TERBUKA
JAM dinding menunjukan pukul sembilan pagi. Mengetahui hal itu, bergegas aku bangun dan membersihkan diri. Semalam konser yang kulihat bersama Arvel sungguh menakjubkan hingga kami pulang pukul dua dini hari. Setelah selesai dengan acara pagi hariku, kuputuskan untuk keluar kamar. Dan tepat saat aku menutup pintu, aku melihat Adrian akan menuruni tangga.
"Adrian," tegurku dan dia berhenti. "Aku ingin bicara denganmu."
"Bukankah kau sedang melakukannya?"
Aku mendengus. "Jangan pura - pura bodoh, Adrian. Kau pasti tahu apa yang kumaksud."
Tersenyum miring dia berkata, "Baiklah. Tapi biarkan aku menghabiskan sarapanku dulu."
Aku mengangguk dan membiarkannya menuruni tangga terlebih dahulu. Sedang aku mengikutinya dari belakang.
Setelah menunggu hampir limabelas menit dengan bermain ponsel, akhirnya Adrian menghampiriku.
"Apa yang ingin kau katakan?"
"Aku-"
Ting tong..
Aku menatap sekilas ke arah pintu. "Biar aku yang buka pintunya."
Ceklek.
"Avera," sapa tamu yang berdiri di depanku.
Aku menatapnya datar. "Ada apa kau kemari?"
Elias mengernyit. "What's wrong with you?"
"Jangan menemuiku lagi, Elias."
"Why?"
"Siapa tamunya?" sela Adrian yang telah berada di sampingku.
"Witch," gumam Elias menatap tajam padanya.
Kurasa ini saatnya membuat Elias benar - benar pergi dari hidupku.
"Elias, kenalkan. Dia Adrian, kekasihku."
"What? Jangan bercanda!"
"I'm not." Aku tersenyum tipis. "Sebaiknya kau pulang karena aku akan berjalan - jelan dengannya."
Elias termenung beberapa saat. "Aku tahu kau sedang berbohong. Katakan apa salahku. Kenapa kau bersikap aneh hari ini, hm?"
Aku mendesah lelah. "Dari awal semua sudah salah, Elias."
"Tidak, Ave. Kau mate-ku. Takdirku." Apa dua wanita yang kemarin jugamate-mu, huh? batinku mencemooh.
Senyuman sinis terukir di bibirku. "Terserah apa katamu, Elias. Aku tidak peduli." Aku menoleh ke kiri dan menemukan Adrian berdiri dengan tenang. "Ayo kita pergi sekarang." Kutarik tangan Adrian melewatinya.
"Tunggu, Avera," Elias mencekal sebelah tanganku.
"Lepas," Aku menarik tanganku darinya. "Syelocrachtylichynasel," ucapku dan sebuah portal muncul. Segera aku dan Adrian masuk ke dalamnya.
"Dimana ini?" tanyaku pada diriku sendiri. Mengamati sekitar dan aku benar - benar tidak memiliki ide tempat apa ini sebenarnya. Harusnya aku tak usah menggunakan portal menyebalkan itu, batinku menggerutu.
"Kau telah belajar rupanya," ucap Adrian yang berada di belakangku. "Tak kusangka, kau ternyata cepat juga."
Aku menghembuskan nafas kasar. "Aku hanya bisa membuat portal dan itupun berakhir seperti ini. Berada di tempat yang di luar kendaliku."
Adrian terkekeh. "Satu lagi, Ave. Mungkin tanpa kau sadari, kau telah menggunakan sihirmu untuk melawan para rogues yang menyerangmu."
Aku mengernyit dan tak lama aku paham apa yang dia maksud. "Memang. Aku merasakan hal aneh pada tubuhku. Mulutku mengucapkan sesuatu dengan sendirinya. Dan hey, kau bisa benar - benar membunuhku saat itu jika aku-"
"Segelmu berarti telah terbuka sempurna," ucapnya memotong perkataanku yang menyalahkan 'rencana penjebakkan' nya padaku. "Apa kau tahu bahwa kemampuan yang kau anggap kelebihanmu sebagai vampir sebenarnya adalah kekuatan dari darah penyihir di tubuhmu?"
"Kau tahu kemampuanku?"
"Tentu saja. Karena aku juga dapat melakukannya. Seperti-" Dia menyeringai. "-yang kau lihat malam itu pada Airen."
Aku tersentak. "Kau, aku, bagaimana mungkin?"
