8. Kesadaran 150%

"Ini berapa?" tanya dokter sembari memperlihatkan jari.

"Dua," jawab Sopinah dengan suara serak.

Dokter dan tenaga medis lain memeriksa keadaan Sopinah. Mereka menyatakan bahwa Sopinah sudah cukup baik untuk dibawa ke ruang bangsal. Pengaruh obat bius masih belum sepenuhnya hilang.

Secara gradual atau sedikit demi sedikit baru kesadarannya akan penuh. Sopinah yang berada di atas brankar melihat sekeliling saat diantar ke kamarnya. Rasanya seperti dagangan yang sedang dijajakan.

Semua orang melihat ke arahnya. Ingin dia acungkan jari tengah kepada semua orang yang menontonnya. Akh ... aibnya sudah banyak terbuka di ruang operasi, Sopinah tak ingin memenuhi headline surat kabar dengan judul 'Seorang Siswa SMP Acungkan Jari Tengah Pasca Operasi'.

Mereka telah sampai di bangsal Flamboyan, bangsal kelas 1 di rumah sakit itu. Bapak ibu Sopinah setia menemani sang anak.

~

Beberapa jam setelah operasi, Sopinah diperbolehkan duduk. Operasi laparoskopi memang sedikit lebih cepat pulih dari pada operasi terbuka. Kesadaran Sopinah juga telah berangsur pulih.

Dia bersyukur tapi juga menangisi nasibnya yang harus dirawat di rumah sakit itu. Seingatnya, terakhir kali dia di sini, dia telah bersumpah tidak akan datang ke mari jika ada orang sakit, dia memilih menjenguk di rumah.

Oh, sumpahku kurang panjang kayaknya. Aku bilangnya aku nggak mau jenguk orang di sini. Eh malah dirawat di sini. (Sopinah).

Selain mendampingi anak, Bu Eko dan Pak Eko merasa takjub dengan ruang bangsal kelas satu yang ditempati oleh anak mereka. Mereka belum pernah melihatnya di rumah sakit itu. Bangsal kelas 1 di rumah sakit di Gunung Timur sana tidak sebagus ini.

Sopinah mencoba untuk duduk.

"Eh, kok mau duduk! Kamu itu habis operasi, duduknya besok!"

"Kata dokter tadi, aku udah boleh duduk. Ini kan udah beberapa jam, Bu!"

"Salah denger kali, Pak Marjo tetangga kita aja baru boleh duduk besokannya. Dia juga operasi usus buntu. Udah, kamu mendingan nurut Ibu atau nunggu nanti kalau ada dokter atau perawat ke sini."

Sopinah mengurungkan niat untuk duduk. Lebih baik begitu dari pada terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Terlebih lagi, operasi laparoskopi terhadap dirinya yang dia saksikan belum terkonfirmasi kebenarannya.

Itu karena dia belum memastikan apakah saat dia hanya bermimpi atau benar-benar jiwanya keluar dari tubuh.

"Lagian kenapa buru-buru mau duduk segala, kamu dirawat dulu di sini. Agak lama juga nggak apa-apa."

"Hah! Kok ngomong gitu sih, Bu?" Sopinah terkejut malah diminta menginap lebih lama. Memangnya ini hotel? "Pak, masak Ibu ngomong gitu? Belain aku dong, Pak! Lebih baik cepet sehat terus kita pulang. Di sini ngeri."

"Ngeri gimana sih, Pin! Kamarnya aja bagusan ini dari pada kamarmu di rumah." Ucapan Pak Eko membuat Sopinah mengelus dada.

Ada apa dengan kedua orang tuanya, kenapa malah betah di tempat ini. Mereka tidak merasakan mimpi seram ditambah tempo hari saat menengok Bulik Murti, Sopinah beberapa kali kena prank oleh makhluk penunggu rumah sakit.

"Aku tuh mimpi serem, Pak, Bu. Aku takut ada di sini lama-lama."

"Kamu lupa nggak doa kali. Nanti malem doa yang banyak, yang kenceng biar mimpinya nggak serem lagi."

Seorang perawat datang untuk memeriksa keadaan Sopinah. Kebetulan gadis itu mengenal sang perawat karena telah dia hapal dan semalam dia temui doppelganger-nya dalam mimpi. *doppleganger\=orang yang sangat mirip/kembaran tapi bukan saudara kembar.

"Selamat malam Adik Sopinah, ketemu lagi. Yang dulu nungguin saudara, kan? Ini sudah boleh latihan duduk, tapi karena sudah malam, mau langsung istirahat saja atau mau duduk sekarang?"

"Sekarang aja, Mbak. Ehehehe, saya pengen cepet sembuh."

Rusma membantu Sopinah untuk duduk.

