5. Mengikuti Ke Sekolah?

Beberapa hari setelah peristiwa di Rumah Sakit Keluarga Bahagia, ada perubahan yang terjadi pada diri Sopinah. Bukan pada postur tubuh yang mendadak seperti idol di negara Korsel, bukan juga pada hidung yang tiba-tiba mancung mendadak, tetapi pada kepribadian gadis itu yang sekarang lebih pendiam.

Teman sekelas yang tidak menyukai Sopinah tentu bahagia melihat gadis itu tidak banyak bersuara. Namun, teman sefrekuensinya merasa kesepian tanpa kicau canda dari Sopinah.

Peristiwa di rumah sakit itu masih segar dalam ingatan karena memang baru beberapa hari yang lalu. Mungkin 70 tahun lagi saat dia sudah sangat tua, dia akan lupa.

Sopinah duduk termenung di kelas, menatap kosong ke arah papan tulis. Lagi-lagi merenung tentang pengalaman horornya di rumah sakit Keluarga Bahagia. Sopinah menggelengkan kepala, mencoba memaksa dirinya untuk melupakan semuanya.

Dia sendiri heran, memori indah tidak ada yang seawet ini. Bagaimana bisa memori horor justru diingat dengan baik dan rinci. Dia berpikir bagaimana agar memori horor dapat diaplikasikan pada pembelajaran sekolah, sekali belajar-diingat seumur hidup.

Suasana kelas masih ramai karena Pak Supri, guru mata pelajaran bahasa dan sastra belum memasuki kelas. Teman-teman se-frekuensi Sopinah kini sedang bercerita nggedabrus* di dekatnya. (*nggedabrus\=banyak omong).

Memang itulah hobi mereka dan Sopinah dulu. Sekarang gadis itu malah merasa tak nyaman.

"Tolong jangan cerita soal hantu-hantu dong," ucap Sopinah setelah teman sekelasnya, Nana, bercerita tentang pengalaman yang diduga melibatkan makhluk halus dengan suara yang agak keras.

Nana mengernyit heran. "Kamu kenapa sih, Pin? Kamu biasanya paling suka cerita horor."

"Itu dulu. Sekarang, aku agak takut dan nggak nyaman aja," jawab Sopinah.

"Ya udah, aku kecilin suaranya biar kamu nggak denger." Nana dan yang lain bergeser agak menjauh dari Sopinah.

Hanya saja, jangan berharap topik mereka masih tentang cerita horor. Sekarang mereka malah sedang membicarakan tentang perubahan sikap Sopinah. Begitulah, topik sangat mudah berganti di pergaulan. Apalagi topik tentang teman sendiri, wuih gurih untuk digali.

Sopinah hanya memalingkan wajah, tak ingin mendengar apa pun itu. Pikirannya kembali ke rumah sakit dan segala kisah horornya. Dia pun mulai mengaitkan dengan kehidupannya. Pertanyaan muncul di benaknya, mungkinkah para penghuni rumah sakit itu bisa menyusulnya di sekolah? Atau di rumah? Tapi naik apa? Apa ada angkutan untuk hantu?

Pak Supri, guru bahasa dan sastra memasuki kelas. Guru berkumis tipis itu tampak kusut.

"Maaf, tadi ada rapat guru sebentar. Mari kita mulai pelajaran," ucap Bapak Supri, memimpin kelas. "Hari ini kita akan belajar tentang penggunaan kata sifat dalam kalimat. Siapa yang bisa mengatakan satu kata sifat?"

Pak Supri mengedarkan pandangan ke seluruh kelas, biasa, mengincar siswa untuk menjawab pertanyaannya. Terpilihlah siswa di pojok belakang. Pojok belakang memang selalu dijadikan tolok ukur apakah pembelajaran tersampai secara menyeluruh atau tidak.

Posisi fisik belakang memang terjauh dari jangkauan guru sehingga mereka yang berada di deret belakang harus bersiap sering ditanya.

Benar saja, siswa di pojok tak bisa menjawab. Namun, bukan karena dia tidak memperhatikan pelajaran, tapi karena materi pelajaran memang belum disampaikan. Guru mengetes siapa tahu tadi malam ada yang curi start belajar.

Pak Supri meminta semua membuka buku paket terbitan departemen pendidikan yang masih wangi karena baru. Setiap tahun memang selalu baru karena di negara Wekaweka Land, sedikit-sedikit ganti kurikulum sehingga koleksi buku menumpuk.

