BAB IX

MATE

AKU bangun dengan perut beteriak memohon untuk diisi. Kejadian semalam ternyata menguras banyak energiku hingga aku merasakan lapar sekarang. Tak ingin membuat si perut meronta terlalu lama, dengan mata setengah terbuka, aku masuk ke dalam kamar mandi.

Setelah tubuhku bersih, aku meraih kaos berwarna abu - abu dengan paduan hitam sebagai atasan dan celana legging yang juga berwarna hitam sebagai bawahan. Setelah siap dengan semuanya, aku menuruni tangga dan berhenti seketika di ujungnya saat melihat dua sosok saling berhadapan.

"Arvel." Aku menegur saudaraku yang tengah berdiri di ruang tengah -sedang melempar tatapan tajam pada Adrian. Ingatanku pun melayang -mengingat insiden beberapa hari lalu. "Urusan pria lagi, eh?" sindirku.

Arvel menoleh dan memandangku dengan iris merahnya. "Ada apa, Ave?"

"Aku?" tanyaku menunjuk diriku. "Harusnya aku yang bertanya seperti itu, Arvel." Kedua tanganku terlipat di depan dada.

Arvel mengehela nafas pendek. "Sudah kubilang, Ave kalau-"

"Sebenarnya apa yang kalian selalu perdebatkan?" tanyaku memotong ucapan Arvel. Sudah ketiga kalinya, aku memergoki mereka bersitegang semacam ini. Lalu kualihkan pandangan pada Adrian yang diam menatapku datar. "Kau. Bisa kau jelaskan?"

"Saudaramu meminta izin padaku untuk menjalin hubungan dengan Airen."

Aku terperangah. "What?" Kutatap Arvel untuk menuntut jawaban. "Kenapa? Kenapa Ar?"

Aku memang tidak membenci gadis itu. Hanya saja, Airen adalah manusia! Apa Arvel sudah gila hingga memutuskan meminta izin seperti itu pada Adrian?

Arvel memejamkan matanya lalu menatapku kembali dengan lensa birunya. "Dia pasanganku, Ave."

"Pa.. sangan?" Aku mengernyit bingung. Perlahan, aku berjalan mendekat.

"Ya. Dia belahan jiwaku."

"Darimana kau tahu?"

"Aromanya, darahnya."

"Kau meminum darahnya?" pekikku yang langsung mendapat pukulan di kepalaku.

"Kau mau membuat *Da*d membunuhku, huh?"

Meringis, aku meminta maaf. "Lalu kenapa kau tidak mengizinkannya Adrian?"

Pria itu menatapku dalam. Sesaat, aku merasa tubuhku merinding. "Kau tahu dengan jelas, Avera. She's human. She's not immortal."

"Arvel bisa mengubahnya," ucapku spontan.

"Tidak. Dia membenci kaum kalian dengan sepenuh hatinya. Apakah kalian masih berpikir dia mau menjadi bagian dari kalian?"

Wajah Arvel berubah kaku. "Kenapa dia membenci vampir ?"

Hening sejenak.

"Karena orangtuanya dibunuh dengan keji oleh mereka," jawab Adrian terlihat enggan. Ada sorot kesedihan terpancar di matanya sebelum sedetik kemudian kembali hanya kebekuan yang terlihat.

Aku menahan diri untuk tidak memekik kaget. Kurasakan tubuh Arvel semakin membatu di sampingku. Kemudian aku menatap Adrian dengan pandangan bertanya.

"Orangtuamu dibunuh? Bagaimana bisa?"

"Orangtua Airen bukan orangtuaku, Avera. Kau lupa?"

Aku tertegun. "Ah ya, dia pernah mengatakan bahwa kalian bukan saudara kandung."

"Ayo kita pergi, Ave," ucap Arvel tiba - tiba. Dia menarik tanganku untuk ikut bersamanya.

"Kau baik - baik saja?" tanyaku setelah Arvel menjalankan mobilnya.

