3. Tidak Bisa Membedakan

Melihat pemandangan ngeri di hadapannya, darah Sopinah serasa membeku, tulang-tulangnya seperti direbus di panci presto hingga lunglai dan lunak, jantungnya berdegup sangat kencang sekencang kuda yang sedang beradu di arena pacuan.

Mulutnya berusaha berteriak, tapi tak berhasil. Hanya mangap lebarlah yang bisa ia lakukan. Seketika ia kehilangan kontrol di kandung kemihnya sehingga sedikit mengalirkan air, untung tadi sudah ia keluarkan di toilet sehingga stok di kandung kemih telah out of stock.

Pandangan mata mulai menguning, kemudian gelap. Kesaradarannya perlahan hilang. Sopinah terjatuh pingsan di lorong bangsal, di hadapan ruangan kecil remang-remang.

~

"Dik, Dik, Dik," panggil suara lembut seorang wanita disertai guncangan di badan.

Sopinah telah mendengar panggilan dan merasakan guncangan, tapi matanya masih lengket, susah untuk dibuka. Dia curiga setan yang ia lihat mengoleskan lem Uhuk ke matanya.

Stage berikutnya, hidungnya mengendus bau balsem yang sering digunakan oleh simbah dekat rumah untuk kerokan dan untuk masuk angin. Mata Sopinah mulai membuka, terdengar ungkapan lega dari wanita-wanita di dekatnya.

Eh, jangan melek dulu. Dugaanku, mereka ini perawat. Kalau bukan, gimana? Kalau Mbak Kun Kun semua gimana? Tadi lihat satu Mbak Kun palsu aja rahangku rasanya kayak dilas. Gimana kalau Mbak Kunnya serombongan gini? (Sopinah).

Mulut Sopinah mulai merapa doa meski hanya terdengar seperti gumaman. Tapi, situasi ini berbeda dengan saat dia pingsan tadi. Kini tidak begitu tegang. Dia memutuskan untuk membuka mata setengah dulu untuk mengintip makhluk apa yang membangunkannya.

Jika manusia, dia akan langsung bangun. Jika semua adalah kun-kun, dia punya rencana back up yaitu lari sekencang-kencangnya kalau bisa. Atau ya, pingsan lagi saja.

Dia mengintip. Agak gemetar karena semua memakai baju putih seperti yang dipakai kun-kun. Namun, ia segera ingat bahwa seragam perawat pun berwarna putih.

"Dik, bangun, Dik." Panggilan itu terus diserukan tapi mata Sopinah hanya terbuka setengah.

Karena gemas bercampur kasihan, salah satu perawat membantu agar matanya terbuka sempurna yaitu membuka kelopak mata Sopinah dengan jari.

"Untunglah Adik udah siuman. Cek tensi dulu yuk," kata mbak-mbak cantik perawat di sana. "Adik lagi kurang sehat atau gimana? Apa sering pingsan kayak gini?"

Sopinah menggeleng. Dia menengok ke sekitar. Ada 2 perawat yang ada di sana. Terlihat juga sebuah balsem bermerk Lemason yang ia hirup aromanya tadi.

"Eh, Mbak, ini nggak bayar, kan?"

Perawat itu tersenyum. "Enggak, Dik. Ini kemanusiaan. Nggak semua harus bayar."

Sopinah lega tidak menambah pengeluaran. Dia juga lega ternyata saat kencing di TKP, air seninya tak banyak, hanya mungkin beberapa tetes. Ia baru menyadari pentingnya pipis sebelum tidur.

"Mbak, di tempat situ ada apaan sih? Sering ada yang pingsan di situ nggak?"

"Di tempat Adik pingsan tadi? Itu ruang alat-alat gitu. Tapi pintu buat aksesnya dari sebelah sana."

Sopinah meminta perawat itu untuk menemaninya ke ruangan kecil tadi. Kali ini karena bersama dengan seorang perawat, dia sedikit merasa berani. Karena ketakutan bukan seperti matematika yang jika 1+1\=2 (1 orang takut + 1 orang takut \= 2 orang takut sekali), tetapi 1 orang takut + 1 orang takut \= 2 orang agak berani.

Mereka saling berpegangan tangan, tapi bukan adegan roman picisan. Sopinah merasakan tangan perawat itu dingin. Rupanya bukan hanya Sopinah yang merasa takut, perawat yang sudah terbiasa bekerja di sana pun merasa takut.

Beberapa langkah lagi mereka sampai. Belum ada tanda-tanda aroma anyir seperti tadi. Ketika sampai, Sopinah mengernyit. Tidak ada ruangan kecil di sana, hanya ada tembok.

Apa aku tadi halusinasi? Atau kenapa? Tapi aku yakin banget aku lihat di sini tuh ruangan kecil terus ... nggak usah dijelasin lagi, aku kan sampai pingsan. Masak iya aku cuma mengada-ada? (Sopinah).

