BAB VI

BERBEDA

AKU menghembuskan nafas panjang, menyadari *acting-*ku sebagai manusia semakin membaik.

Tentu saja, aku sudah berperan selama hampir 150 tahun eksistensiku.

Well, sesungguhnya vampir tidak bernafas, tetapi lingkungan membuatku bersikap seperti ini. Mengamati keluargaku yang sedang makan malam bersama di meja makan, tentunya dengan dua kakak-beradik yang selalu membuatku naik darah, berakibat tidak bergabungnya aku di meja makan. Walaupun Dad telah melihatku dan mengisyaratkan untuk duduk di samping Arvel, aku lebih memilih berdiri di bawah tangga mengamati.

Perbedaan, huh?

Dad dan Mom rambut keduanya berwarna cokelat sama denganku juga Arvel. Wajah? Arvel lebih mirip Dad dan Mom pernah berkata padaku bahwa aku mirip dengan Crystal. Walaupun aku belum pernah melihat Crystal secara langsung, aku percaya pada Mom. Lagipula menurutku banyak anak di luar sana yang rupa mereka sangat berbeda -tidak ada kemiripan sama sekali dengan orangtuanya. Lensa? Dad dan Arvel mempunyai lensa mata berwarna biru. Sedang aku dan Mom berlensa abu - abu. See? Dimana aku bisa melihat perbedaan yang dimaksud oleh that unknown witch?

Mungkin ada satu perbedaan. Aku tidak mau makan makanan manusia. Namun bukan berarti aku tidak bisa, aku hanya tidak mau. So there's nothing any differences.

Dert.. dert..

Fokusku teralihkan ketika ponselku bergetar. Kuambil benda pipih itu dari saku jeans dan membuka satu buah pesan.

From: Pria Supermarket

Aku ada di depan rumahmu, keluarlah.

Aku mengernyit lalu mendengus kesal mengetahui dia mengacuhkan ancamanku untuk tidak menghubungiku lagi. Tak mau membuang waktu dengan merutuki ponsel yang hanya diam tak menanggapi, kulangkahkan kedua kakiku keluar rumah dan membuka pagar.

"Hai," sapanya.

"Ada yang bisa saya bantu, Tuan Armond?" tanyaku sinis mengabaikan tegurannya.

"Wow, apa yang terjadi denganmu? Apakah gara - gara kemarin aku menceritakan 'tragedi penyeranganmu' pada Mr. Foxter?"

Aku memandangnya tak percaya, "Kau sungguh mengatakannya pada Dad?" Kudorong tubuhnya cepat hingga mundur beberapa langkah dari tempatnya berpijak. "How dare you. Who do you think you are, Armond?"

Dia melepas tanganku dari lehernya dengan mudah dan menggeram marah. "I'm your mate! Bagaimana mungkin aku tidak memberitahu keluargamu kalau kau suka mencari bahaya?"

Aku menghempaskan tanganku hingga terlepas dari genggamannya. "Lalu kau mau aku tidak pergi ke hutan lagi? Tidak berburu begitu? Kau justru menyuruhku untuk mati perlahan."

Tatapannya melembut, dia meraih bahuku, "Hutan bukan hanya satu, Ave. Kenapa kau selalu senang menantang maut?"

"Apa? Kau menyalahkanku? Serigala - serigala sialan itu yang selalu menggangguku! Dan jangan lupakan rogues yang merusak kaosku!"

Elias mengeratkan cengkramannya di bahuku. "Tentu saja, bodoh. Kau mengganggu daerah kekuasaan mereka!"

Aku menatapnya tajam, "Apa kau baru saja mengatakan aku bodoh?" Tidak ada respon darinya. "See, kaum kita tetap saling menganggap satu sama lain sebagai musuh."

"Tidak Ave, tidak." Elias menggeleng lalu melepaskan tangannya dariku dan berjalan mundur. "Kami werewolves telah berdamai dengan vampires."

"Nonsense," aku berdecak. Berusaha menahan emosiku yang hampir meluap. "Lalu kenapa mereka masih menyerangku, huh?"

Elias menunduk sambil menggumamkan sesuatu yang tanpa dia sadari bahwa apa yang dia gumamkan dapat kudengar dengan baik hingga membuatku menegang di tempat. Kemudian tanpa sepatah kata apapun, dia berlari pergi meninggalkanku.

Karena kau berbeda, Avera.