"Bagaimana bisa aku baik - baik saja jika tau Airen-" dia menghembuskan nafas kasar. Dipukulnya setir mobil saat kami berhenti di lampu merah.

"Apa kau begitu mencintainya?"

Arvel melirik ke arahku. "Sangat."

"Secepat itu?"

Dia mengangguk pasti.

"Apa kau sungguh bisa jatuh cinta?"

Arvel menggeram jengkel. "Sungguh. Berhentilah berbicara, Ave. Kau membuat kepalaku bertambah pusing."

Aku mendengus. Cinta? Yang benar saja.

"Kenapa kau diam saja sejak tadi?" tanya Arvel setelah keheningan menyelimuti kami.

Aku meliriknya sinis. "Bukankah kau yang menyuruhku untuk berhenti berbicara?"

Dia terkekeh. "Sorry."

"Hm," gumamku. "Kita mau kemana? Bisa kau antarkan aku ke hutan?"

"Hutan mana?"

"Hutan yang biasa aku gunakan untuk berburu."

"Kau mau bunuh diri, hah? Tidak ingat saat rogues mengepungmu di sana."

"Aku ingat. Tapi ini darurat. Tenggorokanku mulai panas." Dapat kurasakan irisku berubah warna dan taringku muncul di luar kendali.

"Kau ini," gerutunya lalu tak lama dia menepikan mobil di pinggir jalan.

Bergegas aku membuka pintu dan melompat keluar. Dengan cepat aku berlari menembus hutan untuk mencari mangsa.

Seekor rusa tengah memakan rumput liar dengan lahap. Hal itu membuatku bertambah haus akan darahnya. Dengan sigap aku memeluk rusa tersebut dan menancapkan kedua taringku di lehernya. Segar. Darah rusa memang yang terbaik.

Aku menjilat sisa cairan merah di sudut bibirku. Menatap sedikit iba pada hewan malang -santapanku. Fokusku lalu teralih saat ada aroma lain masuk ke indra penciumanku. Kuamati sekeliling dan menemukan sumbernya. Dia. Elias. Berdiri tak jauh dariku.

Mentari bersinar terik saat aku menatap kedua pasang mata berwarna hitam yang kontras dengan iris merahku. Aku menatapnya waspada. Sungguh, kenapa aku merasa dia selalu ada disekitarku, batinku terus bertanya.

"Apa maumu?" tanyaku dengan suara lantang.

"Terimalah takdirmu, Ave! Dan jauhi Adrian sialan itu!"

Aku tertawa sinis, "Takdir? Aku sudah menerima takdirku ini. Im vampire half witch." Kuulas senyum tipis. "Kenapa aku harus menjauhinya? Adrian kekasihku dan kau tidak ada hak untuk melarang apapun yang kulakukan."

"Takdirmu adalah sebagai mate-ku, Avera," dia mendesis. "Aku punya hak atasmu. Karena kau milikku. Raga dan jiwamu ditakdirkan untukku, bukan untuk pria lain."

"Aku tidak percaya pada hal semacam itu," aku mengibaskan tangan kananku. "Hanya mitos. And listen, Elias. I'm Adrian's. "

Dia menggeram marah, lalu berlari cepat ke arahku. Dengan sigap, aku mundur dan meloncat ke atas pohon.

"Enough! Berhenti melakukan hal bodoh seperti ini," aku menatapnya sengit. "Jangan memaksaku! Tapi jika kau ingin berkelahi, aku siap melawanmu."

Pria itu mendongak dan tersenyum miring, "Baiklah."

Aku mendengus dan bersiap untuk bertarung dengannya yang telah berubah wujud, namun dengan pendengaranku yang tajam -aku mendengar suara Arvel memanggilku.

"Waktu bermainku telah habis. Bye, Tuan Armond!"

Bergegas, aku melesat jauh menuju pinggir hutan. Mengabaikan lolongannya yang terlihat marah disertai dengan suara jatuhnya pohon - pohon. Atau mungkin dia benar - benar murka?

Apa peduliku?

