KENYATAAN
KEJADIAN itu benar - benar mengganggu pikiranku.
"Ini tidak mungkin. Aku benar - benar bisa gila," gumamku terus - menerus memutar ulang percakapan antara aku, Adrian dan Aunty Ann siang tadi.
"Apa yang aunty katakan? Jadi ibuku melahirkan dua kali? Atau dia kembaranku?" tanyaku menuntut.
"Tidak Avera. Adrian sebenarnya adalah putraku," jawabnya membuat Adrian yang tadi menunduk mengangkat kepalanya dan menatap heran pada Aunty.
"Apa? Lalu? Bukankah bibi adalah istri paman? Jika begitu, berarti Adrian adalah sepupuku bukan adikku bi."
"Ceritanya panjang, Avera," ucapnya lalu memejamkan matanya sejenak. "Setelah melahirkanmu, Eliza jatuh tak sadarkan diri. Kemudian ayahmu, Dante Roberts, kehilangan semangat hidupnya hingga hari itu tiba."
"Hari itu apa?" giliran Adrian yang bertanya dengan gusar.
"Hari dimana harusnya menjadi malam pernikahanku dengan Dementa justru membawa petaka. Ayahmu yang setengah sadar, akhirnya-" ucapannya terhenti.
"Kenapa bibi tidak mencegahnya? Bibi sadar seratus persen, bukan?" Aku berteriak marah. Merasa sakit membayangkan ibuku dikhianati seperti ini walaupun nyatanya ayah tak sadar tapi bibi..
"Saat itu aunty juga merasa ragu, Ave. Tapi wajah ayahmu dan Dementa sama persis sehingga akhirnya Dementa murka dan mencoba membunuhku."
"Dad dan Dementa kembar? Astaga, fakta apa ini? Apalagi yang belum kuketahui? Aroma. Iya, aroma! Bibi pasti bisa membedakannya!" Kupijat kepalaku yang berdenyut nyeri.
"Aroma mereka pun sama persis, Ave. Aku belum bisa mengenali Dementa seperti halnya Eliza mengenali Dante dengan baik karena mereka telah menyatu."
"Aku tidak percaya ini," ucap Adrian dengan tangan mengepal. Dia lalu membuka portal dan menghilang.
"Ave," panggil Elias sambil mengusap rambutku. "Aku tahu semua ini membuatmu terkejut. Tetapi kau harus menjaga kesehatanmu, sayang."
Aku tak merespon ucapannya dan hanya menyandar pada bahunya. Memang setelah sejak tadi hingga kini, Adrian belum kembali. Dan aunty mengajak semua berkumpul untuk menceritakan ulang apa yang dia katakan padaku dan Jessy serta Fred membenarkan semua perkataannya. Airen serta Sarah hanya mampu tercengang. Arvel yang mendengarnya langsung keluar bersama Fred berusaha mencari keberadaan Adrian.
Sedang Elias yang menyebalkan dengan mudah mengatakan, "Senang mendengar bahwa aku tak lagi mempunyai musuh dalam selimut. Karena dia akan menjadi adik iparku nanti."
"Bagaimana jika dia terluka di luar sana?" bisikku putus asa.
"Kenapa kau begitu mengkhawatirkannya?" tanya Elias dengan nada tak suka.
"Dia adikku Elias."
"Dan dia mencintaimu, Avera."
Sontak aku langsung menjauh dari tubuhnya. "Kau tahu darimana hal itu?"
Elias memandangku dalam diam mencekam.
"Elias.."
Menghembuskan nafas kasar dia memalingkan wajahnya dan menatap ke langit hitam.
"Aku tidak jadi berburu dan mengikutimu. Kemudian aku pun melihat dan mendengar 'semuanya'."
Itu artinya..
"Elias, maafkan aku," ucapku penuh sesal.
Dia menoleh dan tersenyum hambar. Lalu kedua tangannya menggenggam erat tanganku. "Jika kau berjanji tidak akan membiarkan siapapun walaupun itu adikmu sendiri menyentuh milikku, permintaan maafmu kuterima."
Aku mengukir senyum dan menciumnya pertama kali. "Im promise cause Im yours, forever."
Dia akhirnya tersenyum dan membalas ciumanku.
●●●
Keesokan harinya, aku menemui aunty Ann untuk membujuknya makan sekaligus menggali penjelasan lebih lanjut.
"Aunty," tegurku padanya yang tengah melamun.
Dia tersentak dan tersenyum melihatku. "Avera."
Aku pun duduk di sampingnya. "Aunty, baik - baik saja bukan?"
Dia menggeleng. "Adrian belum pulang hingga hari ini. Bibi khawatir, Avera."
"Adrian, adikku juga bi. Tapi kumohon, jaga kondisi bibi. Bibi harus tetap sehat saat bertemu dengan Adrian nanti," ucapku berusaha membujuknya agar mau memakan makan malamnya.
Dia menggeleng dan aku menyerah. Dengan ragu, aku mencoba bertanya padanya. "Apakah aunty merasa keberatan jika menceritakanku tentang kedua orangtuaku?"
