MISTERI
SUARA sendok dan garpu yang berdentingan di ruang makan membuatku jengah. Jika bukan Dad yang memintaku untuk ikut bergabung dalam acara sarapan pagi bersama ini, aku tidak akan pernah mau. Lihatlah, sedari tadi aku hanya diam memandang keluargaku dan dua orang tamu menikmati masakan yang Mom dan aku buat tanpa ada niat untuk bergabung.
"Ayolah, Ave. Coba sedikit daging ini. Aku yakin kau pasti akan ketagihan," ucap Arvel di sampingku. Dia menyodorkan daging ke arah mulutku yang kusambut dengan menatapnya tajam.
"No."
Dia terkekeh dan memasukkan daging itu ke dalam mulutnya.
Well butuh waktu sekitar duapuluh menit untuk duduk manis di sini. Hingga semua telah selesai dan Dad memulai pembicaraan serius yang merupakan alasan kenapa aku harus ikut berkumpul.
"Ehm. Dad dan Mom telah memutuskan untuk membawa kalian berlibur ke Paris musim panas nanti," ucap Dad membuatku tercengang. Liburan? Yang benar saja.
"Sungguh Dad?" Aku melirik sumber suara yang terdengar antusias. Tsk, Airen. Apa tadi dia bilang? Dia memanggil orangtuaku dengan Dad?
"Ya. Dan semua wajib ikut," ucap Dad sambil menatapku. Oh aku benci tatapan ancamannya. "Tanpa terkecuali."
Aku mendengus dan kulirik Arvel menahan tawanya hingga tubuhnya bergetar.
"Kenapa Dad tiba - tiba merencanakan ini?" tanyaku. "Aku harus menyiapkan bahan skripsiku saat liburan nanti."
"Apa ada yang salah dari liburan bersama? Kita di Paris hanya satu minggu dan masih ada tiga minggu tersisa untuk mengerjakan skripsimu."
Aku diam. Berdebat dengan Dad tidak akan membuahkan hasil. Sebenarnya aku juga merindukan liburan bersama seperti yang Dad rencanakan. Kira - kira sudah enam tahun yang lalu, sejak liburan terakhir kami ke Australia. Namun jika semua ikut, aku menatap ke arah depan. Berarti dua mahluk itu akan ikut juga. Aku mengerang dalam hati. Bagaimana caraku agar bisa menolak?
Tunggu.
Apa Dad sudah tahu bahwa Adrian adalah seorang witch?
"Baiklah. Itu saja yang ingin Dad katakan pada kalian."
Semua beranjak dari tempatnya, kecuali aku dan Dad. Setelah yakin bahwa situasi sudah aman, aku berbisik pada Dad.
"Daddy.." Dia pun menoleh.
"Ada apa, Ave?" tanyanya dengan nada suara biasa.
Bibirku mengerucut sebal. Kenapa Dad tidak bisa menangkap kode yang kuberikan? Huh, pria memang begitu.
"Dad.. ," aku mendekat ke arahnya. "Apakah Dad sudah tau bahwa Adrian-"
Suaraku menghilang. Dan mulutku tiba - tiba tertutup rapat.
"Kenapa dengan Adrian?"
"Em em.." sial. Kenapa mulutku rasanya seperti diberi perekat yang kuat?
"Ave?" Dad kembali menegurku. Aku menggeleng mengisyaratkan bahwa aku tidak jadi mengatakan sesuatu padanya.
"Kau ini," dia menghela nafas. "Kalau begitu, Dad berangkat sekarang," ucapnya kemudian mengecup keningku. "Jangan bolos kuliah, oke?"
Aku mengangguk dan Dad pun pergi. Selang semenit setelah deru mesin mobil Dad tak terdengar, mulutku membuka sendiri. Aku terkejut dan mengedarkan pandangan ke sekitar. Di sana, di bawah tangga, Adrian melipat kedua tangannya di depan dada dan tersenyum miring ke arahku.
Dia berbisik lembut dengan frekuensi yang masih bisa kudengar, "Don't tell anyone who I am."
Dia pun menaiki tangga dan aku hanya mampu terpaku di tempat. Aromanya? Aku menghirup udara lagi. Nihil. Aku tidak bisa mencium aromanya maupun aroma baru sedikitpun. Pantas saja, aku tidak sadar jika dia tadi ada di sana saat aku akan mengungkap identitasnya.
