PERTEMUAN
GENAP seminggu, aku menetap di rumah orangtua Adrian. Ucapkan selamat tinggal pada hidupku yang membosankan. Karena sekarang masalah silih berganti menimpaku di negeri ini. Apalagi ancaman dari musuh yang dapat datang secara tiba - tiba juga mengusik pikiranku.
"Menikmati pemandangan, eh?"
Aku menurunkan pandanganku dan menatap ke arah Adrian yang memandang langit malam penuh bintang. Satu dari sekian keindahan negeri penyihir yang jarang bisa kunikmati di rumah.
"Tentu saja," jawabku lalu kembali fokus menatap langit. "They are so beautiful, right?"
Kulirik pria itu yang tersenyum tipis. "Hm..."
"Kenapa kau ada di sini dan bukannya tidur saja di kamar?" tanyaku memulai percakapan.
"Insomniaku kambuh. Dan pertanyaan yang sama untukmu."
"Aku? Tubuhku tidak terlalu lelah, jadi kurasa aku tidak akan tidur malam ini."
"Kau harus tidur, Ave. Setidaknya istirahat walaupun staminamu baik. Ingat, kita sekarang dalam waktu yang sulit."
Aku mendengus. "Aku tahu, aku tahu."
"Hey, kalian! Kenapa masih di sini? Cuaca sedang tidak bagus untuk kesehatan. Cepat masuk!"
Sontak kami berdua menoleh ke belakang dan menemukan Elias bersedekap dada. Tatapannya mengisyaratkan untuk segera melaksanakan perintahnya. Adrian yang mungkin malas menanggapi, langsung berjalan begitu saja -masuk ke dalam rumah sedang aku masih setia bersandar pada pagar pembatas dan tersenyum miring padanya.
"Avera," gumamnya. "Kau juga masuklah."
Kuputar bola mata. "Kau bukan ibuku, Elias. Berhenti bersikap otoriter seperti itu."
"Aku mate-mu, Ave," ucapnya membuatku menatapnya tajam. Dia lalu buru - buru meralat perkataannya. "Maksudku, kita sekarang juga satu tim dan aku tak ingin sampai kau jatuh sakit."
Aku pun menghela nafas dan mengangguk. "See? Aku berjalan masuk ke rumah detik ini juga."
Elias tersenyum lebar dan menjajari langkahku. Namun, langkah kami terhenti ketika kami sama - sama merasakan aura aneh di sekitar.
Brug..
Suara seperti benda jatuh dari atas yang menghantam tanah dengan keras membuatku dan Elias berbalik dan menatap ke halaman. Di sana, ada seorang pria yang tergeletak tak berdaya.
"Ave, apakah dia penyihir? Aroma ini-"
"Ya, kau benar," potongku kemudian berjalan mendekatinya.
Elias lalu berjongkok dan memutar tubuh pria itu sehingga menjadi terlentang. Aku terkesiap melihat tubuh dan wajahnya yang penuh luka. Dan merasa familiar dengannya.
"Apa dia masih hidup?" tanyaku saat Elias memeriksa denyut nadi di tangan dan lehernya.
"Ya, tapi dia sekarat."
"Astaga, ayo segera kita bawa ke dalam!"
Aku berniat memapah pria itu sebelum Elias menahan tanganku.
"Apa kau gila? Bagaimana kalau dia bagian dari musuh kita?" tanyanya dengan berbisik.
"Aku tidak gila dan dia bukan bagian dari musuh kita, jadi lepaskan tanganku."
"Darimana kau tahu?"
"Aku mengenalnya. Dia penjaga perbatasan hutan, Elias. Dan simpan pertanyaanmu yang lain atau dia benar - bemar akan mati."
Elias akhirnya mengangkat sendiri tubuh pria itu dan meletakannya di atas sofa ruang tamu. Sementara aku mencoba membangunkan Jessy dan Fred.
"Ada apa, *D*ear? Kenapa kau terlihat panik?" tanya Jessy yang telah keluar dari kamar bersama Fred.
"Ada penyihir yang terluka, Jessy. Dia penjaga hutan-"
"Apa?" Fred terlihat terkejut. "Dimana dia?"
"Di ruang tamu dengan Elias."
Fred pun bergegas menuju ruang tamu diikuti denganku dan Jessy yang berjalan di belakangnya.
"Biar aku lihat," ucap Fred mengambil alih sofa yang sempat diduduki oleh Elias.
"Bukankan dia Frenzel?" tanya Jessy yang mengamati wajah penjaga itu.
"Kau benar, honey. Ave, tolong kau ambilkan air dan kain untuk membersihkan lukanya," ucap Fred. "Dan, hon. Tolong bantu aku merawatnya," lanjutnya.