●●●

Sudah dua hari sejak malam itu terlewati, membuat gelisah merayapi hatiku dan pikiranku yang tak berhenti untuk merasakan kebingungan. Bahkan Madam Jane sempat memarahiku akibat diriku yang tak dapat fokus menyerap kata - kata yang ia lontarkan. Kekesalanku bertambah karena sampai detik ini, Arvel belum menujukkan batang hidungnya di depanku. Yeah, Portia harus mengalami rawat inap di bengkel dan saudaraku itu bertugas menjemputku sekarang.

Tiba - tiba sebuah mobil melintas dan berhenti di depanku. Kaca pengemudi terbuka dan kulihat Adrian tersenyum miring padaku sebelum menjalankan kembali mobilnya. Sialan. Apakah barusan dia mengejekku?

"Avera," seseorang menepuk bahuku. Membuatku tersentak dan memutar tubuh 180 derajat.

"Arvel, kau terlambat."

Dia meringis, "Maaf." Kemudian dia menatapku senang, "Kau pasti lapar? Aku akan mentraktirmu sebagai permintaan maafku."

Aku mengernyit, nyaris menganga ketika Arvel menawariku hal semacam itu. Apakah dia masih.. waras?

Aku balas menatapnya curiga.

"Ada apa dengan tatapanmu, Ave?"

"Kau menyamar lagi," ucapku datar.

Dia terkejut. "Oh dear, dua kali kau menggagalkan aksi penyamaranku," serunya diiringi tawa khas wanita yang terdengar aneh dengan suara bass milik Arvel.

Aku melesat maju dan mencengkeram lehernya erat, hingga menancapkan kuku - kuku indahku yang telah memanjang.

Sosok misterius yang menyamar sebagai Arvel memandangku remeh dengan senyum miring yang seakan mengatakan bahwa dia tak merasakan sakit saat darah perlahan keluar dari lehernya. Justru aku yang merasakan mual menyerang perutku.

Aku mendesis, "Siapa kau? Apa motifmu mendekatiku dengan penyamaran sialan ini?"

Ia tertawa lalu kurasakan tubuhku tertarik ke belakang hingga membuatku hampir terjatuh.

"Elias?" pekikku saat melihat pria dengan rambut hitamnya menahan lenganku. "Lepas!"

"Tidak akan," ujarnya tegas. "Dia saudaramu! Dan kau melukainya! Apa kau sadar dengan apa yang kau lakukan?"

Kuhembuskan nafas kasar kemudian melihat ke arah Arvel palsu yang ternyata telah menghilang. Arghh.. portal menyebalkan!

Aku menatap sengit pada pria sok tahu di depanku ini. "Aku sadar sepenuhnya! He's not Arvel. Dia penyihir! Dan akibat ulahmu, dia kabur."

Tangannya melepas tanganku seketika. Dapat kulihat tubuhnya menegang.

"Penyihir?" Diusapnya wajahnya kasar. "Im sorry."

Kuputar bola mata dan melipat tanganku di depan dada. "Maaf tak ada gunanya sekarang." Kemudian aku teringat ucapannya yang mengacaukan pikiranku. "Apa maksudmu aku berbeda?"

Elias menatapku sejenak. Terdapat keraguan di matanya saat dia berucap, "Kau punya aroma lain, selain vampir."

Kunaikkan sebelah alis, "Katakan aroma apa itu?"

Dia mengedarkan pandangan pada parkiran kampus yang sepi. "Witch."

"Wha- what?" Aku benar - benar menganga sekarang. Bahkan kakiku melangkah ke belakang dan tanganku membekap mulutku. "Don't lie to me! Kalau kau menghirup aroma penyihir dalam tubuhku, harusnya kau tahu orang yang menyamar sebagai Arvel tadi adalah penyihir!"

Elias menghela nafas kasar, "Dia penyihir hebat, Ave. Aromanya, aku mencium aroma vampir seperti yang dimiliki saudaramu."

Aku berpikir sejenak. Awalnya memang aku sempat terkecoh, tapi setelah-

Kulirik jari - jariku yang masih tersisa darah dari sosok itu. Aku mendekatkan tanganku ke arahnya. "Tidakkah kau menghirupnya?"

Dahinya berkerut. "Aroma Arvel?"

"Huh?" Aku mendekatkan tanganku pada hidungku. "Ini aroma penyihir, kau sungguh tidak menciumnya?"

Elias menggelengkan kepalanya dengan putus asa. Sedangkan aku meneliti darah berwarna merah kehitaman lalu mengarahkannya ke lidahku.

Aku bersumpah ini pertama dan terakhir kalinya aku mencicipi darah penyihir.

"Ada apa, Ave? Kenapa wajahmu pucat?" tanya Elias khawatir.