Tanpa membuang waktu lebih lama lagi, aku segera menaiki tangga dan memasuki kamarku. Setelah memastikan bahwa aku telah mengunci pintu dengan benar, kubuka markas rahasia di balik lemari bukuku. Kemudian kuambil diary kakek dan membacanya lagi. Pasti ada informasi yang dapat membantuku walaupun sedikit.
14 November 1815
Aku bersama kaumku yang selamat berhasil menjauh dari medan pertempuran dan berbaur dengan manusia. Aku harus berterimakasih pada sahabatku yang berpihak dan bersedia menolongku. Dengan ramuannya, aroma vampire tidak akan tercium oleh werewolves.
Ramuan? Hm.. menarik.
Wait. Menghilangkan aroma?
Apakah Adrian juga menggunakan ramuan itu?
15 Desember 1815
Dia mati. Sahabatku tewas. Aku sungguh bodoh dalam ketidakberdayaan-ku untuk menolongnya.
Apakah sahabat yang dimaksud kakek adalah si pembuat ramuan?
"Avera.. Ave."
Aku melonjak kaget karena teriakan Mom yang sangat keras itu. Kututup buku diary kakek dengan segera dan menyimpannya di tempat tersembunyi. Kemudian aku berlari ke bawah dan menemukan Mom berkacak pinggang -menatap lemari pendingin.
"Ada apa, Mom? Telingaku sakit gara - gara suara merdu Mom."
Mom berbalik dan tersenyum mencurigakan. "Maaf. Tapi Mom sedang terburu - buru ke suatu tempat dan harus memasak terlebih dahulu untuk makan siang."
Aku memandangnya tak percaya. "Mom, bukankah kita baru saja sarapan? Kenapa Mom ingin memasak lagi?"
"Kan Mom sudah bilang ada acara," jawabnya lalu menatapku dengan mata berkilat. Oh aku tahu arti tatapan itu. "Lihatlah, persedian bahan kita habis lebih awal dan Mom sudah tidak punya waktu lagi untuk belanja lalu dilanjutkan memasak setelahnya. Jadi.."
"Jadi?"
"Mom minta tolong padamu untuk memasak menu makan siang nanti."
"Oh, Mom. Aku sebentar lagi akan berangkat kuliah."
"Kau bisa memasak setelah pulang, ayolah. Kau tidak sayang pada Mom?"
Aku menahan diri untuk tidak memutar bola mata di depan orang yang kuhormati dan yang paling kusayang. "Baiklah."
"Thanks, dear," Mom memelukku sebelum berjalan ke kamarnya yang berada di lantai satu.
Memasak, lagi? Kenapa dua bersaudara itu selalu saja menyusahkanku?
●●●
Kuliah berakhir lebih awal karena dosen yang mengajar mata pelajaran terakhir untuk hari ini tidak masuk. Dan merasa sangat bersyukur karena aku juga tidak perlu menunggu Airen maupun Adrian karena keduanya telah berkendara sendiri menggunakan motor Adrian yang baru datang tadi pagi. Sehingga aku punya lebih banyak waktu luang untuk berbelanja di supermarket sekaligus membeli ponsel baru.
Kulangkahkan kedua kaki menyebrangi halaman kampus yang luas demi sampai di lapangan parkir yang terletak di samping gedung fakultas kedokteran. Namun langkahku terhenti, ketika samar - samar aku mencium aroma Airen dan.. Adrian? Aku bisa kembali menghirup aroma pria menyebalkan sok misterius itu?
Aku pun mengikuti kemana aroma ini membawaku. Aku berhenti dan bersembunyi di balik dinding -mengamati dua mahluk yang terlihat tengah bertengkar.
"Jangan menjauhiku lagi!" Airen berteriak di depan Adrian yang memasang ekspresi datar. "Aku rindu dengan sikapmu dulu yang masih menganggapku adik."
"Aku masih mengganggapmu saudaraku sampai detik ini."
"Benarkah? Lalu kenapa kau bersikap ketus padaku?"
"Semua berasal dari perbuatanmu sendiri, Airen." Dapat kurasakan aura gelap mengelilingi Adrian saat mengucapkan kalimat tersebut.
"Aku.. aku," Airen bergerak dengan gelisah. "Aku tidak sengaja melakukannya! Orangtua kita juga telah memaafkanku. Kenapa kau masih membenciku?"
