11. Rindu

Seorang perawat dengan membawa baskom berisi air hangat telah siap untuk memandikannya dengan cara dilap. Perawat itu terlihat familiar.

Bukan Rusma/Rosi, tapi yang lain. Mereka tak saling kenal, Sopinah hanya melihat versi kembaran di dunia lain. Ia membiarkan perawat itu merawat dirinya.

"Awww, sakit," pekik Sopinah saat perawat itu membersihkan sekitar bekas jahitan operasi. "Awww perih." Perih adalah jika sang perawat menyenggol luka di kulit akibat aspal.

"Maaf ya, Dik. Habis mandi nanti lalu makan pagi, setelah itu bisa minum obat."

"Iya, Mbak. Nggak apa-apa kok."

Di dunia satu lagi bahkan aku nggak ngerasa sakit sama sekali. Di sini harus minum obat dulu. (Sopinah).

~

"Permisi, ini sarapan paginya. Ini untuk pasien, ini untuk 1 pendamping," kata seorang perawat laki-laki yang mengantar, persis dengan yang ditemuinya di dunia lain.

"Wuoh, di dunia sebelah anter makanan, di sini juga. Kerjaannya bisa sama gitu ya," gumam Sopinah.

"Apa, Dik?"

"Ahahah, enggak kok, Mas. Makasih banget ya makanannya."

Sopinah meneliti makanan yang di hadapannya. Ibu dan ayahnya pun begitu. Namun, karena hanya ada satu porsi makanan untuk pendamping, Bu Eko keluar dari ruangan untuk membeli nasi bungkus di warung luar.

"Wuah, makanannya kayaknya enak banget. Bapak nggak pernah makan makanan kayak gini, Pin. Ini rumah sakit apa hotel?" komentar Pak Eko sebelum menyantap makanannya.

Sopinah menyuap satu sendok sop. "Akh ... hambar!"

"Hambar apanya, enak banget gini kok! Oh, mungkin yang buat pasien emang nggak boleh asin-asin."

Meski di lidah Sopinah terasa hambar, dia tetap menghabiskan sop yang memang hanya semangkuk kecil itu. Lanjut ke daging sapi yang dimasak empuk. Irisan daging itu sebesar telur ayam.

Ibunya masuk ke ruangan membawa nasi bungkus untuk dirinya. "Wuah, makanan kalian enak-enak semua ya. Ibu mau nyobain dong, Pak."

"Ini irisan dagingnya kecil banget sih," komentar Sopinah.

"Kecil apanya?! Tahu nggak kalau di rumah sakit di tempat kita sana, malah sama sekali nggak dapat daging sapi. Terus yang kamar VIP di sana dapatnya lebih kecil dari ini. Ini sih gede banget."

Gede apaan, semalam aku makan pot roast sepiring gede. Dagingnya seukuran tangan Bapak. Mana empuk banget, aromanya wangi pula. (Sopinah).

Gadis yang baru saja operasi itu menghabiskan makanannya dengan ogah-ogahan. Padahal, untuk ukuran makanan rumah sakit, itu sudah yang paling enak. Namun, semalam dia menikmati daging pot roast yang lebih istimewa membuat apa yang di hadapannya saat ini biasa saja.

Berlanjut ke sajian buah. Terdapat irisan buah melon yang warna kuning di sana. Sopinah meringis, membandingkan dengan melon yang ia makan semalam. Warna melon di hadapannya tidak secantik melon Yubari King.

Ketika memasukkannya ke mulut, tidak ada sensasi sejuk seperti melon semalam. Padahal di sampingnya, orang tua Sopinah memekik gembira dapat menikmati buah premium yang jarang bisa mereka nikmati. Dia malah kecewa dengan segala hidangannya.

Setelah sesi makan selesai, Sopinah merengut saja di atas tempat tidur. Bu Eko memberikan ponsel Sopinah yang sejak semalam diisi ulang dayanya.

"Nih handphone-mu, udah penuh batrenya. Tumben banget kamu nggak nyari-nyari, biasanya Crossing ini nempel terus di tanganmu."

Gadis itu menerima ponselnya. Dia tersenyum, karena di alam lain tidak ada ponsel. Itu adalah satu-satunya kecanggihan di sini yang bisa dia andalkan meski tidak sebanding dengan fasilitas dan keindahan lain yang di luar nalar.