●●●

"Kenapa kau lama sekali?" tanya Arvel dengan alis terangkat sebelah.

Aku hanya diam, tak berniat menjawab. Mood-ku langsung turun setelah bertemu pria itu.

Arvel pun mengerti kebungkamanku, sehingga dia melajukan mobil kembali tanpa banyak bertanya lagi.

Perjalanan pulang terasa lama. Karena tak ada satupun dari kami yang membunuh waktu dengan memulai percakapan. Ketika fajar hampir tenggelam, akhirnya kami tiba di depan rumah.

"Kau masuklah dulu," ucap Arvel tanpa mematikan mesin.

"Kau mau kemana?"

"Aku ingin menangkan diri," jawabnya lalu melirikku yang akan berbicara sesuatu. "Sendirian."

Aku hanya dapat mengangguk kecil dan keluar dari mobilnya. "Jangan lakukan hal bodoh, Arvel. Hati - hati di jalan. Aku menyayangimu."

Arvel tersenyum masam. "Tidak akan. Aku juga menyayangimu, Ave."

Lalu mobilnya pun melaju dengan kencang. Dasar.

Ceklek.

Suasana rumah terasa sepi. Menarik nafas panjang, karena lelah dengan semua masalah yang terjadi hari ini, aku mulai menaiki tangga. Di anak tangga ke sepuluh, aku berhenti tepat di depan seseorang yang menatapku ragu.

"Ada yang ingin kau katakan, Airen?"

Gadis itu tersentak lalu menggeleng.

Menggumamkan kata 'oh', aku bergeser ke kiri dan mulai menaiki anak tangga yang tersisa.

"Avera," suara Airen memasuki telingaku. "Bisakah aku berbicara denganmu? Sebentar saja?"

Kumiringkan kepalaku dan tanpa meliriknya aku berkata, "Tentu."

Sudah hampir setengah jam kami hanya duduk di atas sofa yang terdapat dalam kamarku.

"Kalau hanya melamun seperti ini, kau bisa melakukannya di kamarmu sendiri."

Airen yang sejak tadi menunduk, akhirnya mengangkat kepalanya dan menatapku.

"Aku mendengar semua perkataan kalian tadi siang," ucapnya datar. "Apakah semua itu benar, Ave?"

"Ya," jawabku sambil mengamati perubahan ekspresi wajahnya.

"Apakah Arvel benar - benar pasanganku?"

"Ya," jawabku. "Dia bahkan telah jatuh cinta padamu."

Airen tertegun. Tiba - tiba kedua matanya berkaca - kaca. "Avera, tolong aku," ucapnya lirih. "I'm fall for your brother, too."

Kedua mataku membulat. "Kau, apa?"

"Tolong aku. Jika percakapan kalian tentang takdir bahwa aku dan Arvel adalah pasangan jiwa, bantu aku bersamanya."

Aku masih tak mengerti. "Kau bisa melakukannya sendiri, Airen. Tinggal temui Arvel dan katakan perasaanmu sesungguhnya maka masalahmu selesai."

Dia menggeleng keras. "Tidak mungkin semudah itu. Adrian menentangnya."

Aku hampir saja melupakan pria es itu.

"Bukankah kau membenci kami?" tanyaku cenderung sinis.

Dia tersenyum getir. "Aku memang membenci vampir. Tapi aku tidak membenci kau maupun ketiga keluargamu yang lain."

"Why?"

"Dad menceritakan padaku bahwa-"

"Wait," aku menghentikan ucapannya. "Siapa yang kau maksud dengan '*D*ad'?"

"YourDaddy, Avera," jawabnya. Setetes air mata akhirnya mulai menuruni pipinya. "Dia bersama Mom membawaku ke masa lalu di hari kedua orangtuaku meninggal."

"Lalu?"

"Kematian mereka bukanlah sepenuhnya kesalahan vampir itu. Orangtuaku sendiri yang membuat vampir tersebut melakukan hal itu pada mereka."

"Memang apa yang dilakukan oleh orangtuamu?"

Airen diam dalam tangisannya.

