PETUNJUK
PAGI hari yang sama sekali tak indah. Karena untuk kedua kalinya aku mendengar keributan yang disebabkan oleh Arvel dan Adrian. Meraih jam weker di atas meja, aku mengintip dari celah mataku bahwa sekarang masih pukul delapan. Itu artinya aku bangun satu jam lebih awal gara - gara mereka. Sebenarnya urusan pria macam apa sih yang mereka perdebatkan?
Membalikkan tubuh menjadi terlentang, aku membuka mata perlahan dan menatap langit - langit kamar. Setelah berdiam diri sekian detik, aku bangkit dan berjalan keluar. Dari lantai dua tempatku berpijak, aku dapat melihat kekacauan yang terjadi di ruang tengah. Vas bunga yang pecah, meja makan yang terbalik, letak kursi tak beraturan dan astaga! Aku melihat Arvel tergeletak di atas lantai marmer dengan luka yang masih dalam tahap regenerasi. Kualihkan pandangan pada Adrian yang ternyata kini menatap ke arahku. Dia mengulas senyum miring sebelum pergi begitu saja keluar rumah. Aku pun berlari menuruni tangga dan mengulurkan tangan pada Arvel.
"Bangun!" ucapku padanya. Dia meraih uluran tanganku dan berdiri dengan tegap. Kedua iris matanya masih berwarna merah. Dia memandang marah pada pintu rumah yang terbuka. Kedua taringnya tiba - tiba mulai memanjang dan dia akan berlari menyusul Adrian. Untung saja tanganku masih menggenggam tangannya sehingga dia berbalik menatapku dan meronta untuk kulepaskan.
Aku menatapnya tajam -memberi isyarat dan dia pun akhirnya memejamkan mata -menenangkan diri. Tak lama kedua matanya membuka dengan lensa birunya.
"Lepaskan tanganku!" ucapnya. Aku menariknya untuk duduk di sofa lalu baru melepas tanganku darinya.
"Cepat katakan, 'urusan pria' macam apa yang kau agungkan itu hingga membuat kekacauan seperti ini?"
Dia diam.
"Arvel.."
Dia menghembuskan nafas kasar. "Kau tenang saja. Aku akan segera menyelesaikan urusanku dengannya."
Tsk. "Bukan itu jawaban yang kuminta, Arvel!"
"Sudahlah, Ave. Percaya padaku, oke?"
Aku mendengus. "Percaya padamu? Yang benar saja." Kemudian pandangan mataku meneliti ke sekitar dengan gerakan yang mendramatisir. "Look! Bagaimana aku bisa percaya padamu jika yang kulihat kau dan Adrian justru berpotensi menghancurkan seisi rumah?"
Arvel meringis lalu menatapku berbinar, "Bantu aku untuk membereskannya ya?"
Aku menggeleng tegas. "No. Bereskan saja bersama Adrian. Aku mau ke kantor menemui Dad."
Dia memandangku bingung, "Untuk apa kau ke sana? Mau mengadukanku?"
"Kau pikir aku anak kecil?" Memberi hadiah pukulan kecil di lengannya aku berucap, "Aku ingin meminta kartu kreditku yang disita. Ini sudah saatnya kartu itu kembali ke genggamanku."
●●●
Aku menatap jengah bangunan di depanku. Jujur aku sangat tidak ingin masuk ke dalam sana jika bukan karena kartu kredit kesayanganku itu. Bukan karena aku tidak punya cukup uang, tabunganku bahkan ada di tiga bank berbeda dan aku masih punya kartu kredit lainnya. Tapi kartu ini berbeda. Aku tahu ini hal yang konyol. Tapi kartu itu adalah kartu kredit pertamaku. Dan menurutku, apa saja 'yang pertama' buatku adalah hal yang berharga.
Whus..
Aku menatap sekeliling dengan perasaan was - was. Terlihat para pegawai berkromosom Y menatapku dengan tatapan 'lapar' mereka. Namun bukan mereka yang membuatku merasa waspada. Aroma pria supermarket yang tak sengaja kuhirup adalah alasanku mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Ting..
Aku menoleh ke arah lift yang terbuka. Di sana! Pria itu sepertinya akan memasuki lift. Tetapi mengapa dia diam tak bergeming?
"Mari Tuan Armond," aku mendengar pria botak di sampingnya mengajak untuk masuk ke dalam lift.
