LIBURAN
GAGAL. Dad tidak jadi mewujudkan rencana liburan bersama menuju Paris. Seharusnya aku merasa senang. Tetapi melirik ke samping kanan, dimana Adrian memeluk bahu Airen protektif. Lalu ke samping kiri dan mendapati Arvel dengan wajah datarnya, justru membuatku merasa jauh dari kata 'senang'. Rencana berlibur Dad memang tidak sepenuhnya gagal. Kami berempat kini berada di dalam Disneyland.
Aku tahu bahwa seharusnya aku tidak menantang gambaran masa depan Arvel tentang taman bermain, wahana, dan darah. Tetapi Dad dengan segala ancaman dan kekuasaannya berhasil membuatku dan saudaraku bungkam. Dan herannya mengapa dua mahluk di sampingku juga ikut? Well memang hubunganku dengan dua bersaudara tersebut tidak seburuk pertemuan awal kami. Tapi hubungan ini juga belum bisa dibilang baik. Walaupun begitu, Adrian telah berjasa membagi ilmunya, dan aku berharap dia mau melakukannya lagi.
"Sampai kapan kau akan terus melamun, Ave?" tanya Arvel sambil memeluk bahuku.
"Aku tidak melamun." Aku mengelak. "Hanya mengamati keramaian di sini."
"Benarkah? Sepi seperti ini dan kau mengatakan 'keramaian'?" Senyum miringnya muncul. "Aku tidak percaya. Katakan, apa yang mengganggumu?"
Aku meliriknya yang tengah memandangku serius. "Tidak ada." Kemudian aku mengangkat ujung bibirku. "Mau mencoba bermain?"
Arvel menaikkan sebelah alisnya lalu terkekeh kecil. "Kita tidak akan mencoba satupun wahana di sini, oke? Sebaiknya kita keluar sekarang."
Aku melotot. "Kau mau *D*ad menghancurkan mobilmu, lagi? Atau mungkin membuat bangkrut perusahaan game yang baru kau rintis lima tahun lalu?"
Arvel meringis. "Aku tidak bisa membayangkan usahaku akan bernasib sama dengan butikmu kalau hal itu benar - benar terjadi."
"Apa yang terjadi pada butikku disebabkan olehmu, ingat? Gara - gara menolongmu, aku-"
"Shh.." Dia membekap mulutku. "Sebaiknya kita coba satu wahana."
"Aku tidak mau."
"Why? Bukankah kau menolak untuk kuajak keluar dari sini?"
"Itu bukan berarti aku mau bermain juga, Arvel." Kuputar bola mata jengah.
Ia menarik tangannya dariku. Pandangannya menatap lurus dan terkesan kosong. Merasa penasaran, aku memutar kepalaku hingga dapat melihat apa yang menjadi fokus Arvel.
"Airen, huh?"
Arvel menatap kembali padaku. Dia tersenyum pahit. Kuhembuskan nafas panjang sebelum menarik tanganku bersamanya.
"Kau mau membawaku kemana?"
"Mungkin aku ingin mencoba wahana itu." Telunjukku terangkat dan terarah pada entah-apa-namanya. Jujur saja, ini pertama kalinya aku ke taman bermain. Karena Dad maupun Mom selalu membawa kami ke rumah para saudara mereka saat liburan tiba.
"Baiklah."
Kami pun menikmati quality time tersebut. Setidaknya, perasaan Arvel akan membaik. Lalu kami berdua turun dengan saling melempar senyum.
"Avera, Arvel." suara Airen menghentikan langkah kami.
"Airen? Kau sendiri? Dimana Adrian?"
Gadis itu tersenyum perih. "Aku tidak tahu." Kemudian dia memandangku. "Bisa aku berbicara dengan Arvel?"
Dapat kulihat tubuh Arvel sedikit tersentak. "Tentu," jawabku lalu meninggalkan mereka berdua.
Kesendirian memang menjadi makanan sehari - hariku. Aku tidak memiliki seorangpun teman dari kaum manusia, sehingga ketika aku mengenyam pendidikan, aku akan sendirian. Suasana tempat ini sekarang benar - benar sunyi. Mungkin karena hari telah larut.
"*Good *Evening, Avera Foxter, " sapa seseorang membuatku bersiaga. Aku mengenal suara wanita ini. Wanita yang menginginkan jiwaku.
Aku mendongak dan menemukannya duduk di atas wahana tornado. "Kau lagi."
Dia tertawa angkuh. "Senang bertemu denganmu juga, Avera."
"You must be kidding, witch."
Tawanya seketika berhenti. Dia menatapku dengan tajam.
"Aku akan membuat mulutmu tertutup selamanya," ucapnya dengan senyum sadis sebelum melompat dan menyerangku.
Dengan sekuat tenaga, aku berusaha melawannya. Walaupun aku tau bahwa ilmu sihirku masih seujung kuku.
"Menyerahlah saja!" Wanita itu mendesis sambil menatapku nyalang.
Nafasku terengah. Dapat kurasakan energiku hampir terkuras habis. Dimana kalian Arvel, Adrian?
"Tidak akan," ucapku kemudian kembali menyerangnya. Namun tanpa diduga, tubuhku terpental dengan keras dan menatap jejeran besi.
Aku meringis dalam diam. Berusaha bangkit tetapi tubuhku terlalu lelah untuk melakukannya.
"Sudah cukup bermainnya, Avera." Tawanya kembali terdengar. "Icecyslaknmuer."
Belum sempat mengucap mantra penghalang, beberapa balok es runcing menusuk tubuhku. Spontan aku menjerit, ini sangat menyakitkan.
Aku terbatuk dengan darah ikut keluar dari tenggorokanku. Tangan, perut, kaki, semuanya terdapat bekas tusukan balok - balok es yang baru saja aku cabut.
"Lemah. Kau lemah, Avera. Aku heran mengapa dia mau menukar jiwa kuat dengan gadis lemah sepertimu," ucapnya sinis.
Aku mengabaikan ucapannya dan mengamati luka - lukaku yang menganga. Proses penyembuhan yang sangat lambat ini disebabkan oleh energiku yang menipis. Apakah tidak ada manusia di sekitar sini?
"Saatnya kita pergi, Avera."
Aku menatap was - was portal yang berjarak tiga meter dariku hingga rasa sakit yang teramat dalam menyerang kepalaku. Dan kedua mataku tertutup dengan sendirinya.
●●●
Cahaya menyilaukan membuat indra penglihatanku terganggu. Aku mengerjapkan mata dan cahaya itupun memudar.
"A.. drian?"
"Diamlah," bisik Adrian. Lalu dia bangkit dan berbalik menatap wanita tersebut.
"Kau selalu saja menghalangiku, Adrian."
Dia mengenal Adrian?
"Pergilah dari sini, Sarah. Pria itu hanya membohongimu. Aiden telah dieksekusi tiga tahun yang lalu. "
Jadi namanya Sarah. Siapa Aiden?
Aku berusaha bangun namun tubuhku tidak mampu melakukannya. Saat memejamkan mata menahan sakit, kurasakan tubuhku melayang karena sepasang lengan mengangkatku. Sontak aku membuka mata dan langsung bertatapan dengan kedua mata berlensa hitam.
"Elias? Kenapa kau bisa berada di sini?" tanyaku membuat Adrian dan wanita bernama Sarah itu menoleh ke arah kami.
"Aku terlambat lagi," ucapnya dengan nada menyesal. Dia memandangku sendu. "Maafkan aku."
"Bawa dia pergi, Armond," ucap Adrian sebelum menyerang Sarah.
"Turunkan aku," teriakku lirih.
Elias mendengus. "Tidurlah saja. Kau butuh istirahat," ucapnya sambil terus berlari dengan cepat. Aku terus memandang wajahnya dari bawah. Dengan jarak sedekat ini, aroma darinya semakin menguat, tercium oleh indra pembauku.
"Baumu harum." Aku mendekatkan wajahku ke lehernya. "Aku haus."
"Kau boleh meminum darahku, Avera."
Mendengar hal itu, kedua taringku mulai memanjang. Tinggal satu senti hingga taringku menancap di lehernya, aku berhenti. Well, aku tidak tahu apa dampak yang akan kudapatkan karena ulahku ini. Sekalipun, aku belum pernah meminum darah werewolf. Kuurungkan niatku dan mulai memejamkan mata.
"Kenapa kau tidak jadi meminumnya?"
"Aku tidak lapar."
"Bukankah kau bilang bahwa kau haus? Darahku dapat mempercepat penyembuhanmu."
"Istirahat juga akan mempercepatnya."
Tidak ada balasan lagi darinya. Kami diam sampai akhirnya dia menurunkanku di kursi penumpang.
"Bawa aku pulang."
"Tidak, kita akan ke rumahku."
"Kumohon. Aku ingin istirahat di kamarku."
Elias menghembuskan nafas panjang kemudian mengangguk.
●●●
Setelah kepulangan Elias, Mom kembali duduk di samping tempat tidurku. Kondisiku sudah membaik berkat darah hewan yang *M*om berikan padaku. Semua luka telah tertutup dan aku dapat membersihkan diri dan berbaring lagi di tempat tidur ini.