Jessy mengangguk sedang aku pergi meninggalkan mereka untuk memenuhi permintaan Fred.
"Bagaimana kau bisa mengenalnya?" tanya Elias yang sedang menuang air saat aku menyalakan keran.
"Aku tersesat di hutan lalu bertemu dengannya."
Kuambil kain bersih dan melipatnya.
"Tersesat? Kau ini, kenapa selalu menempatkan dirimu pada situasi yang sulit, Ave?"
Aku mendengus dan menyodorkan baskom padanya beserta kain. "Saat ini pun, aku tengah berada dalam masa sulit, Elias. Bawa benda ini ke depan, aku akan siapkan bubur. Mungkin ketika sadar nanti, dia akan merasa lapar."
"Kau bisa memasak?"
"Elias," desisku. Pria itu tersenyum konyol sebelum kembali ke ruang tamu.
Setelah bubur siap, aku pun membawanya ke sana. Pria penjaga yang Jessy sebut dengan Frenzel, telah sepenuhnya sadar. Sekarang mereka berempat tengah membicarakan sesuatu yang kuduga sangat penting. Terlihat dari wajah mereka yang serius dan kadang terdapat beberapa kerutan di dahi.
"Ehm," suaraku menginterupsi pembicaraan mereka. "Aku telah membuatkan bubur," ucapku menaruh mangkuk tersebut di atas meja.
"Aku seperti pernah melihatmu sebelumnya," ucap Frenzel sambil menunjukku. "Oh, Im sorry my queen."
"Just call me by my name, Avera," ucapku yang merasa aneh dengan panggilannya untukku.
"Aku tidak bisa melakukannya, kau ratuku setelah King dan Queen Roberts tiada."
"Orangtuaku masih hidup, Frenzel. Dan bisa tolong kau jelaskan kenapa kau bisa terluka seperti itu?"
"Dementa telah mendengar kabar keberadaanmu di sini, Avera," Fred yang menjawab.
"Bagaimana mungkin?" tanyaku cemas. Ilmuku masih di tingkat 9 dan aku belum siap bertemu dengannya.
"Ada seseorang yang berkhianat. Dan pasukan Dementa saat ini tengah menyerang perbatasan," ucap Frenzel.
"Sebaiknya kita bergegas pergi sekarang. Elias, tolong kau bangunkan Adrian, Sarah dan Airen," Fred lalu bangkit dan berkemas bersama Jessy. Begitu juga denganku.
Setelah semuanya telah siap, kami dengan arahan Frenzel menuju rumah Annabeth, seorang penyihir hebat yang sosoknya masih menjadi misteri bagi para penyihir lain.
"Mrs. Julians, *Nairdra*code," ucap Frenzel yang berhenti di padang ilalang luas.
Aku mengernyit mendengar perkataannya namun kedua alisku menjadi terangkat ketika di atas padang ilalang tersebut muncul sebuah rumah kayu yang cukup besar. Frenzel pun melangkah melewati pintu rumah yang terbuka lebar.
"Siapa yang kau bawa, Frenzel?" tanya seorang wanita yang membelakangi kami semua.
"Aku membawa putri dari King dan Queen Roberts, Mrs. Julians."
Sosok itu langsung berbalik dan mengamati kami. Dia lalu meluruskan pandangannya ke arahku. "Putri Eliza ternyata berhasil tumbuh dengan baik," ucapnya.
"Annabeth Julians," gumam Jessy membuatku menoleh padanya.
"Kau mengenalnya?" tanyaku. Jessy hanya melirikku dan tersenyum.
"Jessy?" pekik wanita pemilik rumah. "Apakah dia?" tanyanya memandang ke arah Airen dan Adrian.
Jessy mengangguk dan mata wanita itu pun berkaca - kaca.
"Belum saatnya dia untuk tahu, Anna," Jessy memberi isyarat pada wanita itu, Annabeth.
Lalu hening menyelimuti sejenak, hingga Mrs. Julians akhirnya mempersilahkan kami masuk lebih dalam ke rumahnya. Sebenarnya apa yang terjadi? Mereka berdua seperti menyembunyikan sesuatu.
"Frenzel akan mengantarkan kalian ke kamar masing - masing. Dan aku ingin berbicara sebentar denganmu Fred, Jessy." Mrs. Julians memberi isyarat mata pada kedua orangtua Airen dan Adrian.
Frenzel mengangguk dan menggiring kami ke lantai atas. Ada tiga kamar besar yang tersedia. Di dekat tangga ada sebuah kamar yang nantinya akan dihuni oleh orangtua Adrian. Kamar kedua ditempati olehku, Sarah dan Airen. Dan yang paling ujung akan nenjadi kamar Elias dan Adrian sementara waktu.