"Sebentar, Tuan Jack," ucap Elias kemudian berbalik. Tatapannya langsung menangkapku dan dia tersenyum mendapatiku berdiri tak jauh darinya.
Aku hanya diam dengan mengulas senyum sinis -menantangnya. Entah menantang untuk apa? Yang jelas aku tidak mau dianggap lemah olehnya. Sudah cukup selama ini dia yang menolongku. Aku tak ingin lagi ada hubungan dengan mahluk yang merupakan musuh terbesar kaumku.
Kunaikkan sebelah alis saat dia mulai melangkahkan kakinya menuju padaku.
"Good morning, Miss Avera," sapanya yang berdiri sekitar 30 cm dariku.
"Good morning, Mr. Armond," balasku yang membuat dia mengernyit tak suka. Berharap aku memanggilmu Elias di sini, eh?
"Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku.
"You look beautiful with your dress, Ave," jawabnya yang tak sesuai dengan pertanyaan yang kulontarkan.
"Saya anggap jawaban Anda adalah 'tidak ada'. Kalau begitu saya permisi." Aku memutar tubuhku untuk menaiki tangga menuju lantai 20. Vampir dapat berlari cepat, bukan?
Namun, lenganku dipegang olehnya. "Tunggu. Bukankah kau mau menemui ayahmu? Ayo naik lift, kebetulan aku juga ada urusan dengannya."
Aku kembali menatap wajahnya. Bersyukur sekarang aku memakai heels sehingga tubuhku hampir sejajar dengannya. Lalu kulepas paksa tangannya dariku.
"Saya tidak naik lift. Permisi."
Saat aku hendak berjalan menjauhinya, tanganku digenggam dan tubuhku ditarik menuju lift. Aku ingin melawannya, tapi melihat para pegawai yang memasang tatapan curiga dan penasaran ke arah kami membuatku terpaksa menyerah dan memilih diam selama di dalam lift.
"Ini ruangan Tuan Foxter. Saya permisi, Tuan Armond dan Nona Foxter," ucap Jack yang kemudian kembali memasuki lift.
"Kau masuk duluan," ucapku pada Elias.
"Kenapa tidak bersama saja?"
Aku menggeleng, "In your dream." Lalu mendorongnya ke pintu ruang kerja Dad.
"Why?"
"Just shut up and go first."
Dia memandangku sejenak dan membuka pintu. Aku tersenyum puas akhirnya bisa bebas dari aromanya. Tetapi, lagi - lagi kurasakan tangannya menggenggam tanganku dan membawaku masuk hingga berdiri di hadapan Dad.
"Avera?" Dad terlihat terkejut.
"Helo, D**ad," sapaku lalu mengulurkan tangan. "Kartu kreditku."
Dad menggeleng dengan senyum tipis di wajahnya. Kemudian dia membuka laci meja kerja dan mengeluarkan sebuah kartu kredit lalu menaruhnya di atas telapak tanganku.
"Thanks,Dad." Aku memasukkannya ke dalam tasku.
"Ah Mr. Armond. Silahkan duduk," ucap Dad sambil menjabat tangan Elias.
Aku mengerutkan dahi dan melirik Elias yang telah duduk dengan tenang di depan Dad.
"Apakah dia rekan bisnis Dad?"
Dad mengangguk.
"Apakah Dad tahu kalau dia-"
"Dad tahu Avera. Indra penciuman Dad masih berfungsi dengan baik."
"Lalu?"
"Lalu?" Dad balik bertanya.
"Lalu kenapa Dad masih mau bekerja sama dengannya?"
"Karena perusahaan Dad tengah menjalankan pembangunan untuk proyeknya."
"Dan Dad menerimanya? Aku tidak percaya hal ini bisa terjadi."
"Perang telah berakhir, Avera. Kita sudah hidup dalam damai dan mereka bukan musuh kita."
Aku membulatkan kedua mata, "Dad bercanda? Perang memang sudah berakhir, tapi tetap saja mereka mengganggap kita musuh. Buktinya aku diser-" Ups. Aku segera menutup mulutku.
"Kenapa Avera? Apa yang ingin kau sampaikan?" Dad memicingkan mata curiga. Dengan segera aku menutup mataku menggunakan tanganku yang bebas. Dad tidak boleh tahu. Bisa - bisa aku tidak dapat berburu lagi di hutan itu.