"Aku bukan mereka," jawab Adrian yang menyerupai desisan. "Kau silahkan pulang sendiri."
"Adrian!" Airen berteriak kesal sambil memadang kepergian Adrian.
Sebenarnya mereka bertengkar soal apa? Aku sama sekali tak bisa menangkap maksud apapun dari percakapan mereka. Harusnya aku datang lebih awal.
Aku pun kembali melihat ke arah Airen yang tengah sibuk dengan ponselnya. Merasa tak ada lagi hal menarik untuk ditonton, kuputuskan untuk segera mengambil Portia.
Dert dert..
Aku merogoh ponsel di saku jeansku dan membuka satu buah pesan yang baru masuk.
From: Mom
Airen pulang bersamamu, tunggu dia.
Aku mengerang kesal dan menghapus pesan Mom. Kenapa aku yang jadi terkena imbas dari pertengkaran mereka?
Sudah limabelas menit aku menunggu di dalam mobil dan akhirnya Airen memunculkan batang hidungnya.
Dia membuka pintu mobil dan duduk di sampingku. "Maaf aku merepotkanmu, lagi. Adrian sedang ada tugas bersama teman - temannya."
Aku meliriknya dari sudut mataku. Liar.
"Kau marah, Ave? Baiklah aku akan naik taksi saja," ucapnya membuatku langsung mengunci otomatis semua pintu dan menjalankan mobil.
Dapat kurasakan dia terkejut akan sikapku, dan dia memilih untuk diam. Pilihan yang bagus. Karena aku sedang malas bicara sekarang.
Duapuluh menit keheningan menyelimuti perjalananku menuju supermarket. Dan kuparkirkan mobilku sedikit jauh dari sana.
"Kau tunggu di sini," ucapku pada Airen dan langsung turun dari mobil. Tak lupa mengunci pintu mobil dari luar. Well Airen, selamat menikmati apa yang disebut dengan 'menunggu'.
Dengan langkah santai, aku berjalan dan memasuki supermarket. Banyak aroma menyergap indra penciumanku dan membuatku merasa sedikit tak nyaman. Tak ingin merasakan pusing lebih lama, aku segera mengambil troli dan memasukkan bahan - bahan masakan ke dalamnya.
Wush..
Aku mencium aroma memabukkan yang membuatku merasakan de javu. Aroma kayu manis bercampur anggur dan aku melihat asal sumbernya.
Astaga! Elias..
Aku berbalik dan mendorong troli-ku memutari rak-rak bagian kosmetik.
"Aku seperti mencium bau Ave," kudengar Elias bergumam. Gawat.
Aku kembali mendorong troli-ku menjauh dan berhenti di bagian snack. Ah iya, pesanan Arvel! Kuambil dua snack berukuran besar. Lalu..
"Bukankah kau tak suka makanan manusia?"
Aku menoleh dan menemukan Elias tersenyum manis padaku. Apa? Manis? Otakku sepertinya mulai bergeser.
"Bukan urusanmu," ucapku sinis.
"Calm down, Ave. Aku hanya bertanya."
Aku mengacuhkannya dan mendorong troly menuju kasir.
"Hey, tunggu aku. Masih ada yang ingin kubicarakan denganmu," ucapnya membuatku berhenti.
"Aku sibuk," ucapku tanpa menoleh ke belakang.
"Lalu kapan kau tak sibuk?" tanyanya diiring tangan kirinya yang merangkul bahuku.
"Aku selalu sibuk dan jauhkan tanganmu dariku!" Aku menggoyang - goyangkan bahuku dan dia justru mengeratkan pelukannya.
Ya sudahlah. Aku maju dan meletakkan satu per satu belanjaanku ke meja kasir. Elias turut membantu, bahkan dia membayariku lagi. Tidak ingin membuat kehebohan di sini, aku memilih untuk meledakkan emosiku begitu kami keluar dari supermarket.
"Kau pikir aku tidak sanggup membayar?" Aku meraih dompet di tas dan mengambil beberapa lembar uang puluhan dolar. "Ini, aku kembalikan."
Dia hanya memandang tanganku yang terulur kepadanya tanpa ada niat untuk mengambilnya.
"Hey, aku tidak punya banyak waktu!"
"Anggap saja kita impas," ucapnya tiba - tiba.
"Hah?"