"Kulitku sudah pucat sejak dulu," aku mendengus berusaha menutupi gejolak dalam perutku akibat merasakan darah itu.

"Sebaiknya kau segera mencuci tanganmu, Ave," sarannya. Aku mengangguk dan mencari sumber air terdekat kemudian mecuci tanganku di sana hingga bersih.

"Sejak kapan kau tahu aku half witch? Apakah sejak di supermarket?" tanyaku sambil melirik Elias dari sudut mataku.

Dia menggeleng lagi. "Saat itu aku hanya mencium aroma vampir dan bunga mawar dari tubuhmu."

Mawar? Aku benci Mawar.

"Lalu sejak kapan?"

"Saat kali kedua kita bertemu, waktu aku merusak ponselmu," jawabnya.

Kedua alisku menyatu. Aneh. "Kalau begitu kenapa sebelumnya aku diserang oleh werewolves? Seperti yang kau katakan tadi bahwa alasan mereka menyerang karena aku separuh penyihir. Tapi aromaku belum muncul saat itu."

"Karena kau selalu mengejek mereka Avera, kau selalu menantang mereka," jawab Elias jengah.

Aku memutar bola mata, well he's right. "Tapi ada satu hal yang membuatku bingung."

"Apa?"

"Kenapa tidak sejak lahir? Mengapa baru sekarang aromaku muncul?"

Pria itu diam -berpikir keras. Pun juga aku.

"Sebaiknya kuantar kau pulang sekarang. Kau butuh istirahat," ucapnya lalu menggenggam tanganku dan membawaku ke dalam mobilnya.

"Kenapa kau ke sini tadi?" tanyaku heran.

Dia menolehkan sedikit kepalanya dan tersenyum manis padaku. Membuatku sempat terpesona sekian detik.

"Tentu saja untuk menemuimu. Aku merindukanmu."

●●●

"Avera," tegur seseorang saat aku baru saja menutup pintu rumah. Aku mendongak dan menemukan Adrian berdiri di ujung tangga atas dengan senyum angkuhnya.

"What?"

"Sudah tahukah dirimu sekarang, hm?"

"Yes."

Dia menguap sambil melirikku. "Lama sekali kau menyadarinya. Padahal hari dimana kau dan rogues itu saling menyapa-"

"Tunggu," potongku. Aku menatapnya curiga. "Apa kau yang-"

Adrian mengangguk, "Yeah, aku yang membuatmu tersesat di hutan itu dan mengundang para rogues untuk jamuan makan malam mereka."

Aku tersentak. "Kenapa kau melakukannya?" tanyaku hampir berteriak.

"Well, hanya mencoba. Apakah segelmu benar - benar terbuka atau tidak?" ucapnya dengan senyum puas.

"Ap - apa?" Aku melesat menaiki tangga namun pria itu sudah terlebih dulu menghilang memasuki portalnya.

Dimana Adrian? Ternyata dia yang selama ini menjebakku. Wait. Dia bilang segel? Jadi itu alasannya aroma penyihirku baru menguar beberapa hari ini. Apa dia juga yang menyamar? Aku menggeleng. Yang menyamar adalah seorang wanita. Dan pasti dia bukan Adrian. Arghh, kepalaku rasanya mau pecah!

"Ave," aku mengalihkan pandangan ke bawah dan menemukan Arvel baru memasuki rumah. "Kau ini menyebalkan. Bukankah aku telah mengatakan akan menjemputmu?"

"Kau membuang waktuku di parkiran kampus hampir 2 jam Arvel. Jangan salahkan aku kalau aku memilih untuk pulang sendiri," aku menatapnya tajam.

Sendiri huh? Aku menyindir diriku sendiri dalam hati.

Arvel mengeluarkan senyuman bodohnya dan mengangkat kedua tangannya ke atas. "Sorry."

Aku mengangguk dan berjalan menuju kamar. Memasuki ruang rahasiaku dan mengambil diary kakek. Aku langsung membuka halaman terakhir yang kubaca lalu membaliknya.

"Beberapa kata yang sering kudengar saat Josh menolong kami," gumamku membaca tulisan kakek yang menyerupai catatan biasa bukan curahan hatinya.

Aku membaca perlahan setiap kata - kata yang tertera di atas kertas kusam tersebut dengan hati - hati. Sungguh, sangat sulit melafalkannya menggunakan lidahku. Apa mungkin Josh yang dimaksud kakek adalah sahabat pemyihirnya?

"Syelocrachtylichy, err.." lidahku tergigit. Aku mencoba membacanya ulang. "Syelocrachtylichynasel."

