BAB XIII

DUKUNGAN

DARI jarak sekitar tujuh meter dari tempatku dan Adrian berpijak, Sarah tengah memandang kami dengan lensa hijaunya.

"Long time no see, Avera," ucapnya sambil berjalan mendekat.

"Berhenti di tempatmu, Sarah!" Adrian merentangkan sebelah tangannya untuk menutupi tubuhku.

"Adrian, hampir saja aku melupakanmu karena terlalu fokus dengan gadis naif itu."

Aku mengernyit tak suka. Namun diam menjadi pilihanku.

"Jika kau ingin membawa Avera bersamamu, maka-"

"Tidak, Adrian. Tidak," potong Sarah cepat. Tatapan tajamnya lalu berubah sendu. "Tujuanku bukan itu."

"Lalu apa?"

"Aku ingin bergabung dengan kalian melawan Dementa."

Dementa? Siapa dia?

"Dementa adalah nama pamanmu, Avera," ucap Adrian seolah membaca pikiranku. Kemudian dia kembali fokus pada wanita di depan kami. "Jangan bercanda, Sarah. Pergilah dan bawa taktik kotormu itu!"

Senyum terukir di wajah Sarah, senyum yang terkesan datar dan tidak dapat digolongkan sebagai senyuman persahabatan jika dia memang benar - benar berniat berada di pihakku.

"Taktik kotor apa yang kau maksud, Adrian?" Dapat kudengar kalau suaranya sedikit bergetar. "Semua yang kau katakan benar. Pria itu telah membunuh Aiden."

"Akhirnya kau tahu fakta sesungguhnya."

"Ya. Dan izinkan aku untuk membantumu, Avera. Aku ingin membalas perbuatan - perbuatan kejamnya pada kekasihku," ucap Sarah lirih yang sarat akan luka dan dendam.

"Sarah, aku-"

"Tunggu, Ave," Adrian melirikku. "Dia bisa saja berbohong. Dan Sarah, darimana kau tahu bahwa Aiden telah mati? Ini aneh sekali. Dulu aku berulang kali mengatakannya dan kau tak pernah mempercayainya sedikitpun."

Hening tercipta hingga tiba - tiba kabut tebal melingkupi kami. Perasaan waspada pun hadir dalam diriku. Namun tiba - tiba lingkungan hutan di sekitarku berubah menjadi dinding - dinding kristal seperti istana dan terdapat beberapa orang duduk di kursi - kursi kaca.

"Buktikan padaku bahwa Aiden masih hidup, My King. Dengan begitu, aku dapat menjalankan tugasku."

Aku menoleh ke depan dan menemukan Sarah menunduk di hadapan seorang pria paruh baya yang tengah tersenyum angkuh.

"Kau sudah gagal, Sarah. Kurasa inilah saatnya aku mengembalikan Aiden padamu karena bagaimana pun kau telah bekerja keras," ucap pria itu membuat Sarah tersenyum lebar.

Jadi dia Dementa?

"George, bawa Aiden kemari!" ucapnya kemudian seorang pria melangkah masuk dengan membawa kotak berwarna hitam. "Kembalikan dia pada kekasihnya sekarang juga!"

Kulihat Sarah mengernyit bingung dan menerima kotak itu di tangannya dengan pasrah. "My King, saya-"

"Bukalah dan jangan banyak bertanya!"

Sarah mengangguk dan membukanya. Aku pun terkesiap melihat bahwa di dalamnya terdapat sebuah kepala. Kepala manusia, astaga.

"Ai.. Aiden?" Air mata lalu keluar mengalir membasahi wajah Sarah. Kemudian pandangannya beralih kepada pria itu. "Kau telah berjanji padaku, Dementa! Kenapa kau melakukan ini?"

"Aku sudah menepati janjiku. Lelaki itu telah aku kembalikan padamu, bukan?"

"Tapi kau membunuhnya."

"Listen. Aku tidak pernah menjanjikan akan mengampuni nyawanya. Dia telah berkhianat dengan menyembunyikan keberadaan keponakanku tersayang selama ini."

"Aku membencimu Dementa!" teriak Sarah lalu berlari menaiki tangga menuju singgasana. Namun tubuhnya terpental saat menaiki anak tangga ketiga. "Aku bersumpah akan membalasmu." Setelahnya, dia membaca sebuah mantra yang cukup panjang kemudian menghilang diikuti perubahan lingkungan yang kembali seperti semula.

"What was that?" bisikku pada Adrian.

"Kejadian lalu yang menimpanya."

"Jadi semua itu benar - benar terjadi?"

Adrian mengangguk. Tatapanku lalu beralih pada Sarah.

"Avera, kumohon. Biarkan aku membantumu dan membalaskan dendamku," nada suaranya terdengar putus asa.