"Lupakan. Tapi aku penasaran, darimana kau tahu mantra pembuka portal itu, Avera?" Adrian menatapku penuh minat.
"Bukan urusanmu," sahutku ketus.
Senyum sinisnya muncul. "Baiklah. Sekarang katakan apa yang kau ingin ungkapkan padaku."
Aku diam sejenak. Menimang - nimang apakah keputusanku ini sudah benar atau belum. Berulang kali aku membaca buku kakek bagian kumpulan mantra, hanya ada dua yang berhasil. Pembuka portal dan menggerakkan benda.
"Kenapa diam?"
Aku menatapnya ragu. "Aku ingin kau mengajariku sihir."
"Apa yang membuatmu tiba - tiba merasa tertarik?"
"Untuk mencari jati diriku. Kemungkinan aku akan membutuhkan kemampuan penyihirku nanti."
Adrian mengangguk - ngangguk lalu tersenyum simetris. "Maksudmu orangtuamu?"
"Ya."
"Sayangnya mereka dikabarkan menghilang saat perang lalu."
"Hilang?" Ada sejumput rasa nyeri menusuk jantungku.
"Masih ada kemungkinan mereka hidup, Avera. Jangan berkecil hati."
"Aku jadi berpikir, 'seseorang' yang kau katakan akan kau bawa kembali ke duniamu, apakah itu aku?" tanyaku curiga.
"Duniamu juga, Avera," ralatnya. "Dan kau benar."
Aku tertegun. "Kenapa?"
"Dunia penyihir mengalami kekacauan yang diakibatkan pamanmu. Dan hanya kau yang mampu menggulingkannya dari tahta."
"Kau bercanda." Aku melotot ke arahnya. "Kekuatanmu bahkan jauh di atasku, Adrian."
"Karena kau belum mempelajari ilmu sihir dengan baik, Avera."
"Aku tidak yakin," ucapku penuh keraguan.
"Kau tidak ingin bertemu dengan orangtuamu?"
Aku mendongak menatap wajah innocent miliknya. "Apakah masih ada peluang?"
Adrian menatapku serius. "Masih. Kurasa hilangnya mereka ada hubungannya dengan pamanmu."
Kemudian ingatanku kembali ke masa dimana Adrian mengajakku menjelajah kastil. "Raja dan ratu yang di kastil itu, orangtuaku?"
Dia mengangguk kecil.
"Apakah yang berada dalam kandungan wanita itu juga aku?"
Dia mengangguk kecil, lagi.
"Kenapa kau mengatakan semua ini padaku? Bukankah kau pernah bilang bahwa itu bukan tugasmu?"
"Menceritakan semua yang terkait denganmu merupakan salah satu tugasku, Avera. Setelah kau tahu dirimu seorang half witch. Dan kau sudah mengetahuinya."
Astaga. Aku menarik nafas panjang. Kepalaku mau pecah mendengar semua ini.
"Mau memulai sekarang?" tawar Adrian.
"Tentu."
Dan dia mulai memberitahu beberapa mantra dan fungsinya. Setelah itu dia menyuruhku menghafalnya. Beberapa kali lidahku tergigit, namun aku terus berusaha melafalkan kata - kata sulit tersebut. Aku akhirnya sadar bahwa penyebab aku gagal menggunakan mantra di buku kakek adalah kebanyakan pelafalannya salah.
"Sekarang coba kau robohkan pohon di sana," ucap Adrian menghentikan hafalanku. Dia menunjuk pohon tua yang tentunya sangat besar dan kuat -menggunakan dagunya.
Aku menatapnya seakan berkata 'Apa kau gila?'
"Cepat lakukan!"
Aku berdecak sebal sebelum fokus pada pohon malang itu. "Asthocygalenna."
Kretak.
Aku menanti tumbangnya tanaman tersebut. Namun yang kulihat hanya terdapat retakan di bagian batangnya. Kudengar Adrian menghela nafas.
"Asthocygalennaey, Avera. Ucapkan dengan lengkap dan benar."
Aku mengangguk. Dan mengulangi seperti yang ia contohkan. "Asthocygalennaey."
Tiga detik.
Empat detik. Aku menunggu dengan perasaan was - was.
Sepuluh detik.
Kuhela nafas panjang. "Kurasa aku gagal lagi. Sebaiknya aku beristirahat di rumah sekarang."
Aku berbalik sambil melirik pada Adrian yang hanya diam di tempatnya.
"Syelocrachtylichynasel," ucapku dan portal kembali muncul.
Kretak kretak kretak. Bruk.
