Di Balik Megahnya Rumah Sakit

Di Balik Megahnya Rumah Sakit

1. Menjenguk Bulik

Gunung Timur

Sopinah baru saja tiba di rumah seusai sekolah. Ibu dan bapaknya juga belum lama tiba di rumah setelah berjualan di alun-alun Gunung Timur.

"Lhoh kok udah pulang, Pak, Bu?" tanya Sopinah dengan heran.

Tidak biasanya mereka pulang awal apalagi hari Sabtu. Biasanya mereka berjualan hingga malam hari untuk menemani bapak-bapak ngopi sembari bergosip dan bercanda.

"Iya, nanti malem buka lagi, sekarang tutup dulu. Ini Bapak sama Ibu baru dapat kabar kalau bulikmu* masuk rumah sakit. Disenam!" *bulik\=tante.

"Disenam? Apaan tuh, Pak?"

"Itu lhoh, disuruh nginep di rumah sakit, di Koja sana."

"Owalah opname, Pak, bukan senam! Jadi, Bapak Ibu ke sana semua? Terus aku di rumah sendiri? Aku takut, Pak!"

"Ya kamu juga ikut to ya, Bapak udah carter* mobilnya Kang Paijo." *carter\=sewa.

Mereka bersiap dan berdandan. Dalam hati sesungguhnya Sopinah bahagia karena gadis 15 tahun yang sebentar lagi lulus sekolah menengah pertama itu jarang-jarang pergi ke kota besar.

Kota di daerahnya adalah Wanasadri, sering ia sambangi karena Pak Eko dan Bu Eko (ayah ibunya) berjualan di pinggir alun-alun Wanasadri. Namun, kota itu tidak terlalu besar sehingga dia kegirangan jika diajak ke Koja.

Mau ke kota harus dandan yang maksimal biar cakep! (Sopinah).

"Pinaaah! Kita itu mau jenguk orang sakit, kamu kok dandannya kayak mau kondangan?!" komentar Bu Eko.

Terpaksa Sopinah menipiskan make up yang terlanjur ia pakai. Padahal dia baru saja membeli bulu mata palsu baru yang keriting indah, tapi harus ia lepas.

"Padahal artis-artis itu kalau mau ke mana-mana juga pada dandan. Apalagi penyanyi yang jadi anggota DPR itu, make up selalu on."

"Mulai lagi nih anak, kalau kita itu rakyat biasa. Nggak usah neko-neko, dan nggak usah sebut-sebut anggota perwakilan rakyat, nanti hilang kita." Ibunya kembali berpetuah kepada anaknya yang kritis dan suka menanyakan hal-hal di luar kapasitasnya. "Nanti kalau di rumah sakit, kamu jangan nanya yang aneh-aneh ya!"

Sopinah mengangguk. "Nanti pulangnya kita mampir mall ya, Bu. Aku belum pernah lihat mall yang di kota besar."

"Ke mall itu mau ngapain? Di sana isinya orang jualan doang, sama aja kayak di pasar."

Sopinah mendengus. Pupus sudah harapannya untuk bisa nge-mall.

~

Di dalam mobil

Sembari menikmati perjalanan, sang ibu memasukkan uang ke dalam amplop untuk diberikan kepada sang adik. Mata Sopinah tertuju pada uang yang dimasukkan ke dalam amplop.

"Lha itu ada uang, Bu. Kemarin pas aku minta, kata Ibu nggak ada," protes Sopinah.

"Sssttt ...." Ibu panik meminta Sopinah menutup mulut. Ia merasa malu kepada Kang Paijo, pemilik sekaligus sopir mobil yang mereka carter. Dia berbisik, "Ini utangan, gimana lagi, bulikmu lagi sakit, harus dibantu."

Sopinah mengangguk.

Bu Eko kembali berbisik kepadanya, "Eh, kamu udah janji jangan nanya yang aneh-aneh lho! Kok nggak tepat janji sih?"

Sopinah mendekati telinga ibunya untuk menjawab dengan berbisik pula. "Aku kan nanyain tentang duit, Bu, bukan hal aneh kok. Bukan tentang siluman atau alien."

~

Rumah Sakit Keluarga Bahagia, Koja

Mata Sopinah berbinar melihat bangunan megah yang sangat modern di hadapannya. Tidak apa harapan ke mall telah pupus, rumah sakit ini saja bangunannya lebih mewah daripada pusat perbelanjaan.

Ini rumah sakit apa hotel sih? Kok mewah banget? (Sopinah).

Lain di bentuk, lain di rasa. Saat menapaki lantai memasuki rumah sakit mewah itu, Sopinah merasa panas. Padahal, AC menyala. Bulu kuduknya berdiri.

Mereka bertiga berjalan menyusuri rumah sakit itu untuk mencari ruang rawat inap tempat buliknya dirawat.