"Adrian," kutarik lengan kaosnya. "Bagaimana?"

Dia menghela nafas. "Jangan sampai kau berkhianat lagi, Sarah! Ini kesempatan terakhirmu," ucapnya lalu menarikku bersamanya. Melewati wanita itu yang masih berlutut di atas tanah.

"Kuharap keputusanku sudah benar," gumam Adrian yang terdengar resah.

Kugenggam tangannya dengam erat. "Aku percaya bahwa kau selalu mengambil keputusan dengan matang. Setidaknya kita sudah mendapat satu penyihir hebat di pihak kita, bukan?"

"Entahlah, Ave. Aku masih ragu padanya."

"Keraguanmu akan terhapus dengan berjalannya waktu, Adrian. Cobalah untuk mempercayai seseorang."

"Kau tidak mengerti, Ave. Tidak akan pernah."

Lalu hening kembali menyelimuti.

●●●

Sambutan para penghuni rumah sungguh di luar ekspetasi. Tiba - tiba saja Elias keluar dari rumah dan berubah wujud kemudian berlari ke arah belakangku. Aku yang masih bingung hanya mampu membalikkan tubuh tepat saat tubuh serigalanya terpental di bawahku.

"Elias!" Aku menunduk dan memegang tubuhnya. "Kau baik - baik saja?"

"Dasar pria bodoh. Bertindak tanpa berpikir. Dia sekarang telah menjadi sekutu kita, wolf," ucap Adrian tersenyum remeh sebelum melangkah memasuki rumah. Disusul dengan Sarah yang meninggalkan kami berdua.

"Kau sudah dengar, kan? Sekarang kau bisa kembali ke wujud manusiamu, Elias."

Aku bangkit dan menepuk - nepuk bagian belakang celana jeansku.

"Aku bukan Elias. Namaku Mack, Avera. Kami dua mahluk berbeda dalam satu tubuh," ucap serigala itu hampir membuatku berjengit kaget.

"Terserah," ucapku datar lalu berjalan cepat menuju ruang tamu.

Suasana di ruang tamu juga menegangkan. Jessy menatap marah pada Sarah yang balik menatapnya dengan mata berkaca - kaca.

"Aunty. Maafkan aku. Aku benar - benar menyesal," ucapnya membuatku melotot. Apakah dia memanggil Jessy dengan sebutan aunty?

"Jangan menyebutku dengan sapaan itu, Sarah! Aku bukan lagi bibimu tepat setelah kau pergi ke kerajaan pria kejam itu," ucap Jessy kemudian memalingkah wajah.

"Aku melakukannya karena terpaksa. Mereka menangkap Aiden, belahan jiwaku! Bagaimana mungkin aku hanya bisa berdiam diri di sini?" Sarah meluapkan segala emosinya hingga dirinya menangis.

"Lalu apa yang kau dapat? Kekasihmu mati. Kau sebenarnya tahu bukan? Bahwa pria itu tidak akan pernah merubah keputusannya? Mereka yang dihukum mati tetap menjalani hukuman mati."

"Tapi, aku pikir.. aku dapat menyelamatkannya,"

"Kau-"

"Jessy, cukup," Fred memotong ucapan isterinya. "Kau boleh istirahat di kamarmu, Sarah. Paman akan bicara dengan bibimu."

"Fred-"

"Shh.." telunjuk Fred membuat Jessy bungkam.

"Terimakasih," ada jeda sejenak sebelum Sarah melanjutkan ucapannya ragu. "-paman."

Fred tersenyum dan mengangguk. Wanita itu pun melangkah meninggalkan ruangan. Setelah sosoknya hilang dari pandangan, aku menoleh menatap Adrian. "Jadi dia sepupumu?"

Adrian hanya menjawabnya dengan mengangkat bahunya tak acuh. Dia kemudian berjalan menaiki tangga. Kini yang setia berada di ruang tamu hanya aku dan Airen.

"Jadi dia sepupumu?" pertanyaan yang sama kulontarkan pada Airen.

"Ya. Terkejut, Ave?"

"Sedikit."

"Lucu, bukan? Orang yang berusaha mencelakaimu dua kali adalah sepupu dari orang yang melindungimu."

"Apa maksudmu? Sarah melakukannya karena-," Aku mengangkat alis menyipitkan mata. "-darimana kau tahu?"

"Tahu apa?"

"Dia pernah mencelakaiku dua kali?"

Airen tersenyum sinis dan beranjak dari duduknya. "Aku mengantuk. Night, Ave."

Aku mendengus menatap punggungnya. Dia dan saudaranya ditambah dengan sepupunya memang menyebalkan.

"Kau belum tidur, Ave?"

Aku memutar pandangan dan menemukan Elias dalam keadaan hanya memakai celana pendek.

"Apakah kau tidak punya pakaian, Elias?"