"Awas, Avera," aku menoleh dan tercekat saat kurasakan tubuhku dipeluk oleh Adrian dan posisi kami bergeser dari tempatku yang sekarang terdapat ujung pohon percobaanku.
"Dasar ceroboh," makinya yang aku tak pedulikan. Aku masih setia mengamati pohon tumbang itu dan mendapatkan kesimpulan kalau aku berhasil melakukannya.
"Aku berhasil!" teriakku senang sambil mengeratkan pelukannya. "Adrian, lihat itu!"
Aku mendongak dan menemukan wajah tampannya dari dekat.
"Sepertinya kau senang terus berada dalam pelukanku, eh?" oloknya membuatku mendorong tubuhnya keras.
Dia mundur beberapa langkah dengan mengulas senyum mengejeknya.
"Jangan bercanda dan mengatakan hal konyol seperti itu, Adrian." Aku mendesis jengkel.
Dia mengedikkan bahunya tak peduli. Menengadah memandang langit sore yang berwarna merah dengan semburat oranye.
"Kita pulang sekarang."
Aku menaikkan sebelah alis. "Kenapa tidak lanjutkan latihannya? Aku sedang dalam semangat yang tinggi."
Bahunya bergetar menahan tawa. "Bukankah kau bilang kau butuh istirahat?"
"Itu- ee.." Kemana semua kata - kataku?
"Besok kita latihan di tempat ini. Buka portalmu kembali. Aku ingin lihat apakah penjelasanku tadi kau dengarkan atau tidak."
Kuputar bola mata jengah. Aku berjalan menghampirinya. Setelah itu, aku mulai membayangkan tempat tinggalku.
"Syelocrachtylichynasel." Semoga aku beruntung kali ini.
Brug. Duag.
"Aw," ucap Adrian datar saat kepalanya membentur kepala tempat tidur dan juga dagunya yang bersentuhan keras dengan kepalaku. Terlalu banyak kata kepala.
Wait. Tempat tidur?
Aku melirik ke sekitar dan tau bahwa kami berada di kamar. Tapi kamar siapa? Apakah aku salah lagi?
"Bangun, Avera."
Aku berhenti mengamati dan menatap Adrian yang berada di bawah tubuhku. Segera aku bangkit dan berpijak pada lantai marmer yang berwarna merah.
"Harusnya kita pulang menggunakan portal milikmu, Adrian."
Dia bergerak membenarkan posisi berbaringnya. "Kembalilah ke kamarmu. Aku ingin tidur sebentar sebelum waktu makan malam tiba."
Aku mengernyit. "Hey, kenapa kau justru tidur di sini? Bagaimana kalau pemilik kamar ini menemukan kita?"
Tak ada jawaban darinya kecuali suara hembusan nafas yang teratur. Dia sudah pergi ke alam mimpi.
Kuputuskan untuk membuka pintu kamar dan membulatkan mata begitu menyadari bahwa aku telah sampai di dalam rumah. Akhirnya aku bisa menggunakan portal dengan baik!
Lalu euforiaku luntur saat aku sadar kalau aku tidak sepenuhnya berhasil. Aku membayangkan bagian depan rumah, tetapi jatuh di kamar Adrian. Aku harus berlatih lebih giat lagi.
●●●
"Avera," Airen memanggilku yang tengah membuka pintu pagar.
Aku tidak merespon panggilannya dan hanya diam menatapnya, bersandar pada pintu rumah yang terbuka.
"Kemana saja kau dengan Adrian?" tanyanya dengan nada tak suka yang dapat kutangkap dengan jelas.
"Bukan urusanmu."
"Apa kau bilang?" Dia menggertakkan giginya. "Adrian saudaraku, urusannya adalah urusanku juga."
"Oh ya? Apakah dia juga berpikir begitu?" tanyaku sinis. "Kenapa tidak kau tanyakan langsung saja pada 'saudara'mu itu?"
Dia tak menjawab. Kedua matanya melotot tajam ke arahku. Tanpa membuang waktu, aku membuka gerbang dan melangkah keluar.
Sambil berjalan mengitari area perumahan tempatku tinggal, aku mengulang beberapa mantra dalam hati dan sesekali menerapkannya pada benda maupun mahluk hidup di sekitarku. Langkahku terhenti di depan sebuah kertas - kertas yang berserakan di atas aspal.
"Cetracyviloeta," gumamku memandang fokus pada mereka. Kertas - kertas tersebut melayang dan masuk ke dalam tempat sampah.