"Apa yang terjadi padamu, Ave?" tanya *M*om dengan mata berkaca - kaca.
"Ada penyihir yang menyerangku, Mom," jawabku. Sedetik aku melihat wajahnya menegang ketika mendengar kata 'penyihir'. Apakah ini saatnya aku bertanya pada *M*om tentang jati diriku?
"Kau harus istirahat, dear," ujarnya beranjak dari tempat duduk.
"Mom," kutahan lengannya. "Aku sudah tahu bahwa aku bukan vampir murni sepeti *Mom,D*ad maupun Arvel."
"Avera," gumamnya lalu kembali duduk. "Sejak kapan kau mengetahuinya? Dan siapa yang memberitahumu?" tanyanya cemas.
"Baru - baru ini dan kakek lewat bukunya yang memberiku sedikit fakta tentangku hingga Adrian datang membantuku mencari tahu."
"Maafkan *M*om telah merahasiakan hal itu." Dia memandangku sendu.
"Mom, apakah *Mo*m tahu apa yang terjadi dengan orangtua kandungku?"
Mom mengangguk. "Semua hal berawal dari Eliza, ibumu adalah sahabat *M*om. Dia juga seorang vampir murni."
Aku mendengarkan ceritanya dengan seksama. Jadi darah vampir berasal dari ibuku.
"Saat perang, dia bertemu ayahmu yang merupakan pasangannya. Hubungan mereka ditentang kaum vampir dan Eliza akhirnya ikut bersama ayahmu ke kerajaan penyihir."
"Lalu?"
"Hingga hari itu, dia datang dengan keadaan yang tak bisa dibilang baik. Dia menitipkanmu padaku sebelum pergi begitu saja tanpa sepatah kata apapun. Yang Mom dengar, hari itu kerajaan penyihir sedang mengalami kekacauan. Dan ayahmu sedang berperang dengan pamanmu. Setelahnya, *Mo*m tidak mendapat kabar mereka lagi," Mom mengakhiri ceritanya dengan isak tangis.
Bergegas aku bangkit dan memeluknya erat. "Terima kasih untuk telah merawatku hingga sekarang, *M*om."
Dan tanpa dapat kucegah, air mataku ikut mengalir menemani tangisan Mom.
"Avera, kau baik - baik saja?" tanya Arvel yang berdiri di ambang pintu.
Aku mengangguk dan melepas pelukan.
"Kalau kau benar - benar baik, kenapa kalian berdua menangis?" tanyanya khawatir. Dia berjalan ke arahku dan memeriksa sekujur tubuhku.
"Arvel, hentikan." Aku menatapnya kesal. Sedang *M*om hanya tersenyum kecil sebelum meninggalkanku berdua dengan Arvel.
"Kau benar. Aku hampir terkena serangan jantung saat melihat kondisi Adrian tadi. Beruntung kau-"
"Apa yang terjadi pada Adrian? Dimana dia sekarang?" Aku memotong perkataannya.
Arvel menjilat bibirnya. "Kondisinya lumayan parah. Tetapi dia menolak untuk dibawa ke rumah sakit. Dan alasannya membuatku tahu bahwa dia adalah seorang penyihir. Fakta yang mengejutkan dan hanya aku dengan kau saja yang baru tahu sekarang."
Aku hanya diam.
"Ave?"
"Ya?"
"Kau mau melihat Adrian? Dia ada di kamarnya bersama dengan *Da*d."
"Tidak sekarang. Apa *Da*d memberinya obat?"
"Ya. Tetapi aku penasaran, ceritakan padaku. Kenapa kau dan Adrian bisa terluka seperti ini?"
Arvel menatapku menuntut jawaban. "Kami diserang oleh seorang penyihir." Tepatnya aku hingga Adrian datang menolong.
"What? Why?"
Aku menggeleng. "Aku tidak tahu." Aku berbohong. Dia menginginkan jiwaku, batinku.
Tatapan Arvel lalu berubah. "Maafkan aku," ucapnya penuh sesal. "Aku telah berjanji untuk melindungimu namun justru tidak ada di sampingmu saat kau dalam bahaya. Im really sorry, Avera."
Aku tersenyum tipis. "Kau selalu melindungiku, Arvel. Kau adalah saudara terbaikku yang kupunya." Aku membentangkan tangan dan memeluknya. Menyandarkan wajahku pada perutnya.
Arvel mengusap rambutku perlahan. "Kau juga saudara terbaikku, Ave."
●●●
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Triiyyaazz Ajuach
ternyata mommy ave dan ibunya bersahabat
2020-05-31
1