BAB VII

ABU - ABU

HARI ini aku telah menyelesaikan sidangku dengan baik walaupun kemarin lusa Dad sempat memarahiku karena berbohong padanya soal waktu skripsiku saat sarapan bersama yang lalu. Sebenarnya aku tidak bermaksud mengatakan kebohongan itu, aku hanya mencari alasan agar Dad tidak mengikutkanku dalam liburan minggu depan. Bagaimana mungkin aku bisa berlibur dengan orang yang jelas - jelas mengibarkan bendera perang padaku? Adrian yang misterius, yang siap membawaku ke dalam masalah dan rasa penasaran yang menggebu. Pria yang berbahaya, sangat.

"Avera," bisik Arvel yang masih sanggup kudengar dengan jelas.

Aku menatap ke arahnya yang kini duduk di atas tempat tidurnya.

"What?"

"Bagaimanapun caranya kau jangan ikut berlibur," jawabnya membuatku was - was.

"Apa yang kau lihat, Ar?" tanyaku penasaran. Kemampuan miliknya adalah melihat kilasan masa depan. Itu sebabnya dia selalu saja melarikan diri saat tahu Mom akan menyuruhnya. Dan berakhir dengan pelimpahan tugas kepadaku.

"Aku melihatmu sekarat," dia meneguk ludahnya. "Dengan darah di sekujur tubuhmu."

"Dimana aku saat itu?"

"Tornado?" jawabnya ragu. "Rollercoster?"

Aku mengernyit. "Taman bermain?"

Dia mengangguk.

Aku mendesah lelah, "Aku tidak menemukan cara apapun untuk melawan perintah Dad."

Arvel mengerutkan kening, sekian detik berlalu dia akhirnya menjetikkan jari. "Kau tetap ikut berlibur. Tapi jika Dad mengajak kita ke tempat itu, kau harus menolak. Aku akan membantumu bagaimanapun caranya."

Aku tersenyum dan memeluknya erat. "Kau memang saudara terbaikku, Arvel."

"Kemana saja kau, baru menyadarinya sekarang?" cibirnya lalu tertawa kecil dan balas memelukku.

Aku harap kita tetap menjadi saudara seperti ini, dan darah penyihir dalam tubuhku hanyalah mimpi buruk.

●●●

Pagi yang menyilaukan membuatku mengerjapkan mata beberapa kali sebelum benar - benar bangun dari ranjang. Aku mengernyit begitu menyadari bahwa ini bukan kamarku melainkan kamar Arvel. Menyadari hal itu, aku bergegas keluar kamar dan menaiki tangga menuju kamarku sendiri. Badanku terasa lengket dan aku butuh mandi sekarang.

"Pagi, Avera," sapa Airen saat aku melintasi ruang makan. Aku melirik ke arahnya dan membalas tegurannya dengan tersenyum sinis.

"My sister!" jeritan Arvel berimbas pada telingaku yang berdengung.

"Kau menyakiti indra pendengaranku, Arvel."

"Sorry," ucapnya tanpa ada raut wajah menyesal. Lalu dia menunjukkan dua lembar kertas dan menggoyang - goyangkannya tepat di depan wajahku. "Look, tiket VVIP konser Taylor!"

Aku melebarkan kedua mataku dan memekik tertahan. Mengintip dari sudut mataku tingkah Airen yang memusatkan perhatian pada kami, aku menarik tangan Arvel dan membawanya ke teras.

"Darimana kau mendapatkannya?" Aku menatapnya menyelidik.

"Temanku. Dia merupakan salah satu sponsor konsernya. Jadi, kau akan menonton atau tidak? Jika tidak, aku akan memberikannya pada Bella."

Spontan aku merebut satu tiket konsernya. "Tentu saja, aku akan pergi mendengar suaranya!"

"Good. Kalau begitu kita berangkat bersama pukul tujuh nanti, oke?"

"Oke."

"Aku pergi dulu, Dad mulai menyuruhku bekerja kembali di perusahaan hari ini."

"Wait," aku menahan lengannya. "Apakah kau kenal dengan Adelais Armond?"

Arvel mengangguk. "Dia temanku bermain futsal bersama Nate." Kedua matanya memandangku curiga. "Kau kenal dia?"

Reflek aku menggelengkan kepalaku berkali - kali. "Aku bertemu dengannya saat aku mengambil kartu kreditku. Dia menitipkan salam padamu," ucapku menyelipkan kebohongan kecil.

"Oh, oke. Aku kira kau mengenalnya. Baguslah."

"Bagus kenapa?"

"Dia seorang playboy. Jadi kuharap kau tidak berhubungan dengannya."

Aku terkekeh. "Well, aku tidak tertarik dengan manusia serigala. So don't worry, brother."

Arvel tersenyum. "That's my sister. Oke, aku harus benar - benar pergi sekarang atau Dad akan menyita kartu kreditku. Bye!"

"Be careful, Arvel!" teriakku yang dibalas acungan jempol ke atas. Aku menunduk dan terseyum lebar melihat tiket digenggamanku.

"Kau ternyata bisa tersenyum, Ave."