Prok prok prok. Terdengar suara tepuk tangan.
Senyum puasku pun luntur. Aku mengedarkan pandangan penuh waspada dan menemukan seorang wanita anggun berdiri tak jauh dariku- memandangku penuh arti.
"Siapa kau?"
Dia menampilkan ekspresi terkejutnya yang terkesan palsu. "Kau melupakanku? Avera sayang, tidak bisakah kau mengingat sedikit?"
Aku memandangnya curiga. Merasa tak pernah bertemu dengannya sekalipun. Dan aku tak bisa menghirup aromanya. Aneh. Jika dia manusia, aku pasti bisa mencium aroma darah segar. Tidak ada aroma vampir maupun werewolf. Hanya ada satu kemungkinan, dia adalah seorang penyihir.
"Aku tahu kau masuk ke dalam ras mana. Tapi aku tidak mengenalmu."
Dia tersenyum lebar. "Apakah aku harus menyamar sebagai gadis yang ada di rumahmu? Atau mungkin sebagai saudaramu agar kau dapat mengingatku dengan jelas, Avera?"
Aku tertegun. "Kau penyihir itu?" Sebelah alisku terangkat. "Katakan apa yang kau mau dariku? Kenapa kau selalu saja menggangguku?"
Dia tertawa. Tawa yang akan membuat banyak kaum lelalki berlutut di kakinya. "Kau."
"Aku?"
"Aku ingin jiwamu." Sisi anggunnya tergantikan dengan sosok yang sadis. Tatapan lembutnya berubah jadi dingin dan senyum lebarnya berubah menjadi senyum miring nan sinis.
Jiwaku?
"Why do you want my soul?" tanyaku berusaha tenang. Aku sangat paham bahwa kekuatanku tak sebanding dengannya. Salah ucap, berakhirlah eksistensiku.
"Kuanggap itu adalah pertanyaan terakhirmu." Dia tertawa bengis. "Satu jiwa untuk satu jiwa."
"Dengan siapa kau ingin menukarku?"
"Pertanyaan terakhirmu telah kujawab, Avera. Sekarang kau akan ikut denganku." Wanita itu membuka sebuah portal.
Aku berdecak. "Tidak semudah itu." Bagaimana pun, tidak ada cara lain selain melawannya.
"Keras kepala." Dia berdecih dan mulai mengucapkan sebuah mantra. "Grenytapiolashe."
Gawat! Dia membaca mantra yang dapat membuatku lemas.
"Sreatylnemetha," ucapku cepat untuk menangkis pengaruh mantra itu. Dengan cepat aku melesat ke arahnya dan mencekik lehernya.
Dia menatapku datar. "Apleoso."
Brug.
Tubuhku jatuh membentur bak sampah. Aku ingat mantra ini! Adrian pernah menggunakannya padaku. Aku segera berdiri dan memikirkan cara untuk mengalahkannya atau melarikan diri.
Portal!
"Syelocrachtylichynasel." Portal pun muncul namun sedetik kemudian menghilang.
"Mencoba kabur, eh?"
Aku mendesis marah dan taringku mulai memanjang.
"Kau tak akan bisa mengalahkanku, Avera. Walaupun dengan wujud vampir-mu sekalipun."
Aku mengabaikan perkataannya dan berlari menghampirinya.
"Apleoso."
"Sreatylnemetha," ucapku bersamaan dengannya. Kutancapkan kuku - kuku panjangku di sana.
"Fretyaloenda," ucapnya sambil tersenyum miring.
Kurasakan tubuhku menjadi kaku dan aku tidak dapat bergerak. Bahkan mulutku tak mampu mengucap mantra apapun.
"Harusnya aku melakukannya lebih awal." Wanita itu mendengus. "Kau sungguh gadis yang merepotkan."
Aku hanya mampu menatap benci padanya.
"Syelocrachtylichynasel."
Oh tidak.
"Apleoso!"
Brug.
"Sreatylnemetha," ucap seorang pria membuatku mendapatkan kebebasanku kembali.
"Thanks, Adrian."
Dia mengangguk dan membuka portal. "Kita harus segera pergi." Ditariknya tanganku memasuki portal yang ia buat.
Aku bersyukur jiwaku masih aman, namun mengingat wanita tadi begitu menginginkanku dapat kupastikan, ketenangan hidupku selama ratusan tahun ini mulai terusik.
●●●
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Triiyyaazz Ajuach
wow mkin seru mkin mendebarkan
2020-05-31
2