Kok bau anyir darah? (Sopinah).

Dia pun menengok ke kanan. Rupanya mereka memang melewati laboratorium, dan sedang ada pasien yang diambil sample darahnya.

Sopinah mengangkat wajahnya melihat wajah orang yang lalu lalang berpapasan dengannya. Dokter-dokter laki-laki di sana tampan-tampan karena yang cantik tentunya bukan laki-laki.

dr. Daniel apa tadi belakangnya. (Sopinah).

Sopinah membaca dalam hati name tag para dokter yang membuat matanya sedikit tersegarkan. Memang benar, tidak usah ke mall, di rumah sakit ini pun bisa melihat pemandangan yang meyegarkan.

dr. Nathan, dr. Zelani. Dokter itu harus ganteng kali ya biar pasien-pasiennya cepet sembuh. Astoge, itu! Itu yang paling ganteng. Dokter siapa tuh namanya. dr. Frans? Tapi kok name tagnya beda sama dokter-dokter lain ya? (Sopinah).

"Ini kayaknya, Pak," ujar Bu Eko kepada suaminya sembari menunjuk sebuah ruangan dengan nama adiknya di sana.

Mereka pun masuk. Satu ruang bangsal itu ditempati oleh 2 pasien. Antara pasien diberi tirai sebagai pemisah. Meski dirawat inap di ruang bangsal kelas 2, ruangan itu tidak sekecil ruang bangsal kelas 2 di rumah sakit daerah Gunung Timur.

Rumah sakit kota memang beda. Walau orang-orang mengatakan sama saja, tidak dengan kenyataan yang dilihat oleh Sopinah. Tetap saja yang lebih mahal dan tempatnya lebih kota lebih baik fasilitasnya.

"Gimana keadaannya, Murti? Kok malah nginep di sini?" Bu Eko memeluk adiknya sembari mengucurkan air mata.

Selain sedih karena adiknya sakit, dia juga sedih karena dia membawa amplop hasil berutang. Kredit panci Happyprol saja belum lunas, ditambah utang untuk nyumbang.

Sementara itu Pak Eko dan Sopinah hanya menonton kakak beradik di hadapannya sedang menangis. Bagaimana pun, menyikapi musibah memang sejatinya dengan menangis, bukan tertawa terbahak-bahak. Jadi, sangat dimaklumi.

"Iya, Mbak. Mana Mas Bono lagi keluar kota, lagi ada kerjaan."

Pernyaataan Bulik Murti ini membuat Bu Eko kian histeris sampai-sampai pasien di sebelah agak terganggu dengan suara itu.

"Sssttt ...," kata keluarga pasien sebelah.

Sopinah agak malu ibunya berisik seperti itu tapi ia tahan. Kadang jika sudah tidak tahan, dia akan mengaku kebelet lalu kabur ke toilet, dan ajaibnya, dia selalu bisa langsung buang air besar. Pencahar alami ini dapat dijelaskan dengan ilmu pskiatri.

~

Jam telah menunjukkan pukul 5 sore. Sopinah menyenggol-nyenggol ibunya, memberi kode untuk segera pulang. Namun, tampaknya sang ibu tidak tega meninggalkan adiknya sendirian di rumah sakit.

Bu Eko pun membawa Pak Eko dan anak gadisnya keluar ruangan untuk berbicara 12 mata (6 mata untuk melihat, yang 6 lagi adalah mata kaki mereka).

"Aku kasihan sama Dik Murti, Pak. Gimana kalau kita nginep di sini?" usul Bu Eko.

Sopinah melotot mendengar ide agak ekstrim ibunya. Pasalnya, tempat tidur tidak memadahi, ruangan yang ditempati juga bukan VIP, mereka harus berbagi kamar dengan orang tak dikenal.

Bagus jika kebiasaan tidur hanya mengorok. Bagaimana jika mengigau sembari mengumpat? Bagaimana jika garuk-garuk tempat yang seharusnya tidak digaruk?

"Ya nggak bisa to, Bu! Bapak udah janji mau buka nanti malam. Itu perkumpulan bapak-bapak adalah pelanggan terbesar angkringan."

Sopinah lega mendengar sang ayah tak setuju.

"Ya sudah, Bapak pulang saja sama Kang Paijo. Ibu sama Sopinah yang nginep di sini."

"Apa?!" []

Bersambung ....

Terpopuler

Comments

Kiki Rizkia Apriliani

Kiki Rizkia Apriliani

jenenge unik🤭

2024-04-16

0

Aidha Dhum

Aidha Dhum

Keren Thor, smangat Update nya. Jangan lupa mampir karyaku dan beri kritik dan saran buat penulis baru ini🤗🙏 mohon dukunganya buat semua.

2024-04-09

0

Bunda Silvia

Bunda Silvia

Hahaha pupus lagi harapan sopinah

2024-03-26

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!