Aku menoleh dan menemukan Airen menatap takjub padaku. Kuangkat sebelah alis dan bertanya, "Bukankah aku selalu tersenyum kepadamu, Airen?"

Gadis itu menatapku takut, "Yeah, senyum tak bersahabat yang jelas beda dengan senyumanmu tadi."

Aku pura - pura memberi pandangan terluka. "Kau menyakiti perasaanku, Airen."

Dia mengerutkan dahi bingung. "Aku mengatakan yang sejujurnya, Avera."

Tatapanku kini berubah dingin dan berharap dapat membuatnya menggigil. "Kau benar. Lagipula kita bukan sahabat, Airen. Jadi senyuman itu pantas untukmu."

Tersenyum miring, aku meninggalkannya dan berjalan memasuki mobil. Kupikir bertemu sepupu akan membuat perasaanku lebih baik.

●●●

Aku masih berada di tengah perjalanan ketika pandanganku menangkap sosok yang kukenal. Kutajamkan tatapanku dan mendapati Elias tengah berdebat dengan seorang wanita yang memakai gaun minim disertai dandanan menornya. Entah didorong rasa ingin tahu yang besar atau bukan, kuhentikan mobil dan menepi di pinggir jalan. Berusaha mendengar apa yang mereka bicarakan di seberang sana.

"I love you so much, Elias," ucap si wanita yang kemudian maju memeluk Elias.

Aku menatap pemandangan itu dengan rasa yang tak bisa aku tafsirkan. Bergegas kutancap gas dan melajukan mobil dengan kencang.

"Ada apa dengan wajahmu, Ave?" tanya Bella ketika aku duduk di atas tempat tidurnya.

"Wajahku? Apakah ada yang salah?"

"Kau terlihat-" telunjuknya mengetuk - ngetuk dagu. "-marah?"

Kedua alisku menyatu. "Tidak ada alasan buatku untuk marah, Bels."

"Aku tak percaya," dia mencondongkan tubuhnya padaku dan memberikan tatapan curiga. "Tell me, kejadian apa yang terjadi sebelum kau berkunjung? Seingatku saat kau menelepon tadi kau terlihat senang."

Aku menghembuskan nafas panjang. "Aku-"

"Astaga, kau bernafas?" pekik Bella.

Aku menatapnya jengkel. "Hanya adaptasi."

"Oh," dia tersenyum meminta maaf. "Lanjutkan."

"Aku bertemu seseorang yang mengatakan hal bodoh, bahwa aku adalah *mate-*nya."

Bella membulatkan kedua matanya lalu meninju lenganku. Aku meringis, karena merasakan sedikit sakit. Tentu saja karena Bella adalah half vampir.

"Kenapa kau memukulku?"

"Yang bodoh itu kau! Mate adalah pasanganmu, jodohmu, takdirmu, Avera."

Aku pura - pura merasa excited dengan ucapannya. "Wow. Benarkah? Hebat."

"Ya," jawabnya penuh keyakinan. "Lalu kenapa kau marah? Harusnya kau bahagia berjumpa dengannya secepat ini!"

"Bahagia?" Aku menggeleng. "Dia selalu membuatku kesal."

"Apa yang dia lakukan padamu?"

"Dalam perjalanan kemari, aku melihatnya berpelukan dengan wanita lain."

Bella menutup mulutnya terkejut. "Astaga! Bagaimana bisa?"

"I don't know. Wait-" Aku mengacak rambutku. "-kenapa aku merasa kesal?"

"Kau menyukainya, Avera," cetus Bella mengalihkan fokusku.

"Tidak mungkin."

"Jangan mengelak, Ave." Dia menatapku lurus.

"Aku tidak mengelak, Bella."

Gadis yang duduk di bangku SMA tersebut justru tertawa keras mendengar perkataanku.

"What's so funny?"

"Kau."

"Aku?"

"Yes, akhirnya setelah 150 tahun kau hidup, kau menemukannya. Bahkan Arvel saja belum."

Aku menarik nafas. "Well, jika memang dia adalah *mate-*ku, kenapa dia dengan wanita itu-"

"Misunderstanding."

"Huh?"

"Kau salahpaham dengannya. Ayolah, mungkin dia mantannya?"

"Mantan atau bukan, sama saja."

"Oh iya, apakah pria itu vampir?"

"He's a werewolf."

"What? How can? I mean, vampires and them have bad relationship."

Aku mengangguk membenarkan. "Kau sejalan denganku, Bel. Tapi Dad dan pria itu berpikiran sebaliknya."

"Aku merasa tersajung," dia tersenyum lebar. "Aku penasaran dengan nama 'pria itu' atau 'dia' yang kau sebutkan. Siapa namanya?"

"Apakah penting memberitahumu hal kecil semacam itu?" tanyaku malas untuk menyebut namanya.

"Tentu saja."

"Elias. Adelais Armond."

"Are you kidding me, huh?"

"Tidak."

Bella menatapku lama sebelum berbisik, "Dia mantan Jessy, Leah, Yura dan pernah melakukan pendekatan dengan Mikaela yang gagal karena wanita tersebut telah menemukan pasangannya sebelum Armond memacarinya."