"Nothing Dad. Kurasa aku harus segera pergi," ucapku kemudian langsung membuka pintu dan berjalan keluar, mengabaikan Dad yang menyuruhku berhenti. Samar - samar aku masih bisa mendengar Elias yang berkata akan menceritakan kejadian lalu yang menimpaku di hutan. Awas saja kau Mr. Wolf.
Sesampainya di tempat parkir, aku bergegas menaiki mobil dan menjalankannya ke kampus. Baru saja aku menerima pesan dari dosen pembimbingku kalau dia dapat bertemu denganku pukul 11.30. Dan sekarang pukul sebelas. How nice. Perjalan normal dari rumah ke kampus akan memakan waktu paling tidak setengah jam. Dan aku sedang di depan perusahaan Dad. Itu artinya, waktu yang kutempuh bertambah setengah jam lagi. Sepertinya aku harus menjadi pembalap sekarang.
●●●
"Sorry Madam, Im late," ucapku saat telah berdiri di depan dosen pembimbing untuk skripsiku. Well sebenarnya jika sudah tidak ada revisi lagi, setelah liburan nanti aku bisa diwisuda. Tapi dosen di depanku selalu saja menemukan hal untuk direvisi. Err.. apakah dia punya dendam padaku?
"Silahkan duduk, Miss Foxter." Aku pun duduk berhadapan dengannya yang seorang wanita paruh baya dengan kacamata bertengger di wajahnya.
"Thanks, Madam." Aku membuka tas dan mengambil tumpukan kertas skripsiku dan menyerahkannya pada Madam Jane.
Selanjutnya aku hanya diam dan kadang merespon ucapannya yang memberitahuku dimana letak kesalahan yang kubuat.
"Thank you very much for your help, Madam." Aku menjabat tangannya sebelum keluar dari ruangan untuk pulang. Sudah tidak ada kelas lagi yang aku ikuti. Dan sekarang aku akan punya banyak waktu luang. Aku menghembuskan nafas lega menyadari bahwa sebentar lagi aku dapat membangun kembali butikku.
Langkahku terhenti ketika tiba - tiba saja Adrian berdiri di depanku diikuti dengan Airen di belakangnya.
"Hai, Ave!" Airen menyapaku dengan semangat yang tentu saja tak kubalas. Kedua mataku masih fokus menatap mata biru Adrian.
"Kau ke parkiran duluan, Airen. Aku masih ada urusan dengannya," ucap Adrian tanpa mengalihkan pandangannya dariku.
"Aku bisa menunggu di sini."
"Airen," ucapnya dengan penuh penekanan.
"Baiklah," lalu dapat kurasakan langkah Airen mulai menjauh.
"Urusan, eh?" tanyaku memandangnya remeh. "Seriously, bukankah kau masih punya urusan dengan Arvel?"
"Ikut denganku," perintahnya lalu menarik tanganku begitu saja hingga ke taman belakang yang sepi.
"Kenapa kau membawaku ke sini?" Aku memandangnya curiga.
Dia tak menjawab dan justru tersenyum sinis padaku.
"Apakah aku sedang berbicara pada batu?"
"Let me show you something," ucapnya menghiraukan perkataanku. Kemudian dia mengucapkan kalimat yang panjang dengan bahasa aneh. Tak lama pemandangan di sekitarku berubah.
Aku menatap sekeliling dan menyadari bahwa ini seperti aku berada di dalam kastil. Tunggu, kastil?
"Ikuti langkahku," Adrian berjalan ke luar ruangan ini dan membawaku ke ruangan lainnya.
"Kamar tidur," gumamku saat melihat sebuah tempat tidur di sudut ruangan.
"Lihat ke dekat jendela," aku mendengus sebelum mengikuti ucapannya.
Di sana, aku melihat dua orang berbeda jenis kelamin, mungkin sepasang suami istri tengah berdebat sengit. Kulihat wanita tersebut tengah mengandung. Dari posisi yang membelakangiku, aku tau dia merupakan wanita yang cantik dengan rambut pirangnya. Sedangkan lelaki di depannya memiliki rambut cokelat. Apakah mereka orangtua Adrian?