"Di sini kan maksud, Adik? Tadi pingsannya di sini. Harusnya digaris pake kapur ya? Tapi nggak punya kapur sih."

Sopinah menyeringai ngeri. Dianggap apa dirinya tergeletak lalu digaris kapur?

"Mbak, aku tadi lihat di sini itu ada pintunya, terus di dalamnya itu ruangan kecil remang-rem--- Ya udah deh." Suara Sopinah terputus.

Tak ada gunanya menjelaskan jika yang tersaji di hadapannya 180 derajat berbeda dengan apa yang ia lihat tadi. Dia kini mencubiti lengannya, meyakinkan diri bahwa kini dia berada dalam mode benar-benar sadar.

"Dik, jangan cubit-cubit gitu, nanti lebam lho."

"Nggak apa-apa, Mbak. Aku mau mastiin aja kalau aku sadar sepenuhnya, udah nggak pingsan atau lagi halusinasi."

Sopinah mengambil ponsel di sakunya yang bermerk Krosing, ponsel android kelas low end. Dia memotret tembok itu.

"Krosing? Merk apa tuh, Dik? Kok saya baru lihat?" komentar sang perawat.

"Kalau merk Kros udah pernah denger, Mbak?" tanya Sopinah yang ditanggapi anggukan oleh sang perawat. "Nah, ini dulunya Kros terus ganti nama jadi Krosing. Karena jaman sekarang ke mana-mana bawa handphone bahkan toilet pun pada bawa handphone, filosofi merk ini jadinya Krosing\=Kroso Ngising, teman sejati saat mencari inspirasi di toilet."

Perawat itu manggut-manggut mendengar penjelasan Sopinah yang sungguh rinci. Ide lain muncul di benak Sopinah.

"Mbak, minta izin foto bareng ya. Ini mau aku jadiin bukti kalau aku waras."

"Jangan, Dik. Kalau udah malem gini tuh, perawat-perawat insecure karena kucel-kucel. Dah, Adik istirahat aja dulu, udah malem banget lho."

Iya juga, sedari tadi hingga larut malam begini, dirinya belum berhasil tidur, malah pingsan. Perawat itu mengantar ke kamar kemudian berpamitan.

"Selamat istirahat ya, Dik. Saya mau cek pasien ke sana."

Sopinah mengangguk. Dia lega peristiwa horor yang menimpanya telah berakhir. Namun, kembali ia disambut oleh suara dengkuran yang bersahut-sahutan.

Astaga, aku mendingan ngobrol sama mbak-mbak perawat tadi aja. (Sopinah).

Dia berdiri di depan pintu untuk menemui perawat tadi. Lama menunggu, tidak ada yang lewat. Ia pun menemui perawat 1 lagi yang duduk dan turut membangunkannya saat pingsan. Balsem Lemason juga masih ada di atas meja perawat.

"Mbak, perawat yang satunya tadi ke mana?"

Perawat itu tampak bingung. "Dari tadi saya jaga sendiri, Dik. Perawat yang tadi izin pulang duluan jam 10. Ini nunggu yang jaga shift 3."

Sopinah terkejut bukan kepalang. Mulutnya kembali menganga dengan rahang yang terasa sulit digerakkan. Kemudian dia menggeleng-gelengkan kepalanya, mencurigai yang di hadapannya apakah dia sedang bercanda atau tidak. Dan jika tidak sedang bercanda, apakah dirinya manusia atau bukan?

"Mb-mbak serius?"

"Iya, Dik."

Sopinah meneliti perawat di hadapannya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sepertinya yang di hadapannya kini asli. Atau entah bila dia di-prank lagi.

"Ehm ... kalau tadi waktu saya pingsan lalu jalan ke sana, Mbak lihat, 'kan? Aku kan tadi sama temen Mbak."

"Tadi setelah Adik pingsan, Adik jalan ke tempat Adik pingsan tadi sendirian. Adik sempet motret deh kayaknya. Soalnya saya lihat Adik ngarahin handphone ke tembok terus ada lampu blitz nyala."

"Hah?!" Sopinah kembali kehilangan kesadarannya, pingsan. []

Bersambung ....

Terpopuler

Comments

Ai Emy Ningrum

Ai Emy Ningrum

hape taun 2010 aku prnh punya ituh /Facepalm//Facepalm/

2023-09-28

1

Ai Emy Ningrum

Ai Emy Ningrum

ilmu kudu..kudu lari ..ambil jurus langkah seribu /Gosh//Gosh//Gosh//Gosh/

2023-09-28

0

Ai Emy Ningrum

Ai Emy Ningrum

eehh Sopinah pingsan nya kok kek cerbung aja..berlanjut 😳

2023-09-26

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!