"Oke, lupakan saja. Anggap aku tidak pernah bertanya. Akan kucoba bicara dengan Adrian nanti," ucapku. "Tapi ingat. Aku melakukannya demi Arvel. Bukan karena permintaanmu." Kebahagiaan Arvel adalah kebahagiaanku juga.

"Terima kasih, Ave. Thanks a lot," isakkannya berubah menjadi jeritan kelegaan. Dia hendak meraihku dalam pelukannya dan aku berhasil menghidar.

"Don't dare to touch me!" Aku memutar bola mata. "Kau bisa kembali ke kamarmu."

●●●

Sudah larut malam dan dua pria itu belum juga pulang. Kemana saja kau Arvel? Aku ingin segera menyampaikan berita bahagia untukmu.

Ceklek.

"Adrian." Aku bangkit dari sofa ruang tamu dan berjalan cepat ke arahnya. "Aku ingin bicara denganmu."

"Jika tentang Airen. Keputusanku tetap sama," ucapnya tanpa melihatku.

Aku memegang lengannya saat dia mulai berjalan. Kemudian aku menariknya keluar rumah.

"Airen dan Arvel saling mencintai, Adrian."

"Dan kau percaya?"

"Apa maksudmu?"

"Kau percaya jika saudaramu jatuh cinta pada Airen?"

"Kau ingin mengatakan bahwa Arvel berbohong dengan perasaannya?" tanyaku hampir membentak.

Adrian menghela nafas. "Entahlah, Avera. Kau tau, aku takut Airen akan terluka. Dia hanya gadis polos dengan nasib malang." Ternyata Adrian begitu menyayanginya. Kau beruntung Airen, mempunyai saudara sepertinya.

Amarahku langsung menguap seketika. "Tidak akan. Aku yakin Arvel pasti dapat menjaganya dengan baik."

Pria itu tak berbicara apapun hingga kemudian dia meraihku ke dalam pelukannya. "Terima kasih," bisiknya.

"Untuk?"

"Segalanya."

Aku mengernyit bingung. Berbagai pertanyaan terbesit di benakku. Namun aku hanya mengatakan, "O.. kay."

Adrian lalu melepas pelukannya. "Selamat malam, Avera," ucapnya sebelum masuk ke dalam rumah. Meninggalkanku yang mematung di depan pintu.

"Avera."

Aku berbalik dan menemukan Arvel berdiri di depan gerbang.

"Arvel?"

"Bisa kau buka pagarnya?"

"Wait a minute," ucapku lalu berjalan membuka garasi lebar - lebar dan mengambil duplikat kunci gerbang yang tergantung di sana.

Tak memakan waktu banyak, aku segera membantu Arvel masuk ke dalam rumah.

"Kenapa kau berdiri sendirian di teras?" tanya Arvel setelah menutup kembali pintu garasi.

"Hanya mencari udara segar," jawabku berbohong.

Dia mengangguk - angguk paham, kemudian meraih tanganku dalam genggamannya.

"Sebaiknya kau tidur, Ave. Besok kita harus mempersiapkan diri untuk keberangkatan ke Paris."

"Kita jadi berangkat?"

"Ya."

"Apakah ada gambaran lain yang hadir di kepalamu?"

Arvel mendesah lelah. "Tidak ada. Setidaknya belum. Jadi Ave-" Dia memegang kedua bahuku dan menatapku serius. "-selama kita di sana, kau harus selalu berada di dekatku. Oke?"

Aku menatap haru padanya. "Oke."

Arvel tersenyum dan memelukku. Dia mengusap rambutku pelan. "Aku berjanji, akan melindungimu dengan nyawaku."

Kubalas pelukannya dengan erat. Semoga kau selalu menjadi Arvel yang kukenal, saat kau tahu bahwa aku bukan saudara kandungmu dan semua tak lagi sama.

●●●

Terpopuler

Comments

Triiyyaazz Ajuach

Triiyyaazz Ajuach

satu persatu misteri mulai terkuak

2020-05-31

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!