Tanpa sadar, kini aku telah berada di dekat mereka. Mereka terus berdebat, namun aku sama sekali tidak tau apa yang mereka perdebatkan. Suara mereka, aku tidak bisa mendengarnya. Yang kutahu hanya dua pasang mata mereka berdua yang berwarna abu - abu di penuhi oleh rasa kekecewaan dan kepedihan. Siapa sebenarnya mereka?
"Time is up," ucap Adrian yang berdiri di belakangku. Dia lalu menggenggam tanganku dan membawaku kembali ke masa sekarang.
"Apa itu tadi? Siapa mereka?"
"Aku tidak bisa mengatakannya. Itu bukan tugasku."
Aku menatapnya jengkel. "Katakan saja, Adrian. Jangan membuatku penasaran!"
Adrian tersenyum miring lalu berbalik pergi menjauhiku tanpa sepatah kata apapun. Damn. Jika saja aku bisa menyerangnya tanpa terpental, kupastikan mulutnya akan terbuka dengan mudah. Aku mendengus sebelum pergi dari tempat ini.
"Avera," aku mendongak dan menemukan Airen berdiri menyandar di pintu mobilku.
"Airen." Kenapa dia di sini?
Dia tersenyum kecil sebelum melangkah semakin dekat denganku. "Aku butuh bantuanmu."
"Kau minta pada orang yang salah."
"Kau bahkan belum mendengar permintaanku." Dia memandangku kesal.
"Dan oh," aku memutar bola mata. "Tidak ada untungnya buatku."
Airen tertawa kemudian menatapku serius. "Tentu saja ada."
"Kalau begitu, katakan."
"Well, kau harus berjanji dulu kalau kau akan membantuku."
Aku berpikir sejenak. "Yakinkan aku dulu."
"Aku akan memberi tahu siapa dirimu yang sesungguhnya."
Dirimu yang sesungguhnya.
De javu.
"Im vampire,purevampire. And I've known it."
Lagi, dia tertawa.
"How stupid you are," dia tersenyum mengejek ke arahku. Membuatku ragu bahwa dia adalah Airen. Gadis itu memiliki sifat yang bertolak belakang dengan orang di depanku ini.
"Kau bukan Airen."
Dia terkejut lalu menatapku datar. "Aku Airen."
"You're not," ucapku tegas. "Who are you?"
"Oh dear, baiklah. Aku memang bukan dia. Tapi aku sedang memakai wujudnya jadi kau bisa menganggapku sebagai Airen."
What?
Aku memandangnya waspada, "Katakan kau siapa! Tunjukkan wujud aslimu!"
Sosok yang menyamar sebagai Airen menggeleng, "No kid. Untuk saat ini aku tidak bisa memberitahumu. Belum saatnya. Sekarang aku hanya menyapamu."
Mendengus sebal, aku melesat dan mendorong tubuhnya hingga membentur mobil. "Tell me who you are right now!"
Tersenyum sinis dia berucap, "Kau bukan vampir murni, Avera. Lihatlah perbedaanmu dengan mereka yang kau anggap keluarga!"
"Ap -apa?"
"Aku sudah memberitahumu satu petunjuk dan kau harus menepati janji yang kau buat."
"Aku tidak berjanji apapun!"
Duplikat Airen memandangku angkuh, "Tanpa berjanji apapun, kau pasti akan membantuku, nak."
"Why are you so sure?"
Aku memekik saat merasakan tubuhku terdorong ke belakang hingga hampir membuatku terjatuh.
"I must go now. See you next time, kid."
Lalu sebuah portal muncul dan wanita itu menghilang di dalamnya. Siapa dia?
Aku memandang tempat dimana portal itu menghilang. Portal? Adrian..
Tak salah lagi pasti orang yang menyamar menjadi Airen adalah seorang penyihir. Hebat juga kekuatan kaum itu. Pantas saja kaumku harus menelan kekalahan dalan perang lalu. Aku harus menemui Adrian. Paling tidak aku bisa mendapatkan titik terang.
Lalu kesadaran menyentakku. Adrian saja masih bermain teka - teki denganku, bagaimana mungkin aku meminta bantuannya? Err.. sepertinya aku harus berusaha sendiri kali ini.
Menghembuskan nafas panjang, aku membuka pintu mobil dan menyalakan mesin. Kujalankan mobilku menuju rumah. Satu hal yang aku tahu, aku butuh istirahat sekarang.
●●●
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Triiyyaazz Ajuach
msh byk misteri yg blm terpecahkan
2020-05-31
2