia bergerak secepat kilat, muncul di depan lawannya tanpa suara. Dalam sekejap, dia menempelkan tangannya ke wajah anak itu dan mengucapkan mantra,
"[Death]."
Ekspresi Alden berubah seketika. Awalnya penuh percaya diri, wajahnya kini dipenuhi keheranan dan ketakutan. Matanya membesar saat menyadari seberapa cepat Aray bergerak, dan mulutnya terbuka lebar, seolah kata-kata terjebak di tenggorokannya. Dia tidak bisa mempercayai bahwa dalam hitungan detik, posisinya telah berbalik. Tubuhnya seolah membeku, tidak dapat bereaksi ketika magi hitam menyebar, menghentikan beberapa fungsi di tubuhnya. Alden terjatuh terkapar, tak sadarkan diri, dengan mata yang berubah putih. Suara ambruk terdengar di seluruh arena.
Aray menatapnya sekilas, lalu bergumam pelan, "Inilah yang disebut lemah."
Mantra sihir Death adalah salah satu teknik paling mematikan dalam repertoar Aray. Ketika diaktifkan, mantra ini memiliki kekuatan untuk menghapus kehidupan apa pun yang disentuhnya dalam sekejap. Energi hitam yang menyebar dari tangan Aray adalah manifestasi dari kematian itu sendiri—mampu menghancurkan sel-sel hidup dan merusak sistem organ secara instan. Dalam sekejap, siapapun yang terkena dampaknya akan merasakan kegelapan menyelimutinya, seolah-olah hidup mereka direnggut oleh tangan tak terlihat.
Namun, dalam pertarungan melawan Alden, Aray memilih untuk menurunkan efek dari mantranya. Alih-alih membunuh, dia hanya mematikan fungsi beberapa organ tubuh lawannya, memastikan bahwa Alden akan pingsan dan tidak mengalami cedera fatal.
Arena Colosseum perlahan menghilang, partikel-partikel magi terbang ke udara dan ruang kelas kembali ke bentuk aslinya. Aray duduk kembali ke kursinya dengan tenang, menghela napas pelan seolah merasa situasi ini sangat mengganggu. Dia melirik sekeliling kelas, melihat murid-murid lain yang masih terkejut dan bisik-bisik satu sama lain.
Huh, terlalu banyak drama untuk hari yang baru dimulai, pikirnya sambil menyandarkan punggung di kursi, wajahnya menunjukkan ekspresi bosan. Ia menatap kosong langit-langit kelas, seakan-akan dia ingin berkata, Ah... aku mulai menyesali ini.
Dengan santai, Aray menepuk jatuh debu pada seragamnya, tampak tidak peduli dengan sorotan penuh kekaguman yang mengarah kepadanya. Dia merasa sedikit terganggu oleh keributan yang ditimbulkan, seolah-olah semua perhatian itu tidak lebih dari sekadar gangguan yang menghalangi rencananya untuk menikmati jam pelajaran yang tenang.
Bisikan-bisikan terdengar dari seluruh kelas, beberapa murid terlihat saling berbisik dengan mata terbelalak, sementara yang lain menatap Aray dengan rasa kagum dan heran.
"Apa itu tadi? Cepat sekali," bisik salah satu siswa.
"Bahkan aku tidak tahu apa yang terjadi!," tambah siswa lain, sementara beberapa masih menatap Alden yang tergeletak di lantai dengan rasa penasaran.
"Padahal yang dilawan adalah seorang bangsawan. Aku dengar bangsawan itu juga cukup hebat," ujar seorang siswa lagi, mengarahkan pandangnya ke Aray.
Nyatanya, para murid sungguh tidak dapat melihat apa yang telah terjadi akibat badai yang diciptakan oleh Alden menutupi keseluruhan layar siaran. Namun, mereka tak bisa menahan rasa kagum sekaligus heran ketika menatap Alden, seorang dari salah satu keluarga besar Magus di kerajaan tergeletak dengan ekspresi menyedihkan di tengah ruang kelas hanya dalam hitungan detik setelah pertarungan dimulai.
"Hei, apa yang sebenarnya kau lakukan? Kau mengalahkannya dengan sangat cepat!" Ryan menatap Aray dengan kagum dengan mata berbinar dari tempat duduknya.
Aray berdecak pelan, memalingkan wajahnya.
Pak Roy berjalan mendekat, langkahnya tenang dan penuh percaya diri di tengah suasana kelas yang kacau. Beberapa murid masih berbisik dengan suara keras, membicarakan tentang pertarungan yang baru saja berlangsung. Ekspresi kagum dan ketakutan masih terpancar di wajah mereka, sementara beberapa lainnya tampak berusaha memahami apa yang baru saja terjadi.
Dengan senyum kecil, Pak Roy mengangkat tangannya sedikit, dan seolah ada kekuatan yang memengaruhi ruangan, semua suara mendadak menghilang. Seketika, kelas menjadi hening. Semua mata tertuju pada Pak Roy, menunggu kata-katanya.
"Tidak buruk. Siapa namamu?" tanyanya dengan nada yang tenang, tetapi ada ketegasan dalam suaranya yang membuat para siswa tidak berani membuat kebisingan sedikit pun.
Suasana kelas yang tadinya gaduh menjadi penuh ketegangan, seolah-olah setiap siswa merasakan pentingnya momen ini. Hanya ada suara detak jarum jam yang bergetar dalam keheningan, sementara semua perhatian tertuju pada anak dengan ekspresi acuh tak acuh itu, menunggu jawabannya.
Aray menatapnya malas, lalu menjawab singkat, "Aray Kenzie."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
Eros Lovera
badass Array cool banget
2022-06-07
1
Eros Lovera
keren ini , bisa dijadiin prinsip
2022-06-07
0
Shofia Febrianti
jelas
2022-03-24
0