"Aku merusaknya karena perubahan tadi dan hanya menyimpan celana ini di bawah pohon," dia hanya tersenyum konyol tanpa merasa canggung sedikitpun.

Aku memutar bola mata kesal. "Apakah kau tidak malu? Jessy, Fred dan lainnya bisa melihatmu."

"Dan terbukti hanya kau yang melihatku sekarang."

"Astaga. Cepatlah berpakaian Elias!"

"Aku sudah memakai celanaku, Ave. Bukankah ini hal yang biasa di negara kita? Lagipula kau juga pernah hanya memakai bikini."

Kuhembuskan nafas panjang sebagai ungkapan rasa jengahku. "Lupakan saja apa yang kukatakan." Aku pun lalu pergi ke kamarku dan beristirahat.

●●●

Ini gila. Luar biasa. Dan sedikit mengejutkan. Saat dimana aku baru tinggal dua hari di negeri penyihir ini, sekarang telah ada sekitar dua puluh penyihir yang membela keluargaku -berkumpul di depan rumah Fred. Sehingga, aku pun siap tidak siap, menemui mereka.

"Er.. Good morning," sapaku canggung.

Tak ada jawaban. Mereka justru saling berpandangan dan menampilkan ekspresi bingung.

Aku pun menyikut perut Adrian. "Hei, apakah aku mengatakan hal yang salah?"

Pria itu hanya tersenyum tipis. "Ehs tanc kaeps ruo egaugnal. Esh tsuj kaeps Hsilgne.1*"

Sebenarnya dia sedang berbicara menggunakan bahasa apa?

"Oh. I'm sorry,Madam. Kami hanya merasa kaget akan sapaan yang Anda berikan. Perkanalkan, nama saya Key. Saya ketua dari kelompok Plionz yang siap mengabdi pada Anda," ucap salah satu pria berumur sekitar dua puluhan -jika dilihat dari fisik-, sambil berlutut diikuti oleh para penyihir 'muda' di belakangnya.

"Terima kasih karena kalian masih berpihak pada orangtua dan siap membantuku," ucapku dan mereka pun berdiri.

"Hal tersebut sudah menjadi kewajiban bagi kami. Kami harus pergi sekarang, sebelum Dementa mengetahui keberadaan kami di sini dan merasa curiga. Anda bisa memanggil kami kapanpun, my queen," ucapnya berpamitan.

Aku hanya mengangguk dalam diam dan menghiraukan panggilan 'my queen' dari mereka. Kemudian mereka akhirnya mengucap mantra bersamaan dengan kabut tebal yang menelan tubuh mereka. Dan mereka pun menghilang.

"Kenapa kau tidak mengajariku sihir seperti yang mereka lakukan, Adrian? Kurasa menggunakan kabut lebih efisien daripada portal. "

"Kau masih berada di level dua, Ave. Sedang sihir yang mereka lakukan berada di level tujuh," jawab Adrian kemudian memasuki rumah orangtuanya.

Aku mengerutkan dahi. Jadi ilmu sihir ada tingkatannya?

"Ave," tegur Elias membuatku mendongak.

"What?"

"Katakan padaku, kau berbohong tentang hubunganmu dengan pria itu, kan?" tanyanya menunjuk Adrian yang telah lenyap dari pandangan.

"Berbohong? Apa maksudmu?"

"Kau tidak berpacaran dengannya. Kau mengatakan kebohongan ini agar aku menjauhimu, benar atau benar?"

Aku terkesiap. Kenapa tiba - tiba Elias membahas masalah ini?

"Tidak." Aku menatap matanya. "Adrian kekasihku. Dan kuharap kau dapat menerima fakta itu," ucapku dengan penuh keyakinan.

"Menerima? Yang benar saja, Ave. Werewolf bodoh mana yang menerima mate-nya bersama orang lain? Jawab, Ave!"

"Elias," aku menatapnya dengan pandangan memohon. "Jangan memaksakan kemauanmu."

Pria itu menggeleng lalu memajukan kepalanya dan mengecup sudut bibirku.

"Aku akan tetap berusaha membuatmu jatuh padaku, Avera," ucapnya sebelum pergi berlari menembus hutan.

Aku mengerang kesal dan berniat kembali ke kamarku. Hingga tubuhku membentur tubuh Airen.

"Kenapa kau berdiri di sini?" tanyaku padanya.

Airen justru tertawa mengejek dan mengarahkan telunjuknya ke bahuku. "Bagaimana perasaanmu bermain dengan dua hati, Ave?"

"Jangan berbelit - belit, Airen. Katakan saja langsung ke intinya."

"Kau, sebenarnya wanita macam apa Avera Foxter? Kau sudah memiliki pasanganmu, kenapa kau masih bersikeras menolaknya dan mengorbankan Adrian?"