Sopinah mencoba memperhatikan pelajaran dengan seksama tetapi pikirannya terus terganggu oleh bayangan horor yang merayap di kepalanya. Dia kembali melirik ke arah papan tulis dan melihat sesuatu yang membuatnya sangat kaget.

"Pinah, ada apa sih?" tanya Nana yang melihat wajah Sopinah pucat.

"Ap--apa itu, Pak Supri?" Sopinah menunjuk ke arah papan tulis di belakang gurunya.

Semua orang di kelas menoleh ke arah papan tulis.

Sopinah melihat sebuah pesan bergaris merah yang ditulis dengan jelas.

"Tulisan apaan sih?" tanya seorang teman sekelas.

"Kalian nggak lihat?" tanya Sopinah.

Bapak Supri berjalan perlahan mendekati Sopinah. Suara sepatunya terdengar begitu keras di telinga gadis itu. Sedangkan suara di sekitar tiba-tiba senyap. Semua murid diam dengan ekspresi wajah yang datar.

Pak Supri telah dekat. Wajahnya tiba-tiba menghitam. Mulutnya memutih. "Kamu ingat aku? Aku yang di rumah sakit," tanya Pak Supri dengan suaranya yang berubah menjadi sangat besar.

"Aaarrrrgggghhhh ...." Sopinah menjerit.

"Sopinah Selawati! Ada apa? Sedang sakit atau kenapa?" tanya Pak Supri di hadapannya.

Sopinah mengucek matanya saat melihat wajah Pak Supri telah kembali seperti semula. Dia menengok ke arah teman-teman sekelasnya yang juga telah berekspresi seperti biasa.

Beberapa siswa mulai berbisik-bisik satu sama lain. Sopinah melihat ke papan tulis. Tulisan besar dengan tinta merah juga telah hilang dari sana.

"Sopinah, kok pucat sekali? Kalau sakit, lebih baik ke UKS (Unit Kesehatan Sekolah) saja. Istirahat dulu. Atau ke ruang BK minta surat izin pulang duluan." Bapak Supri memerintah Sopinah yang masih dengan wajah pucat di bangku.

Sopinah mengangguk takut dan pergi keluar kelas.

Seluruh siswa yang tinggal di kelas menjadi ramai, berbisik-bisik.

"Tenang semua! Ayo kembali ke pelajaran, jangan malah kayak pasar. Nggak ada yang aneh dengan Sopinah. Bapak kasih tahu ya, orang sakit itu biasa kalau berhalusinasi. Ayo, dibaca tentang kata sifat! Nanti Bapak kasih pertanyaan."

Dengan langkah gontai, Sopinah menuju ruang bimbingan dan konseling untuk meminta surat izin pulang. Guru BK yang melayani pun mengkhawatirkan Sopinah yang tampak pucat dan lemas.

"Mau diantar pulang? Atau ke rumah sakit aja?"

"Enggak, Pak. Saya kuat kok," jawab Sopinah.

Lagi pula Sopinah yakin raganya sesungguhnya tak sakit. Hanya pikirannya yang menyedot seluruh tenaga hingga lemas dan pucat. Juga, tambahan rasa takut yang teramat sangat membuat seluruh pikirannya diliputi perasaan waswas.

Sopinah berjalan ke luar dari gedung sekolah menuju pemberhentian bus. Entah berapa kali dia menengok ke belakang karena merasa diikuti oleh seseorang.

~

Sopinah tiba di sebuah perempatan. Dia turun dari angkutan umum pertama dan harus berganti dengan angkutan umum ke jalur menuju rumahnya. Dia menapaki zebra cross untuk menyebrang jalan, masih dengan langkah lemas.

"Awas, Dik!" teriak seseorang di seberang sana.

Samar-samar Sopinah mendengar itu kemudian menoleh ke arah jalan yang ternyata telah ada sebuah mobil mendekat ke dirinya dengan laju sekitar 80 kilometer per jam. Pengendara tak sempat membanting kemudi, hanya dapat menginjak rem sekuat tenaga hingga terdengar cicitan gesekan kampas rem.

Suara tabrakan benda padat terdengar.

Orang-orang di sekitar segera berkerumun untuk memberi pertolongan. Pengemudi mobil segera keluar untuk melihat keadaan korbannya yaitu Sopinah. []

Bersambung ....

Terpopuler

Comments

Ai Emy Ningrum

Ai Emy Ningrum

Haalaaah itu mah ngegosip nama nya ...ga emak2 ga anak sekolah semua jg hobi ,pada jd rumpiwan rumpiwati 😋😋😋

2023-09-26

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!