Dan sebuah portal hadir di depanku. Aku memekik dan menjatuhkan buku kakek. Merasa penasaran, aku mengulurkan tangan ke dalam portal tersebut. Kesalahan besar, karena tubuhku langsung tertarik dan kurasakan pusing menyerang kepalaku.

"Avera," kurasakan seseorang menepuk pipiku. "Sadarlah!"

Aku membuka mata perlahan dan menemukan wajah tampan Elias sangat dekat denganku. Kaget, aku segera bangkit dan tak sengaja membenturkan dahiku dengan miliknya. Membuatnya mengumpat dan ikut berdiri.

"Kenapa aku di sini?" tanyaku datar.

"Harusnya aku yang bertanya seperti itu. Kenapa kau bisa masuk ke kamarku? Aku mengunci pintu kamar, dan-" Dia melirik pintu kamarnya yang masih tertutup rapat. "-kulihat tidak ada bekas dobrakan."

Aku menatapnya bingung lalu mulai mengamati sekeliling dan menemukan bahwa aku memang benar - benar berada di sebuah kamar. Dan itu bukan kamarku.

"Katakan. Kenapa kau kemari? Merindukanku, eh?" dia menyeringai dan berjalan mendekatiku.

"Aku masuk ke dalam portal yang ternyata membawaku ke sini," jawabku tenang walau kurasakan tubuhku bekerja sebaliknya saat Elias terus berjalan.

"Portal?"

"Ya. Aku mencoba beberapa kata aneh dan portal muncul. Lalu aku berakhir di sini. Di kamarmu."

"Benarkah?" Elias mengusap halus dagunya. "Aku tak percaya."

Aku mendengus kemudian pandanganku turun ke bagian bawah tubuhnya. Memalingkan wajah aku berkata, "Sebaiknya kau segera berpakaian, wolf."

Elias berdecak. "Jika ada yang sedang menikmati tubuh indahku, kenapa aku harus menutupinya?"

Aku menatapnya tajam, "Siapa yang memandangmu? Jangan besar kepala!"

"Aku tidak menuduhmu. Jadi kau benar - benar menikmatinya?" Dia kembali bergerak dan sebelum mengelak, bibirnya telah menemukan bibirku. Dia menciumku lembut.

"Aku akan mengklaimmu sekarang," ucapnya membuatku menjauh darinya.

Aku menatapnya dingin, "In your dream." Kemudian kucoba untuk merapalkan kata yang menghasilkan portal tadi. "Syelocrachtylichynasel."

Sebuah portal muncul. Aku melirik sekilas ke arah Elias yang terlihat kaget. Look, Im not liar.

Bergegas aku masuk ke dalam portal dan menahan diriku sebisa mungkin agar tetap terjaga. Kulihat sebuah cahaya menyilaukan dan tubuhku terdorong keluar melaluinya. Menghembuskan nafas lega, akhirnya aku bisa kembali ke kamarku. Sepertinya aku harus rajin membaca buku kakek dan mencari informasi lainnya. Portal itu seharusnya bisa dikendalikan. Aku yakin itu. Aku tidak ingin mengulangi kesalahan dengan berpijak di kamar Elias yang ternyata sangat mesum.

"Ave," suara Arvel memanggil sambil mengetuk pintu. "Kau ditunggu Dad di ruang keluarga."

Aku memutar kunci dan membuka pintu kamar. "Mengapa Dad memanggilku?"

"Tidak hanya kau, Ave. Kau lupa?" Dia mengarahkan dagunya pada kalender di dindingku.

Aku melihat tanggal yang tertera dan mengingat bahwa besok lusa aku akan sidang dan minggu depannya liburku dimulai.

"Apa D**ad benar - benar mengajak kita berlibur bersama? Maksudku mengajak dua bersaudara itu?"

"Adrian dan Airen? Tentu saja." Arvel tersenyum. "Kita kan juga dua bersaudara, " ucapnya lalu merangkul bahuku. "Ayo turun!"

Dua bersaudara?

Aku tersenyum miris. Mengingat fakta yang baru terungkap hari ini bahwa aku bukan vampir murni, kemungkinan aku juga bukan bagian dari keluarga Foxter

Aku melirik Arvel yang sudah kembali dengan wajah datarnya. Kita bukan saudara, Arvel, bisikku dalam hati.

●●●

Terpopuler

Comments

noname

noname

🖤🖤🖤🖤🖤

2020-06-20

2

Triiyyaazz Ajuach

Triiyyaazz Ajuach

mkin seru ceritanya

2020-05-31

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!