Sopinah membuka-buka aplikasi Chatsapp. Banyak dari teman-temannya yang menanyakan kabarnya. Belum sempat menjawab, dia mengingat melon yang ia makan semalam.

Apa ya kata Rosi, kok agak lupa. Yubari King kayaknya. Coba browsing, akh. Ada beneran atau enggak ya? (Sopinah).

Dia terkejut bukan kepalang melihat hasil penelusurannya. Melon Yubari King ternyata harganya mencapai ratusan juta. Dia telah memakan sebuah melon yang harganya setara harga mobil kelas menengah ke atas, bukan hanya mobil kaleng kerupuk.

Sopinah menjatuhkan ponselnya, untung ke kasur, bukan ke lantai atau ke toilet.

"Pin, kenapa kok kayak orang kejang?! Ada yang sakit? Nanti Ibu bilang sama perawatnya." Bu Eko khawatir dengan ekspresi anak gadisnya yang seperti orang sedang kesakitan.

"Eng--enggak usah, Bu. Aku nggak apa-apa. Aku cuma agak kaget. Aku habis makan mobil."

"Hah? Makan mobil? Aduh ini efek operasi kali ya kamu jadi ngelantur kayak gini."

~

Sopinah dipandu untuk latihan berjalan. Dia dituntun oleh seorang perawat. Namun, dia merasa risih jika berjalan harus dipegangi oleh orang lain. Tepatnya mungkin agak gengsi.

"Ya udah, Pin, ayo sama Ibu aja." Bu Eko menawarkan diri.

"Nggak usah, Bu, aku sendiri aja. Bapak Ibu istirahat aja di sini, nonton-nonton TV. Siapin aja handphone-nya, nanti kalau aku nyasar, aku telpon."

Karena kondisi Sopinah yang sudah mendingan, kedua orang tuanya mengizinkan. Lagi pula, di kamar kelas 1 ini terdapat smart TV sebesar 29 inci yang terhubung dengan internet.

Mereka bisa menonton film di aplikasi Konflix sepuasnya tanpa khawatir harus memasukkan nomor kartu kredit yang tidak mereka punyai. Semua sudah tersedia, siap pakai.

Sopinah berjalan menuju pintu lalu menabrak pintu itu.

"Aduh!" erangnya.

"Ya ampun, Pinah!" Bu Eko berlari menuju pintu. "Pintunya dibuka dulu kalau mau keluar. Ibu temenin aja ya, kamu kayaknya belum bener-bener sehat."

"Nggak, nggak usah. Aku sehat kok. Itu tadi karena ... aku merem, jadi nggak tahu kalau udah sampai pintu."

Di dunia sebelah, dia bisa asal tubruk tanpa harus membuka pintu. Ternyata meski sebentar, kebiasaan-kebiasaannya di sebelah melekat begitu cepat ke dalam ingatannya.

~

Sopinah tiba di taman belakang rumah sakit. Pemandangan yang dilihatnya sama sekali berbeda. Tak ada kolam biru berkilauan, tak ada bunga berwarna-warni ada di sana. Dan cuacanya biasa saja.

Dia duduk kemudian mengeluarkan ponselnya. Dia mengetikkan 'Dubai Miracle Garden' di kolom pencarian. Gambar-gambar yang tersaji sangat indah persis dengan yang ia lihat semalam.

Bahkan lebih indah yang ada semalam dari pada versi asli. Ada penambahan di beberapa titik sebagai improvement.

"Di sini juga pasti nggak ada Rotunda Dome, nggak ada piano sama harpa yang bunyi sendiri. Nggak ada buah yang harganya ratusan juta. Dan nggak ada salju."

Dia bermonolog membuat beberapa orang di sana meliriknya dengan tatapan aneh.

Akh, pada ngira aku aneh. Fyuh, padahal kalau di sana bisa bebas ngomong tanpa ada orang yang denger. (Sopinah).

Sopinah merasa rindu untuk mengunjung tempat itu lagi. Namun, dia harus pulang esok hari. Waktunya hanya tinggal nanti malam saja. Itu pun jika jiwa astralnya keluar dari tubuh.

Mata gadis itu sedikit tersegarkan melihat seseorang yang tak ditemuinya di dunia sebelah yaitu seorang dokter yang dikaguminya saat berkunjung ke rumah sakit ini pertama kali.

"Dokter Frans?" []

Bersambung ....

Terpopuler

Comments

Andini Andana

Andini Andana

biyar ga iri irian Sop 😙

2023-10-03

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!