Airen yang paling semangat membuka pintu, dia bergegas masuk dan melompat ke atas kasur. Sedang Sarah memutar bola matanya sebelum menghilang di balik pintu kamar mandi. Dan aku sibuk menata pakaianku di lemari.
"Sudah kau putuskan, Ave?" tanya Airen tiba - tiba saat aku membuka ranselku yang lain.
"Memutuskan apa?"
"Pilihanmu. Akhirilah hubungan palsumu dengan Adrian dan berbahagialah bersama Elias."
Aku mendengus dan menutup pintu lemari dengan kesal. "Sudah kubilang ini bukan urusanmu!"
"Tentu saja urusanku, Adrian adalah kakakku!"
"Bisakah kalian diam?" Sarah yang telah keluar dari kamar mandi -menatap tajam pada kami.
"Aku hanya membela kakakku dan sepupumu, Sarah. Wanita itu tidak mau mendengarkanku." Airen menunjukku.
"Mereka sudah dewasa dan bisa menyelesaikan urusannya sendiri. Jangan libatkan dirimu di dalamnya," ucap Sarah mencetak senyum puas di wajahku.
Airen dengan wajah merah padam dengan cepat menyembunyikan dirinya di dalam selimut.
"Thanks, Sarah."
"Aku tidak membelamu, Avera."
Geez. "Ehm, jika aku boleh tahu, kau berada di tingkat berapa, Sarah?"
"Untuk apa kau menanyakan hal itu?" tanya Sarah sambil menatap pantulan tubuhku di cermin.
"Hanya ingin tahu."
"Tigapuluh dua."
"Apa? Setinggi itu?" pekikku. Lalu setinggi apa ilmu Dementa nanti?
"Jangan pikirkan tingkat tak berguna itu, Ave. Fokuslah saja pada latihanmu." Kemudian Sarah bangkit dan berbaring di samping Airen. Tinggalah aku sendiri yang belum merasakan kantuk tiba. Kuputuskan untuk keluar kamar.
"Kau tidak lelah? Padahal perjalanan kita sangat jauh tadi, kenapa belum tidur, hm?" tanya Elias yang bersandar di depan pintu kamarnya.
Aku hanya meliriknya dan melengos pergi.
"Avera," panggilnya lagi. Dapat kudengar dari langkah kakinya bahwa dia mengikutiku. Aku tetap berjalan dan membuka pintu rumah tanpa menghiraukannya.
"Hei, jangan keluar rumah, Ave. Kondisi belum stabil, musuh masih berkeliaran," ucap Elias saat aku hendak menutup pintu.
"Aku hanya ingin menghirup udara segar sejenak, Elias. Kepalaku pusing, jadi biarkan aku menenangkan diriku, oke?"
Aku melangkah lagi namun terhenti karena tangannya masih setia memegang lenganku.
"Kau boleh keluar dengan syarat, aku tetap di sampingmu." Setelah mengatakannya, Elias menutup pintu dan menggenggam tanganku erat. Ada rasa nyaman dan terlindungi saat dia melakukannya. Kupandangi tautan tangan kami dan senyum tipis terukir di wajahku tanpa dia sadari.
"Kau tidak kedinginan?" tanyanya membuatku tertawa kecil.
"Tentu saja tidak, Elias. I'm still vampire. Harusnya aku yang bertanya padamu seperti itu. See, kau hanya memakai kaos oblong dan celana pendek."
Dia tersenyum dan mengusap rambutku. Sejenak, aku terpaku oleh sikapnya itu. "Suhu tubuhku akan tetap tinggi, Ave."
"Huh?"
"Mau kubuktikan?" tawarnya dan tanpa dapat kucegah, dia menarikku ke dalam pelukannya. Cukup lama kami terdiam dalam posisi ini.
"Hangat," gumamku menariknya lebih dekat. Aneh, padahal ini bukan pertama kalinya dia memelukku. Tapi pelukannya sekarang dapat membuatku merasakan suhu lain untuk pertama kalinya.
"Kau di sini rupanya," ucap seseorang dengan suara bariton sontak membuat pelukan kami terlepas.
"Siapa kau?" tanya Elias waspada. Sedang aku mengamati pria paruh baya yang menegur tadi. Sepertinya aku pernah melihatnya.
"Aku? Kau tidak tahu siapa diriku, anak muda?" Dia tertawa keras. Lalu mendesis. "Keterlaluan."
"Dementa," gumamku diiringi langkahku yang mundur.
"Kau mengenalnya, Ave?"