Aku diam sejenak. "Dia pernah menjalin hubungan dengan hampir semua sepupu kita?"

"Hanya tiga, Ave. Dan satu yang tak berhasil. Sedang kita punya lebih dari 40 sepupu."

Kita? Batinku menyadari sesuatu. Mereka mungkin atau memang bukan sepupuku lagi.

"Ave, kenapa kau sedih?" Dia menyentuh bahuku. "Maaf. Apakah aku melukai perasaanmu? Harusnya aku tidak memberitahumu hal ini."

"Kau berlebihan Bella. Aku hanya sedang berpikir." Aku menatapnya serius. "Bagaimana aromaku?" tanyaku mengganti topik.

Bella mengernyit. "Kenapa tiba - tiba kau menanyakannya?"

"Jawab saja, Bel," desakku. Aku heran karena para rogues memyerangku sedang Arvel dan Nate bersikap biasa padaku. Jangan lupakan gadis di depanku juga.

"Aku tidak mencium wangi parfum apapun."

Aku mengerang frustasi. "Aromaku! Apakah masih sama, sama sepertimu?"

"Oh. Pertanyaan aneh. Kau tetap beraroma vampir, Avera." Bella menatapku tajam. "Apakah kau sudah melakukan 'itu' dengan Elias?"

Aku melotot. "Melakukan apa maksudmu?"

Bella tertawa kecil. "Melakukan yang seharusnya kalian lakukan. Aku curiga karena kau menanyakan aromamu. Kukira kau telah melakukan 'itu' dan mengetes apakah aromanya menyatu denganmu atau tidak."

Aku mendesis malu. "Jangan berpikir yang tidak - tidak, Bella."

"Lantas kenapa kau bertanya?"

"Karena-" aku berhenti menjawab.

"Karena apa?"

Karena aku ingin tahu apakah kau tahu bahwa aku bukanlah bagian dari kalian, aku bukan vampir murni.

"Karena aku hanya ingin bertanya."

Dia berdecak. "Pertanyaan yang membuatku berpikir macam - macam."

Aku mendengus geli. "Maaf."

Bella kembali tersenyum lalu menatapku berbinar. "Aku hampir lupa kalau besok lusa Crish berulang tahun. Temani aku ke mal sekarang ya?"

Aku balik menatapnya dingin. "Tidak. Aku harus pulang sekarang," ucapku lalu berdiri. Aku tahu bahwa Bella tidak akan pulang sebelum Mal tutup.

"Ave, ayolah." Dia mengedip - ngedipkan matanya.

"Oh baiklah." Aku mengalah.

"Thanks, Ave," dia menjerit kecil sebelum melompat ke arahku dan memelukku.

●●●

Aku dan Bella berkeliling memasuki toko - toko yang menjual segala hal berbau pria.

"Aku bingung. Kemeja? Sepatu? Atau jam tangan?" tanya Bella meminta pendapat.

"Beli saja semua."

"Avera," gumamnya kesal. Kemudian ekspresi cemberutnya berubah menjadi ceria. "Baiklah, aku ikuti saranmu."

Dan kamipun benar - benar membeli ketiga barang tersebut.

Setelah dua jam dan sepupu termuda di keluarga kami mendapatkan apa yang dia mau, kami berencana mencari kebutuhannya. Namun langkahku terhenti ketika menemukan Elias bersama seorang wanita, lagi.

"Kenapa berhenti?" tanya Bella bingung.

"Dia Elias," jawabku lalu mengarahkan dagu menunjuk pria dengan setelah kemeja putih dan celana jeans.

"Oh my God," Bella menutup mulutnya dramatis.

"See? Is this you call with 'misuderstanding'?" Aku tersenyum miring.

Dia menatapku cemas. "I'm sorry. Sebaiknya kita pulang dan kau harus mendinginkan kepalamu sebelum berbicara dengannya."

Aku memandangnya heran. "Untuk apa aku berbicara dengannya? Aku sudah bilang padamu, aku tidak menyukainya. Jadi terserah dengan apa yang dia lakukan."

Bella balas menatapku tajam. "Perasaanmu masih abu - abu, Ave. Karena kau belum benar - benar menyadarinya."

Kuputar bola mata lalu kembali melirik ke arah Elias. Dia terlihat tengah mencari sesuatu. Sedang wanita yang tadi bersamanya sudah menghilang.

"Bella, kita pulang sekarang," ucapku lalu menggandeng tangannya untuk berjalan cepat. Aku tidak mau Elias menemukanku di sini.

Abu - abu? Tidak ada warna dalam hidupku yang monoton dan membosankan ini. Bahkan abu - abu sekalipun.

●●●

Terpopuler

Comments

noname

noname

🖤🖤🖤🖤🖤🖤

2020-06-20

2

Triiyyaazz Ajuach

Triiyyaazz Ajuach

elias kok gonta ganti cwek gtu, katanya klau werewolf udh ktmu matenya dia bakalan setia sama pasangannya lha ini dlm sehari udh ganti cwek lain

2020-05-31

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!