"Pak, Bu, udah pada makan belum? Mendingan Bapak Ibu keluar dulu beli makanan. Aku udah nggak apa-apa, ada Mbak Rusma juga."

"Hyah," desah Bu Eko. "Mana bisa makan kalau lihat kamu kayak gini."

"Tapi kalau aku sakit terus kalian ikut sakit, nanti yang rawat harus perawat semua lho. Mendingan Bapak Ibu makan dulu."

Iya juga ya. Sopinah di sini dibiayain orang. Kalau aku sama Mas Eko yang sakit, siapa yang ngebiayain. (Bu Eko).

Mereka berdua menurut juga dengan pendapat Sopinah. Kini di kamar itu tinggal Sopinah dan Rusma. Ini memang moment yang dinanti oleh gadis SMP itu. Dia sengaja 'mengusir' orang tuanya sendiri untuk bisa berbicara berdua saja dengan Rusma.

Tentu bukan ungkapan cinta lah yaw. Jangan salah sangka dulu.

"Mbak, ehm ... operasiku ini dibedah gitu ya? Robekannya gede?"

"Enggak, kamu operasi pake alat namanya laparoskop. Bedahannya cuma kecil dan cepet sembuh. Karena belum pecah jadi masih bisa pake metode itu. Eh ... hati-hati ya, ini luka lecet-lecetnya jangan sampai banyak gores-gores biar cepet kering."

Satu fakta terkonfirmasi. Namun, belum bisa menjawab apakah yang dialaminya tadi mimpi atau bukan. Pasalnya, sebelum dia dibius pun dia melihat layar besar monitor operasinya.

Sopinah berpikir keras apa yang mungkin dia gunakan sebagai tolok ukur antara mimpi atau kenyataan. Tidak mungkin dia menanyakan tentang Madam Monik atau Dani, bisa-bisa dia disangka berhalusinasi.

"Kalau ... oh, apa ada pasien yang namanya Stella Putri siapa gitu."

"Iya, ada. Kok tahu? Kenal?"

Jantung Sopinah berdetak tambah kencang. "Ng--nggak kenal sih, cuma sempet lihat kamarnya."

"Oh, tadi lewat situ ya?"

Benar juga. Dia tadi memang melewati kamar Stella. Ada kemungkinan dirinya membaca tulisan kemudian membawanya ke dalam mimpi.

"Eh, pasien yang namanya Stella itu masuk rumah sakit karena kena pecahan kaca?" tanya Sopinah yang gundah menanti jawaban dari Rusma.

Jika jawabannya 'ya', maka dia bukan bermimpi. Karena keterangan tentang itu dia dapat dari Rosi, doppleganger Rusma.

"Dia itu kena ... ledakan."

Sopinah sedikit lega mendengarnya. Dia bergumam kecil, "Berarti mimpi doang."

"Oh iya bener, ledakan botol kaca."

Seketika gadis itu lemas dan gemetaran. Dia mengeluarkan keringat dingin yang banyak sehingga membuat Rusma agak panik.

"Dik, kok tiba-tiba dingin dan keringetan?" kata Rusma sembari memeriksa bekas jahitan Sopinah.

"Nggak apa-apa, Mbak. Ayo jangan berhenti, aku mau cepet duduk, terus cepet jalan! Ini kan operasi canggih. Kalau bisa malem ini juga aku pulang. Aku kangen kasurku di rumah."

"Ya tetep nggak bisa. Secanggih-canggihnya operasi tetep harus nginep. Kan harus dipantau dulu semuanya."

~

Bu Eko dan Pak Eko telah terlelap di bed pendamping pasien. Bed penunggu di kamar kelas 1 sedikit lebih besar dari pada di kelas 2 sehingga orang tua Sopinah bisa tidur berdua di sana meski tetap saja untel-untelan.

Tersisa Sopinah yang matanya masih segar. Rasa perih di sekujur tubuhnya dan bekas jahitan tidak begitu terasa karena obat pengurang rasa sakit. Hanya saja dia sudah tidak dalam pengaruh obat bius sehingga kesadarannya penuh.

Bahkan jika direpresentasikan dalam persentase, kesadarannya 150%. 50%-nya adalah kesadaran tambahan dari rasa takut dan waswas sehingga raganya menolak untuk tidur.

Sebentar, ada yang aneh. Waktu aku nginep di sini nungguin Bulik Murti itu aku nggak tidur waktu lihat pisau ngambang. Jadi aku musti gimana? Tidur atau nggak tidur serba salah. (Sopinah).

"Aaarrrggghhh ...." []

bersambung ....

Terpopuler

Comments

Ai Emy Ningrum

Ai Emy Ningrum

ini Stella yg calon karyawati ,gebetan nya si Uday ama Riz yak 🤣🤣

2023-09-30

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!