Dapat kurasakan tubuhnya menegang sejenak sebelum akhirnya rileks kembali dan pandangannya menerawang.
"Dulu, aku, Eliza dan Keyla -yang telah membesarkanmu selama ini- adalah sahabat baik. Aku mengenal Keyla terlebih dulu karena ayah dari suaminya atau kakekmu telah bersahabat jauh sebelum perang dimulai."
"Tunggu dulu," kuhentikan ceritanya sejenak. "Apakah ayah aunty adalah penyihir yang menolong kakek membuat ramuan penyembunyi aroma?"
Dia mengerutkan dahi. "Darimana kau tahu, Avera?"
"Aku membaca kisah kakek di buku miliknya."
Aunty bergumam 'oh'. "Kau benar. Sejujurnya itu bukanlah ramuan, Ave. Aku mempunyai kemampuan tersebut untuk menyamarkan diriku yang seorang penyihir. Namun dengan bantuan sihir yang kupelajari, aku dapat mengubahnya menjadi ramuan."
"Sekarang aku baru mengerti kenapa kadang aku tak dapat mencium aroma Adrian. Kemampuanmu menurun padanya, aunty."
Aunty Ann tersenyum perih. "Aku senang dia mewarisi kemampuanku. Ah ya, dan kemudian Eliza bertemu ayahmu."
"Ya. Dan mereka menikah kemudian," ucapku sambil tertawa kecil bersamanya. "Apa aunty tahu dimana orangtuaku dsembunyikan oleh paman?"
"Peluang mereka masih hidup sangat kecil, sayang. Aunty pernah mengatakan padamu bahwa ibumu, Eliza tengah koma, bukan?"
Aku mengangguk.
"Dan ayahmu, Dante saat itu dalam kondisi setengah sadar," ujarnya putus asa.
"Berapa tingkat sihir ayah dan paman, aunty?" tanyaku was - was.
"Aunty tak tau tepatnya, tapi yang aunty tahu, kemampuan sihir ayahmu di atas Dementa. Itulah sebabnya, raja sebelumnya mengangkat ayahmu sebagai penggantinya."
Kuhembuskan nafas lega, setidaknya masih ada harapan untuk kedua orangtuaku hidup.
"Terimakasih, aunty." Aku memberinya pelukan sebelum berpamitan untuk pergi berburu bersama Elias.
"Kita berangkat?" tanya Elias yang tiba - tiba muncul di depanku.
"Ya."
Dia mengulurkan tangannya, memberi isyarat. Aku tertawa kecil dan meraih tangannya. Kami pun berlari bersama menembus hutan yang berkabut.
"Aku tidak mau minum darah kelinci lagi," ujarku sambil bersembunyi di balik pohon.
"Arah jam satu ada seekor kijang," bisik Elias.
Aku tersenyum miring dan mulai memanjangkan taringku. Tak butuh waktu lama, kijang tersebut sudah mati kehabisan darah. Kulirik Elias yang berjalan menghampiriku. Dia pun memakan daging kijang tersebut dengan lahap. Apakah selapar itu?
"Done," ucapnya lalu mengusap noda di sekitar mulutnya. "Mau jalan - jalan dulu?"
Aku mendengus. "Elias, kita tidak punya waktu untuk itu. Tingkatku baru naik menjadi 20. Setidaknya aku harus menambah sampai 10 tingkat hari ini."
"Wow. Oke, princess. Kalau begitu, mau kuberi tumpangan? Kau belum berkenalan dengan Mack secara normal bukan?"
Aku menaikkan alis dan memukul lengannya. "Dan melihatmu tanpa sehelai benang seperti saat aku menolongmu begitu? Tidak, terima kasih," ucapku lalu berlari meninggalkannya.
"Ave, hei, love. Tunggu," teriaknya yang tak kuacuhkan.
Diam - diam aku mengulum senyum menanggapi sikapnya. Elias..
DEG..
Aroma ini..
Aku berhenti berlari dan menunggu sosok itu keluar.
"Adrian, aku tahu kau ada di sekitar sini," teriakku akhirnya membuat dia menunjukkan dirinya padaku. "Kemana saja kau? Aunty, maksudku ibumu, kami semua mengkhawatirkanmu."
"Benarkah? Bukankah baru saja aku melihatmu tertawa, sister'?" tanyanya sinis.
Aku tertegun hingga kurasakan sebuah tangan kekar melingkar di pinggangku. "Elias?"
Elias melirikku sejenak sebelum fokus pada Adrian. "Kau sudah sangat dewasa, brother untuk mengambil sebuah tindakan. Ayo, sayang, kita kembali ke tempat perkumpulan."
Elias pun menarikku berlari bersamanya. Aku menoleh ke belakang dan menemukan Adrian tersenyum datar sebelum masuk ke portalnya.
●●●
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Triiyyaazz Ajuach
jgn smp krn mslh ini bkin adrian berbalik jdi musuh
2020-05-31
1