Aku mendongak dan mengangguk. "Kita harus lari, Elias. Now!" Aku pun menarik tangan Elias dan berlari bersamanya dengan cepat, namun tiba - tiba tubuh kami terjatuh karena membentur sesuatu.
"Apakah kita menabrak sesuatu?" tanya Elias heran. Dia bangkit dan membantuku berdiri.
"Ya. Di depan kita ada dinding sihir."
Prok prok prok.
"Hebat. Sepertinya kita mempunyai ikatan batin yang kuat, keponakanku sayang. Kau cepat sekali dalam mengenali pamanmu ini," ucap Dementa yang berada 10 meter dari kami.
"Apa yang kau inginkan dariku, 'Paman'?" Aku menatapnya dingin.
"Ikutlah denganku ke istana."
"Dia tidak akan ikut denganmu," sahut Elias.
"Siapa kau anak muda? Aku tidak sedang berbicara denganmu." Dementa memberi tatapan peringatan padanya.
"Jawabanku samadengan-nya, aku tidak mau ikut bersamamu," ucapku.
Dementa tersenyum miring dan mengangkat sebelah tangannya. Tepat, setelah dia menggumamkan sesuatu yang kupastikan mantra, muncul sebuah bola cahaya berwarna biru di atas tangannya itu.
"Apakah pamanmu harus menggunakan kekerasan, hm?"
Aku dan Elias tidak merespon dan memasang kuda - kuda.
"Sayang sekali," ucapnya kemudian bola biru itu melesat cepat ke arah kami. Aku dan Elias pun menghindar.
"Foremhacf," ucapku memulai serangan balik. Aku melirik ke arah Elias yang telah mengubah wujudnya.
"Kau telah belajar ilmu sihir juga, ternyata. Baguslah." Dementa tersenyum angkuh dan menghindar dari terkaman Elias atau mungkin Mack?
Kami terus melakukan serangan hingga tiba - tiba tubuh serigala Elias terpental dan menabrak pohon cukup keras. Segera aku berlari ke arahnya, namun sesuatu seperti petir lewat di depanku dan hampir menggores wajahku.
Aku menggeram dan menyerangnya lagi. "Lethaberhs," dan sebuah penjara dari cahaya berhasil mengurungnya.
Aku kembali berlari menuju Elias yang tengah kesakitan. Tubuhnya penuh luka. Serigala itu memandangku nanar sebelum menutup matanya. "Tidak! Jangan tutup matamu! Elias, bertahanlah!" Kurapalkan mantra penyembuhan untuk mencoba memgobati lukanya. Dapat kurasakan air mataku keluar dengan sendirinya. Elias..
"Percuma saja, Avera. Tinggal menunggu waktu, pria itu akan mati malam ini," ucap Dementa yang telah berhasil melepaskan diri dari sihirku.
"Kau memang tidak bermoral, Dementa!" Aku berteriak kesal dan menyerangnya lalu kembali fokus mengobati luka di tubuh serigala Elias.
"Tsk tsk tsk. Kekuatanmu masih sangat lemah, Avera," Dementa tertawa bengis. "Mungkin membunuhmu sekarang lebih baik."
Aku menoleh ke arahnya dan dia menutup matanya.
"Manfregto!"
Dan puluhan tombak dari api bermunculan dan menujuku dengan cepat.
"Hentikan, Dementa!" ucap seseorang membuat fokus Dementa pecah dan tombak - tombak itu hancur.
Kami melihat ke sumber suara. Di sana, Mrs. Annabeth telah melangkah mendekat kepadaku. Kulirik Dementa yang terdiam dan hanya mengekori setiap gerakan yang dibuat oleh wanita itu.
"Anna, kau masih hidup?" tanyanya yang sarat akan kerinduan.
Mrs. Annabeth mendengus dan memalingkan wajah menatapku. "Masuklah ke portal dan bawa Elias bersamamu, Avera."
Aku mengangguk cepat dan berpaling pada Elias yang masih berwujud serigala, dan sedetik kemudian kembali ke sosok manusianya. Spontan aku melepas jaketku dan menutupi sebagian tubuhnya. Bergegas aku memapahnya masuk ke dalam portal. "Tetaplah di sampingku, Elias," gumamku menyentuh pipinya yang terluka.
Ketika akan masuk sepenuhnya ke dalam portal, diam - diam aku mendengar Mrs. Annabeth yang mengucapkan sesuatu pada Dementa yang masih terpaku di tempat.
"Apakah kau terkejut karena ternyata kau gagal membunuhku, Dementa Robert?"
●●●
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Triiyyaazz Ajuach
semoga elias selamat
2020-05-31
1