"Itu urusanku, Airen. Jangan ikut campur!" Lalu aku berjalan melewatinya. Namun, tubuhku kembali mundur saat lenganku ditarik oleh gadis itu dan yang mengejutkan, dia menamparku!

"Eat that, Ave," ucapnya kemudian berjalan meninggalkanku. Dapat kulihat diam - diam dia meniup telapak tangannya. Sedang aku tidak merasakan efek apapun di pipi kiriku, tapi berimbas pada batinku yang memanas.

Akhirnya kuputuskan untuk berjalan - jalan ke dalam hutan. Untung saja jadwal latihanku dengan Adrian berubah menjadi sore nanti. Sehingga aku masih punya waktu untuk menenangkan pikiranku sejenak. Aku mengangkat kepalaku dan memandang langit biru yang luas dan bebas dari awan. Mom,Dad, dapatkan aku bertemu kalian yang telah lama menghilang?

Kutarik nafas dan kembali menatap ke depan dan mendapati seorang pria menatap bingung ke arahku.

"Who are you?" tanyanya lalu melangkah maju.

"I ask you the same question."

"Kau bukan dari wilayah ini dan aku tak menemukan tanda dari kelompok manapun di auramu," ucapnya sambil menatapku curiga. "Apa kau anak buah Dementa?"

"Bukan."

"Lalu?"

"Apa aku harus menjawab setiap pertanyaanmu?"

"Tentu saja. Aku penjaga perbatasan hutan ini. Kau baru saja akan melewati batas tutorial antara hutan Gavana dan Kavana."

Apa lagi ini?

"Terima kasih sudah memberitahuku," ucapku lalu memutar badan. Dan langkahku terhalang oleh sesuatu yang tak dapat kulihat. Kukeluarkan kedua tanganku dari jaket dan meraba udara di depanku yang ternyata terdapat sebuah dinding transparan.

Aku mendengus dan menatap ke arah pria yang menyebut dirinya sebagai 'penjaga perbatasan'.

"Kenapa kau menghalangi jalanku?"

"Beritahu dulu identitasmu, Nona."

"Avera, Avera Candence Foxter."

Kedua matanya membulat ketika mendengarku menyebutkan nama. "Anda.. Anda putri dari-?"

"Benar," potongku. Pria itu lantas menundukkan kepalanya dan meminta maaf.

"Anda boleh kembali sekarang. Silahkan." Dan dia pun menghilangkan dinding sihir itu.

"Thank you."

Aku tersenyum sekilas padanya kemudian beranjak dari tempatku berdiri. Saat aku tiba di halaman, langit sudah berubah warna menjadi oranye dengan semburat kemerahan. Dan itu artinya aku terlambat, sangat terlambat.

"Darimana saja kau, Ave?" tanya Arvel yang bersandar di pagar kecil yang ada di teras.

Aku menaikan alis mendengar nada suaranya yang tak bersahabat. "Jalan - jalan sebentar. Apa ada masalah, Arvel?"

"Tentu saja," jawabnya lalu mendekatiku dan berbisik, "Apa yang kau lakukan pada Airen hingga tanganya terluka?"

"Dia melukai tangannya sendiri dengan menamparku."

Menanggapi jawabanku, Arvel justru semakin menatapku tajam. "Kau telah melukainya dan sekarang kau menuduhnya menamparmu?"

"Aku mengatakan kebenaran. Dia memang-"

"Aku kecewa padamu, Ave," potongnya dan melenggang begitu saja.

"Arvel, Arvel.. dengarkan aku dulu!" Bahkan teriakanku tidak ditanggapi olehnya. Dia terus berjalan menuju pintu rumah yang terbuka dan ada Airen yang berdiri di sana. Gadis itu mengukir senyum miring kemenangan. Harusnya kau melihat senyum itu, Arvel!

"Kau sudah pulang?" tanya Adrian yang tiba - tiba berdiri di sampingku.

"Seperti yang kau lihat."

"Kurasa kita bisa latihan sekarang. Karena kau terlambat satu jam, aku akan memberi hukuman di akhir sesi latihan," ucapnya kemudian berjalan mendahuluiku.

"Sejak kapan ada peraturan seperti itu?" tanyaku tak terima. Dengan gesit aku telah mengimbangi langkahnya.

"Sejak aku mengucapkannya tadi."

●●●

*1 Dia hanya bisa berbicara menggunakan bahasa inggris. Dia tidak bisa bahasa kita.

Terpopuler

Comments

Win_dha88

Win_dha88

ikhw.... Airen knp jd jahat gtu???

2020-06-04

1

Triiyyaazz Ajuach

Triiyyaazz Ajuach

ax nggak suka airen dia suka memutar balikan fakta mengadu domba

2020-05-31

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!