BAB XI

PELATIHAN

SUASANA di ruang keluarga begitu mencekam. Setelah pulang dari acara wisudaku tadi pagi, malam ini kami berkumpul untuk membahas rencana kepergianku ke kerajaan penyihir bersama Adrian. Namun, sudah setengah jam lebih kami berenam hanya diam membisu.

"Dad.." gumamku lirih yang pasti terdengar jelas olehnya.

Dad menoleh padaku lalu menatap ke arah *M*om yang hanya mengangguk kecil. Sepertinya mereka sedang melakukan telepati untuk berbicara satu sama lain.

"Dad tak yakin dengan rencanamu, Avera. Walaupun kau memiliki darah penyihir yang mengalir di tubuhmu, itu semua tak cukup untuk menjadi pembekalanmu di sana," ucap *D*ad dengan bijak.

"Aku akan melatihnya, *D*ad," Adrian angkat bicara.

"Dan aku akan menemani Avera," ucap Arvel yang duduk di sampingku.

"Tidak Arvel," ucapku spontan. "Kau tidak bisa ikut."

"Apa ini Avera? Kau melarangku? Kau saudaraku, mana mungkin aku hanya duduk menyaksikan kau menghadapi bahaya." Dia mendesis hingga kedua tangannya mencengkram bahuku erat. "Walaupun kita tidak terlahir dari rahim yang sama, kita tetap bersaudara Avera. Selamanya dan sudah menjadi tugasku untuk melindungimu."

Aku hanya diam menatap Arvel sebelum akhirnya memeluknya. "Arvel, terima kasih."

"Bagaimana Dad?" tanya Adrian sekali lagi meminta jawaban akan keputusan *D*ad.

Dad menatap dalam padaku dan Arvel. "Hanya jika Dad rasa Avera telah mampu menggunakan sihirnya, maka *Da*d akan izinkan kalian."

Hembusan nafas lega pun terdengar. Aku melirik Adrian yang berdiri di samping Airen sejenak. Pria itu balas melirikku sebentar sebelum kembali fokus pada Dad. Lalu kedua mataku berganti mengamati Airen yang memasang wajah murung. Well, mungkin karena *Da*d tidak mengizinkannya ikut bersama kami, dia menjadi sedih seperti itu.

"Sebaiknya kita makan malam sekarang. Mom telah memasakkan kalian rendang," ucap *Mo*m mencairkan suasana hening yang sempat menyelimuti.

"Rendang? Apa itu *M*om?" Airen akhirnya membuka mulutnya.

"Rendang adalah masakan yang terbuat dari daging dan-"

"-berasal dari Indonesia," ucapku sambil tersenyum pada *M*om.

Mom tertawa lalu menunjukku. "Kau benar, sayang. Ayo kita makan sekarang!"

Dan semua kecuali aku tentunya, berjalan menuju ruang makan. Aku mengamati punggung mereka hingga tiba - tiba Airen berbalik menatapku.

"What?" tanyaku.

Gadis itu tak menjawab dan hanya menatapku tanpa ekspresi sebelum kembali melangkah. Ada apa dengannya?

●●●

Sebelum fajar terbit dengan sempurna, sepasang tangan telah menarikku dari atas tempat tidur. Dengan tidak sopannya, dia menggeretku menuruni tangga dan berjalan menuju halaman belakang rumah yang cukup luas.

"Arvel, aku masih mengantuk," gumamku lalu melepas paksa tangannya dariku.

"Apakah tidurmu begitu pulas, Avera?"

Mendengar bahwa suara itu bukan milik Arvel, kedua mataku langsung terbuka lebar.

"Elias?" Kedua kakiku reflek mundur beberapa langkah. "Kenapa kau ada di sini? Bagaimana mungkin? Baumu?"

"I miss you too, Avera," dia mendengus geli. "Bagaimana aku bisa di sini?"

Dia menaikkan sebelah alisnya, menunggu reaksiku. Namun aku hanya memberinya balasan lewat tatapanku yang menuntut penjelasan.

"Kau bisa tanyakan hal itu pada Mr Foxter, Avera." Dia menggerakan dagunya sebagai isyarat.

Lantas aku menoleh ke belakang dan menemukan *D*ad berdiri dengan tangan terlipat di depan dadanya.

"Dad? Apa maksud pria tak jelas yang memakai baju Arvel ini?"

"Elias akan mendampingimu, Avera," jawab *D*ad membuatku membulatkan mata.

"What? Why? Dad, are you serious? Elias tidak ada hubungan apa - apa dengan hal itu. Dan dia juga-"

"Dia mate-mu, Avera," potongnya membungkam aksi protesku. "Itulah alasan kenapa *D*ad memintanya untuk ikut dalam perjalananmu."

"Kenapa jika dia mate-ku? Dad, Arvel dan Adrian sudah cukup bagiku, Elias tidak-"

"Hentikan, Avera. Karena dia mate-mu, maka *D*ad tidak perlu merasa khawatir akan keselamatanmu. Ada seseorang di sampingmu yang akan melindungimu dengan taruhan nyawanya."

"ButDad-"

"Pergi bersama Elias atau tidak sama sekali." Dad memberikan ultimatumnya sebelum berlalu begitu saja.

Aku kembali menatap Elias yang tengah memasang senyum miringnya.

"Kenapa memandangku seperti itu, Ave?"

"Aku benar - benar ingin menghisap darahmu sampai habis, Elias." Dapat kurasakan taring - taringku mulai memanjang.

"Kau lapar? Dengan senang hati, aku akan mengantarmu berburu."

"Sangat lapar, tepatnya. Mengantarku dan berburu kelinci lagi?" Aku menggeleng. "Hewan mungil itu justru membuatku semakin haus. Lebih baik aku mencoba meminum darah werewolf yang ada dalam tubuhmu."

Aku bersiap berlari ke arah Elias hingga sebuah tangan memeluk bahuku erat.

"Good morning, Armond."

Elias berdecih dan melihat tangan Adrian di bahuku dengan mata berkilat.

"Jauhkan tanganmu darinya, witch!" Elias berteriak lantang dan berjalan cepat menuju kami.

Peristiwa yang begitu cepat terjadi sampai aku pada akhirnya berada di pelukan Arvel dan Adrian keluar dari sebuah portal yang muncul di sampingku. Sepertinya dia menghindari Elias dan membuka sebuah portal tadi. Lalu pandanganku beralih pada Elias yang berdiri dengan wajah merahnya.

"Kau benar - benar," gumam Elias sambil terus menatap tajam Adrian.

Arvel mendesah lalu berdehem dan berdiri di antara kami. "Kita di sini untuk melakukan latihan. Dan nanti kita akan bekerja sebagai tim. Listen, Elias, Adrian. Kita harus bekerja sama. Oke?"

Adrian melengos dan memasuki rumah.

"Adrian," dia berhenti. "Kau mau kemana? Bukankah kau akan mengajariku hari ini?"

Adrian menolehkan sedikit kepalanya ke kanan. "Tidak sekarang, Avera."

Lalu dia melanjutkan langkahnya tanpa menengok lagi.

"Ada apa dengannya? Apa dia sakit?" tanya Arvel yang kujawab dengan gelengan.

"Mungkin dia sedang sibuk."

"Mungkin. Baiklah, ayo kita mulai latihan sekarang!" ucap Arvel dengan semangat.

Aku tersenyum tipis melihatnya namun luntur begitu mendapati Elias menatapku dengan menyunggingkan senyuman -yang biasa dia gunakan untuk menggoda para wanitanya itu.

"Aku lapar, Arvel. Aku ingin berburu." Kutepuk bahu Arvel untuk mendapat perhatiannya. "Sendirian," tambahku saat tahu niat Elias yang ingin mengantarku.

●●●

Setelah setengah jam mengemudi, akhirnya aku sampai di tepi hutan. Sejujurnya aku tidak sedang merasa lapar sekarang. Semua ini hanya alibiku saja untuk menyingkir sejenak dari hadapan Elias. Aku tidak mengerti kenapa aku bersikap konyol seperti ini. Harusnya aku bisa lebih mengontrol diriku dan bersikap biasa saja di depannya. Tetapi ternyata tubuhku tak sinkron dengan otakku.

Sudah terlanjur jauh - jauh datang kemari, kuputuskan untuk berjalan perlahan memasuki hutan. Kutarik nafas dalam. Sambil menikmati suasana sepi hutan ini, kupejamkan kedua mataku sejenak.

"Berburu, eh?" tanya Adrian yang tiba - tiba berada di depanku saat aku membuka mata. Pasti dia menggunakan portal.

"Kenapa kau bisa ada di sini?" tanyaku menghiraukan pertanyaan darinya.

"Kau belum menjawabku."

"Kau bisa melihatnya sendiri. Jadi aku tak perlu repot - repot untuk menjawab, bukan?"

Adrian mendengus sebelum berbalik dan berjalan menjauhiku.

"Hei, kau mau kemana?" Aku berteriak saat sosoknya semakin mengecil dari jangkauan penglihatanku.

"Latihan," gumamnya yang masih dapat ditangkap dengan baik oleh telingaku.

Mendengar hal itu, bergegas aku menyusul langkahnya. Hanya dalam hitungan detik, aku mampu berjalan di sampingnya.

"Aku ikut denganmu," ucapku kemudian.

Adrian melirikku sekilas lalu mengangguk. Kami pun membunuh waktu dalam diam hingga akhirnya sampai di padang rumput yang luas.

Aku mengernyit dan menoleh pada Adrian. "Aku tak tahu ada tempat semacam ini di dalam hutan."

Pria itu tersenyum mencemooh. "Karena kau tak pernah mencari tahu."

Kuputar bola mata kesal dan melangkah mendahuluinya. "Jadi kita akan latihan sihir jenis apa sekarang?"

"Sabar, Avera. Aku harus mengetes sihir yang sebelumnya telah kau pelajari, terlebih dahulu."

"Kenapa 'harus'? Hal itu hanya membuang waktu, Adrian. Lebih baik kau mengajarkan sihir baru padaku."

"Karena ini demi kebaikanmu. Aku belum tahu kemampuan menghafalmu sebaik apa."

"Kau meragukan kemampuanku?" Aku memandangnya tak percaya.

Adrian tersenyum pongah lalu mengangguk beberapa kali. "Setelah melihat kondisimu yang lalu sudah cukup membuktikan bahwa kau belum benar - benar menguasai materi yang kuberikan, Avera."

Aku diam dengan wajah menahan malu. Hal itu karena gadis yang kuketahui namanya adalah Sarah, memang tidak sebanding denganku. Aku bahkan dapat merasakan auranya lebih hitam dari pria di depanku ini.

"Sampai kapan kau akan terus berdiam diri seperti itu, Avera? Bukankah kau yang sekarang membuang - buang waktu?"

Aku tersentak dan menatapnya tajam. Tanpa berkata apapun aku memulai merapalkan mantra yang selama ini telah aku gumamkan berulang kali sebelum beranjak tidur.

"Lumayan," ucapnya setelah hampir satu jam aku mempraktekan ilmu sihir yang diajarkan olehnya.

Aku tersenyum kecut menanggapi komentar itu. "Bisa mulai latihan mantra baru sekarang?"

Adrian tak merespon perkataanku dan justru berjongkok mengambil seekor kelinci yang terluka. Dia menaruh hewan menggemaskan itu ke atas pangkuannya.

"Healtheasce," gumamnya sambil menaruh kedua tangannya -menutupi bagian tubuh kelinci yang tergores.

Aku mengamati aktivitasnya dan mengulang mantra yang diucapkannya tadi dalam hati.

Tak lama, Adrian pun melepas kelinci yang telah sembuh itu dan kembali berdiri.

"Mantra penyembuhan?" tanyaku penasaran.

"Ya. Sekarang kau bisa mencobanya."

Aku mengangguk dan mengamati sekeliling. "Tidak ada hewan yang terluka lagi di sekitar sini."

Adrian menarik nafas jengah. Tanpa aba - aba, dia menarik sebuah belati dari balik kaosnya dan menggores lengannya sendiri.

"Apa yang kau lakukan?" pekikku.

"Cepat obati," perintahnya menyodorkan tangannya yang penuh dengan cairan merah pekat.

"What?"

"Kau ingin membuatku mati kehabisan darah, huh?" tanyanya sinis.

Aku mengerjap sebelum meraih tangannya dan mengucapkan mantra itu.

Rasa panik menjalar saat berulang kali aku mengucapkan kata tersebut namun darah Adrian masih mengalir deras.

"Fokus, Avera!" desisnya.

Aku mendongak dan menemukannya menatapku dingin. Aku pun kembali memusatkan perhatianku pada lukanya. "Healtheasce."

Mengintip, aku melihat apakah luka Adrian telah tertutup atau belum. Dan akhirnya aku berhasil! Aku memegang lengannya erat dan tersenyum puas. Tetapi rasa mual langsung menyerang perutku dan aku memutahkan ramuan yang Dad berikan semalam. Aku memang benar - benar tidak tahan dengan darah penyihir murni.

●●●

Enam jam telah terlewati dan sekarang hari mulai larut. Kurebahkan tubuhku di atas rumput hijau kekuningan sambil mengamati langit yang berwarna oranye. Indah, satu kata yang terucap dalam benakku.

"I'll go now," ucap Adrian membuatku duduk dan memandangnya heran.

"Then just go," ucapku pelan.

Dia pun mulai membuka portal dan masuk ke dalamnya. Kuhembuskan nafas lelah dan kembali membaringkan tubuhku. Di sini, aku merasa damai. Perasaan tenang melingkupiku sebelum aku mendengar derap langkah dari arah hutan yang ditumbuhi pepohonan lebat. Bangkit dengan cepat, aku menunggu sosok asing itu menampakan wujudnya.

"Elias?" Dahiku berkerut mendapati werewolf itu berada di wilayah ini.

"Hai, Ave," ucapnya dengan mengulas senyum.

Aku menatapnya malas. "Bagaimana caramu bisa sampai kemari?"

Dia menaikkan sebelah alisnya. "Menjangkau tempat ini bukanlah hal yang sulit, Avera."

"Benarkah?"

"Tentu saja, " Dia mengangguk pasti. "Asal kau tahu saja, padang rumput ini masih berada dalam teritorial milikku."

Aku tertawa mengejek. "Yang benar saja? Kau kira dirimu seorang *Al*pha?"

"Semua yang kukatakan padamu adalah kebenaran. Dan yeah, aku memang bukan seorang *A*lpha. Karena kau pun tahu, bangsa kami tidak lagi membentuk pack seperti dulu setelah perang berakhir."

"Lalu? Bagaimana bisa wilayah ini jadi milikmu?"

Dia menyeringai. "Kakek buyutku adalah seorang Alpha dan tanah ini adalah warisannya untukku."

"Menarik," komentarku datar. "Well, sudah cukup basa - basinya."

Aku pun melangkahkan kakiku dengan cepat melewatinya. Berlari menembus hutan menuju mobilku.

"Wait," ujar Elias yang tiba - tiba berdiri menutupi pintu yang akan kubuka.

Aku menggeram kesal. "Minggir!"

"I won't."

"Err.. what do you want Elias?"

"Kau."

"Dont make joke here! I don't have any time."

"Oke. Tenangkan dirimu dulu."

Kuhela nafas kasar untuk menunjukan padanya bahwa aku benar - benar kesal. Aku pun mengambil beberapa langkah ke belakang dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Dapat dilihat bahwa aku bukanlah orang yang memiliki tingkat kesabaran tinggi.

Hening.

Kami telah lama berdiam diri dengan saling bertukar tatapan. Bahkan aku dapat melihat dengan jelas pantulan diriku di manik matanya.

"Elias," gumamku mendesaknya untuk cepat berbicara.

"Kenapa kau menjauhiku?" tanyanya dengan tetap menatapku intens.

Aku terkejut mendengar pertanyaan itu keluar dari mulutnya. Namun aku berhasil menyembunyikan keterkejutakanku di balik ekspresi datar dan dingin yang kutampilkan.

"Aku tidak menjauhimu."

"Lalu kenapa kau terus menghindariku, Avera?"

"Aku tidak menghindarimu."

"Berhenti mengelak!"

"Aku tidak me-" Ucapanku terpotong saat dia dengan cepat menarik tanganku dan mendorong tubuhku hingga membentur tubuhnya. Aku mendongak dan menatapnya marah.

"Apa yang kau pikir tengah kau lakukan? Lepaskan aku!" Aku terus bergerak namun tak membuahkan hasil apapun. Mungkin aku memang membutuhkan berburu walau aku belum merasa lapar.

"Apa yang sedang aku lakukan?" tanya Elias dengan senyum angkuh. "Kissing you."

Dan dia benar - benar melakukannya.

●●●

Terpopuler

Comments

Triiyyaazz Ajuach

Triiyyaazz Ajuach

hahaha elias main cium" aja

2020-05-31

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!