"Anggap saja uang tadi sebagai ganti dari ponsel milikmu yang rusak," jawabnya lalu mengecup keningku. "Aku akan menemuimu segera. Kau masih punya hutang maaf karena meninggalkanku di hutan. Bye."
Dia berlari dengan melambaikan tangannya. Dia bisa hipnotis ya? Sepertinya aku harus menemui U**ncle di Swiss untuk menyembuhkanku. Agar aku tidak hanya diam bagai patung ketika Elias melakukan sesuatu padaku. Terlebih ketika dia mendaratkan bibirnya di wajahku dengan seenaknya.
●●●
Melewati beberapa menit mendengar luapan kekesalan Airen karena aku meninggalkannya selama hampir satu jam di dalam mobil atau mungkin amarah tertahannya pada Adrian, akhirnya aku bisa memasak dengan tenang.
Menu makan siang hari ini, aku memilih sup ayam. *Mood-*ku sedang buruk sehingga aku tidak ingin memperburuknya lagi dengan memasak masakan yang rumit. Setelah matang, aku menghidangkannya di atas meja. Saat akan menaiki tangga, aku menoleh ke arah sup yang kusediakan untuk Adrian. Dan ide jahat pun muncul. Berlari cepat, aku mengambil sesendok garam dan memasukkannya ke dalam sup. Well Adrian, enjoy my revenge.
Tersenyum sinis, aku menaiki tangga kembali dan berpapasan dengan Airen dan Adrian. Keduanya menatap padaku. Dan aku bersikap tak peduli. Kupercepat langkahku dan memasuki kamar. Setelah mengunci pintu, kutajamkan indra pendengaranku.
"Mari makan!" Dad telah memulai acara makan bersamanya.
"Uhuk.. uhuk.." Suara Adrian!
"Ini minumlah," sepertinya Airen menawarkan minum.
"Ada apa, Adrian?"
"Nothing. Aku rasa perutku sudah kenyang. Permisi."
Lalu kudengar kursi ditarik dan langkah kaki mendekat.
Yes, berhasil!
●●●
"Kau sudah membeli ponsel?"
Aku menoleh ke arah Arvel yang menonton serial kartun favoritnya.
"Belum," jawabku lalu ikut duduk di sampingnya.
"Kenapa?"
"Tokonya waktu itu masih ramai, dan aku malas untuk mengantri."
"Lalu kau mau kemana malam - malam begini?" tanyanya sambil mengamati pakaianku.
"Tentu saja untuk membeli ponsel. Kurasa tokonya sudah sepi karena hari ini promonya sudah berakhir."
"Mau kutemani?"
Aku memutar bola mata kesal, "Tidak perlu. Aku bisa beli sendiri. Aku berangkat dan jangan kunci jendela kamarku, Arvel!"
Dia terkekeh geli, "Aku tidak janji."
Aku bangkit dan melotot ke arahnya. "Aku serius, jika kau menguncinya, aku tidak akan membelikanmu *snack *saat belanja lagi. Ingat itu!"
Lalu aku pun berjalan membuka pintu rumah.
"Hati - hati, Ave!"
Aku mengangkat ibu jari sebagai jawaban lalu kembali melangkah menuju teras dan menaiki mobilku. Saat akan menyalakan mesin, ada dua sosok yang berdiri di depan pagar rumah. Kedua bersaudara.
"Tidak ada waktu untuk membahas hal tidak penting semacam ini." Kulihat Adrian menatap kesal pada Airen.
"Kenapa tidak? Ini penting buatku. Kau selalu mengabaikanku!"
"Jangan membuat masalah baru yang akan mengacaukan tugasku, Airen! Masuklah ke dalam rumah sekarang!"
"Tidak, aku akan ikut denganmu!"
"Jangan menguji kesabaran seseorang, Airen," Adrian mendesis sebelum mengucapkan sesuatu dalam bahasa yang tak kumengerti.
"Kembali ke kamarmu," ucapnya kemudian.
"Baiklah," Airen lalu berjalan kaku menuju pintu rumah. Aku menundukkan kepala dan bersembunyi agar tak terlihat. Lalu pandanganku beralih pada Adrian yang sedetik kemudian masuk ke dalam sebuah portal. Aku jadi semakin penasaran dengan apa saja yang bisa dilakukan olehnya.
Well, aku bisa mencari tahu nanti. Sekarang aku harus kembali ke tujuan awal, membeli ponsel baru. Setelahnya baru memecahkan semua misteri ini.
●●●
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments